BERAWAL dari hobi mendengar lagu-lagu Orkes Melayu, ternyata membuat Hirmeyudi (41) sukses menjadi pebisnis [kolektor] barang antik, berupa piringan hitam [PH]. Jual beli barang antik dari industri musik ini sudah dilakoninya sejak 2007 lalu.
Yudi sapaan hari-harinya itu, sedikit membuka rahasianya kenapa ia tertarik untuk menjadi kolektor PH ?. Menurutnya, ibarat sudah menjadi makanan pokok dirinya mendengar orkes melayu, sehari tanpa mendengarkan orkes melayu dipiringan hitam, sepertinya ada yang kurang dalam berakitivitas sehari-hari.
Nah, beranjak dari situ, akhirnya ia pun terinspirasi untuk mencoba mengkoleksi PH, bahkan mencoba menawarkan kepada pembeli yang juga hobi dengan orkes melayu di PH.
“Saya menjadi kolektor PH, sudah seumur dengan usia pernikahan saya,”ungkap pria dua anak ini, saat di jumpai di Toko antik, Gang Danau di Kawasan Cinde, minggu(11/11/2018).
Yudi mengaku, pernah merogoh koceknya jutaan rupiah demi mendapatkan 1 buah PH,karena PH itu dinilai sangat langka.
“Tergantung dari langkanya PH itu sendiri, sedangkan untuk yang biasa sekarang dibandrol dengan harga puluhan ribu rupiah saja, saya contohkan, PH yang langka, seperti Pidato Proklamasi, itu jika ada kolektor, pasti harganya tinggi,”ucapnya sembari tersenyum ketika ST mengorek harga PH Pidato Proklamotor itu.
Terkait sulit atau tidaknya diperoleh PH ini, Ia mengaku tidak begitu sulit mendapatkannya, karena selain dirinya yang datang langsung ke tempat orang yang menjual, kebanyakan sekarang orang-orang datang langsung ke toko Antik miliknya.
Yudi sedikit bercerita sejarah tentang PH, menurutnya, PH itu ditemukan pada 1926 oleh Alexander Graham Bell. Pada awalnya piringan hitam dibuat dari bahan kaca, karet dan plastik, namun yang paling terkenal adalah piringan hitam yang terbuat dari shellac, yaitu bahan kapas digunakan untuk membuat kertas manila.
“Karena mudah rusak, akhirnya menggunakan bahan yang lebih awet, yaitu plastik vinyl, sejenis dengan plastik polymer. Piringan hitam memiliki tiga ukuran, yaitu 78 rpm, 45 rpm, 33 1/3 rpm.
Yudi mengaku semua koleksi PH dapat di Palembang. “Kita sikat dulu yang disini, kan Palembang kota tua,”jelasnya.
Alat pemutar piringan hitam yang dipajang, kata Yudi terbilang klasik, yakni gramofone yang menggunakani corong, model kotak,dan model tas yang belum menggunakan listrik dengan memakai mesin terus diengkol. PH- nya tebal berbahan arang dan di pres mudah pecah, populer pada1948.
Seterusnya di atas 50 an ke luar turn table dan pick up yang sudah menggunakan listrik dan batere ph tipis bahan plastik lentur tak mudah pecah populer era 70 an. Setiap alat disesuaikan perkembangan musik di zamannya, juga penyanyi yang populer di zamannya.
Sedangkan untuk dijual kembali, diakuinya pada awal memang tidak ada pembeli dari Palembang, karena banyak yang tidak punya alat PH, selain itu memang kurang minat,
“Makanya rata – rata pembeli umum kebanyakan kolektor dari luar kota Palembang terutama daerah Jawa dan luar negara Indonesia, seperti Malaysia,”urainya.
Sebenarnya, bukan permasalahan dari jual beli nya, urai ia, namu ada pesan moral yang selalu disampaikan Yudi untuk generasi saat ini.
Dia menilai tidak semua barang – barang usang itu tidak bernilai, tapi keberadaannya punya nilai sejarah yang kadang orang tidak tahu menjadi tahu.
“Kalo sekarang kalangan menengah dan pedagang sudah banyak yang mengkonsumsi, Alhamdulilah, berhasil juga mengupayakan berkembangnya hobi dengan PH di Palembang,”jelas Yudi.
Dia mengakui saat baru memulai mengenal PH, PH itu hanya dipajang dipinggir jalan Cinde setiap hari minggu pagi, karena diawal alat untuk memutar piringan hitam tidak dijual.
“Setiap aku pamerkan PH, ramai berkerumun dan lagu aku putar bergantian malah banyak yang request akhirnya, satu demi satu bermunculan penggemar dan membeli alat selanjutnya beli PH,” terangnya.[**]
Penulis : Faldy