MEDIA massa adalah saluran komunikasi yang memiliki daya ubah luar biasa. Bentuknya, menurut Septiawan Sentana K (2006), di era terkini, terdiri dari media cetak, elektronik, dan online (daring/dalam jaringan). Ketiganya merupakan bentuk media jurnalistik.
Jurnalistik membedakan ketiganya ke dalam banyak dimensi. Media cetak (pers), sebagai sejarah awal jurnalistik memiliki media tempat menyalurkan hasil kerja kewartawanannya. Yaitu medium jurnalisme yang memakai mesin cetak sebagai alas dan format teks pemberitaan.
Dilaporkan sebagai surat kabar, majalah, tabloid, buletin berita, dan sebagainya. Media elektronik ialah media jurnalistik yang dijalankan berdasarkan teknologi pancaran gelombang elektronnik, dan menjadikan pemberitaan disiarkan secara audio (radio) dan siaran audio visual (televisi). Media online/daring ialah media yang memakai teknologi internet atau siber sebagai alat dan format pemberitaannya.
Menurut Bill Kovach dan Tom Rosentiel (2006), “Kita membutuhkan berita untuk menjalani hidup kita, untuk melindungi diri kita, menjalin ikatan satu sama lain, mengenali teman dan musuh. Jurnalisme tak lain adalah sistem yang dilahirkan masayarakat untuk memasok berita. Inilah alasan mengapa kita peduli terhadap karakter berita dan jurnalisme yang kita dapatkan: mereka mempengaruhi hidup kita, pikiran kita, dan budaya kita.”
Melalui informasi yang disajikannya, pers dapat mempengaruhi audiennya, pembaca maupun pendengar dan penonton. Berita, artikel, foto, atau musik dan drama yang diperdengarkan radio atau ditayangkan televisi, akan selalu membawa perubahan situasi dan kondisi pada khakayaknya. Perubahan dimaksud pada akhirnya akan membuahkan suatu opini publik, yang secara langsung atau tidak, berpengaruh pada tatanan kehidupan khalayaknya. (Suhandang, 2016)
Daring
Shirley Biagi (2015) pun mengemukakan bahwa industri media menyediakan informasi dan hiburan. Akan tetapi, media juga dapat mempengaruhi institusi politik, sosial, dan budaya. Di era globalisasi dan digitalisasi saat ini, media pun mengalami perubahan yang sangat besar. Kalau dulu hanya terbagi dua, media cetak dan elektronik, saat ini sudah ada media daring. Bahkan, informasi melalui media pun bisa dinikmati dalam satu media, dikenal dengan istilah konvergensi media.
Hal ini seperti dikemukakan Syarifuddin Yunus (2012), media online dapat disamakan dengan pemanfaatan media dengan menggunakan perangkat internet. Media online sebagai salah satu media massa yang tergolong memiliki pertumbuhan spektakuler. Bahkan saat ini, hampir sbagian besar masyarakat mulai dan sedang menggemari media online.
Sekalipun internet tidak sepenuhnya dimanfaatkan untuk media massa, tetapi keberadaan media online saat ini sudah diperhitungkan banyak orang sebagai alternatif dalam memperoleh akses informasi dan berita. Dengan perkembangan teknologi, memang sajian media cukup dinikmati dari jenis satu media.
Dari satu jenis media, kita bisa membaca berita, bisa mendengar laporan reporter, dapat menonton sajian reporter tentang peristiwa di belahan dunia sana. Bukan hanya berita dan feature maupun opini, yang merupakan isi media yang bisa dinimati. Tapi film, iklan, diskusi, debat, surat pembaca, dan bahkan tips-tips ringan mengatasi persoalan sepele sampai yang rumit pun bukan tidak mungkin diperoleh dari media massa kini. Itu semua berkat perkembangan teknologi sehingga media massa pun bisa diterima melalui daring.
Menurut Maria Puspita Sary dkk (2013), di era globalisasi seperti ini dimana arus informasi harus bergerak cepat, dibutuhkan suatu penggabungan berbagai media yang dapat diakses dimana saja dan kapan saja. Tidak bermaksud mengintimidasi fungsi dari media-media massa secara terpisah, namun kini kita sudah dapat ‘membaca harian’, mendengar siaran radio’, sampai ‘menyaksikan suatu tayangan’ hanya menggunakan satu media saja. Media-media yang terbilang tradisional tersebut, kini melebur menjadi satu dan terwujud lewat adanya intenet. Penggabungan media-media tersebut, yang kita kenal dengan sebutan konvergensi media.
Bisa dibayangkan, zaman dahulu saja, informasi yang disebarkan media tidak begitu luas pun, daya ubahnya begitu besar. Saat itu untuk membaca koran hanya bisa kalau kita berada di wilayah edar media tersebut, bisa mendengar siaran radio kalau frekuensinya bisa diterima dengan baik, dan televisi hanya bisa ditonton di wilayah yang terjangkau siarannya.
Kala itu, pembaca hanya bisa mendapat informasi dari media cetak, seperti koran, tabloid maupun majalah. Pun pendengar radio cuma dibatasi informasi melalui pesawat radio. Ataupun, pemirsa televisi pun sekedar memperoleh informasi dari layar kaca. Maka, di era konvergensi media saat ini yang daya nikmat, daya jangkau, daya edar nya begitu variatif, tentu tak bisa dibantah kalau dampak yang diakibatkan informasi media akan begitu dahsyat.
Kemajuan teknologi juga menambah kecepatan beredarnya berita. Seperti dikemukakan Ishwara (2005), media cetak, seperti surat kabar dan majalah, kalah bersaing kecepatan dengan media elektronik seperti radio, televisi, dan internet. “Dan kini bertambah hebat lagi dengan munculnya internet. Melalui internet –online journalism— kita bisa menjelajah berita dengan kedalamannya tanpa ada batasan atau kendala ruang. Berita pun dapat menyebar luas dan bisa terus diperbarui. Online journalism ini menerapkan annotative journalism: tinggal meng-klik suatu kata, kita bisa mendapatkan informasi sebanyak yang tersedia.
Itulah dampak teknologi bagi perkembangan pers. Ini bukan hanya dirasakan di Indonesia, tetapi sudah merambah ke seluruh dunia. Bahkan, bukan dampak positif seperti tergambar di atas, tetapi juga dampak negatifnya. Yang kalau tidak diimbangi oleh kalangan pers itu sendiri akan menggulung keberadaannya.
Di Indonesia, media mainstream telah bermain di ranah daring ini sejak 1994 diawali oleh Republika.com. Lalu di tahun yang sama juga ada Tempointeraktif.com (kini Tempo.co). Bisnis Indonesia, di tahun 1996, dan Kompas dengan Kompas.com-nya di tahun 1997. D luar Jakarta, yang pertama kali hadir, Waspada.co.id di Medan. Media daring tanpa media cetak mulai tumbuh di tahun 1997, dimulai dengan Detik.com di bulan Juli. Lalu diikuti bebeapa situs seperti Astaga.com, Satunet.com, Lippostar.com, Kopitime.com, dan Berpolitik.com. Namun kemudian, media-media ini tumbuh dan tumbang bergantian, Yang masih bertahan hanya Detik.com dan media-media baru lainnya.
Perkembangan dan pertumbuhan media daring ini pun, diikuti oleh lahirnya organisasi berbasis media siber. Sebut saja, SMSI (Serikat Media Siber Indonesia), lalu ada AMSI (Aliansi Media Siber Indonesia), IWO (Ikatan Wartawan Online), dan AJO (Aliansi Jurnalis Online). Lahirnya organisasi ini barangkali diilhami Pasal 7 ayat 1 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi: “ 1. Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.” Meskipun saat ini, organisasi wartawan yang terverifikasi Dewan Pers hanya PWI, AJI, dan IJTI, mungkin tidak disalahkan juga kalau beberapa wartawan memilih organisasi di luar itu. Sambil menunggu proses, organisasi mereka itu poun akan terverifikasi.
Medsos
Tahun 1787, Thomas Jefferson mengatakan,”’lebih baik kita memiliki pers tanpa pemerintahan daripada pemerintahan tanpa pers” . Inilah tonggak pers sebagai pilar keempat, untuk menyangga tatanan negara bila eksekutif, legislatif, dan yudikatif oleng atau lemah atau berkonspirasi ke arah yang bertentangan dengan kehendak publik.
Kini, tiga abad kemudian, publik bikin saluran sendiri di dunia maya melalui media sosial. “Inilah pilar kelima, yang muncul karena kekecewaan publik terhadap komitmen empat pilar terdahulu. (sirikit syah, 2014)
Kehadiran media sosial sebagai implikasi dari perkembangan iptek memang tak bisa dihindari. Komunikasi menggunakan media memang kemudian terbelah. Melalui saluran media mainstream (pers) dan media sosial. Media mainstream tentu dilengkapi dengan aturan dan kode etik serta news value. Sementara media sosial sangat bebas, bergantung kepada keinginan dan jari penggunanya.
Perkembangan iptek ini juga dipengaruhi perubahan politik sehingga peran komunikasi pun berubah. Kalau dulu Napoleon sangat percaya akan kekuatan pers, kini seakan kekuatan itu mulai berkurang.
Masyarakat terkadang lebih terpuaskan menggunakan saluran media sosial. Akibatnya, media mainstream, terkada ng seakan berseberangan dengan medsos. Kondisi kini seakan keduanya terjebak dalam posisi sebagai pilar demokrasi. Pilar keempat dan pilar ke lima. Atau kedua-duanya menempati posisi sebagai pilar keempat dalam demokrasi.
Bagaimanapun, perkembangan teknologi telah membawa implikasi bagi pers. Selama beberapa masa lalu, pers telah berhasil melaluinya dengan mulus. Meskipun pergeseran mau tidak mau tetap dirasakan. Seperti dari pers idealis bergeser menjadi pers bisnis. Artinya, di era pers adalah bisnis, tetap bisa mempertahankan sisi idealisnya. Di zaman now, di era merebaknya medsos, tentu diharapkan pers juga tetap bisa bertahan sebagai pelaksana kontrol sosial. Selain, tentunya memberi informasi, hiburan, sarana pendidikan, dan berbagai fungsi lainnya.
Medsos, seperti Facebook, Whatsapp, Instagram, twitter, dan lain-lainnya tak terbantahkan juga sarana komunikasi. Sama halnya dengan pers, mereka juga dibutuhkan. Hanya saja, pers punya ciri dan karakteristik tersendiri yang tak dimiliki oleh medsos. Dengan bekal idealisme dan berpedoman kepada kode etik dan UU No 40 Tahun 1999 tenyang pers, semoga pers Indonesia tetap dibutuhkan menjadi pilar keempat dalam membangun bangsa.
Dalam pasal 6 UU No 40 Tahun 1999, pers nasional itu memiliki fungsi yang sangat penting: Yakni, “Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut: a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan; c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
“Pelaksanaan fungsi-fungsi ini tentu akan lebih terjaga dengan mengacu kepada kode etik. Masing-masing organisasi, seperti PWI, AJI, dan IJTI (yang terverifikasi) punya kode etik yang berbeda. Namun, Dewan Pers kemudian menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang berlaku bagi semua wartawan.
Paling tidak, dengan kode etik ini, wartawan bisa melaksanakan profesinya sesuai standar dan masyarakat tetap terjaga hak-haknya. Perkembangan terakhir, PWI bahkan kini telah punya Kode Perilaku Wartawan. Telah disahkan dalam Kongres PWI 2018 lalu. Di mana dalam kode perilaku ini diatur tentang bagaimana wartawan itu mestinya berperilaku secara teknis.
Di Hari Pers Nasional tahun ini, yang dipusatkan di Surabaya, para penggelut profesi Mat Kodak tentunya harus bisa lebih meningkatkan kemampuan dan bertahan dengan profesinya. Menguasai ranah teknologi tanpa melupakan kompetensi dan meningkatkan profesionalitas dengan mengutamakan etika. Sehingga di zaman now, para kuli tinta semakin bermartabat. Hanya dengan ini, media mainstream akan bisa bertahan dan tetap dibutuhkan oleh masyarakat, Meskipun medsos semakin diminati, media massa akan tetap ditunggu kehadirannya.
Penulis: Muhamad Nasir
Penanggungjawab Sumselterkini.co.id