EKONOMI kreatif Indonesia sekarang ibarat anak muda yang lagi gaspol di jalan tol. Lampu hijau menyala di Jakarta dan Jawa Barat, klakson menderu, aspal mulus – semua nyaman, semua senang. Tapi begitu belok ke luar Jawa, jalanan masih berdebu, lubang di mana-mana, dan si anak muda cuma bisa ngegas di tempat yang aman.
Ya, begitulah kisah investasi ekonomi kreatif di negeri kita, Jakarta dan beberapa provinsi Jawa lagi pesta pora, sementara daerah lain cuma bisa menatap “kue” yang belum jatuh ke pangkuan mereka.
Dalam Rapat Tingkat Menteri yang digelar di Kantor Kemenko PM, Jakarta, Selasa (4/11/2025), Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi kreatif luar biasa, tapi masih terkonsentrasi di DKI Jakarta dan wilayah Jawa. Ia menyebut bahwa investasi di Jakarta naik dari Rp 18,14 triliun menjadi Rp 25,97 triliun, menunjukkan bahwa kota ini tetap menjadi magnet bagi investor.
Riefky menegaskan “Ketika investasi semakin besar, berarti kinerjanya akan lebih banyak sebab para investor tak hanya mengejar pasar di Indonesia, tapi menuju regional bahkan kompetitif secara global”.
Bayangin seorang pelaku UMKM di daerah luar Jawa yang produknya keren banget, misal perajin batik di Sumatera atau perajin kerajinan tangan di Kalimantan, tapi investor masih lebih suka Jakarta.
Si UMKM cuma bisa mengangkat bahu sambil tersenyum, seperti pepatah Sunda “Leutik-leutik ku jalan, gedé ku niat”. Potensi bisa besar kalau niat dan strategi digabung, tapi kalau niat tanpa akses modal dan jaringan, ya gigit jari aja.
Menteri Ekraf menekankan bahwa fokus kementeriannya adalah memperkuat rantai nilai ekonomi kreatif sehingga sektor ini bisa menjadi penopang kelas menengah. Pasalnya, sebanyak 9,5 juta orang kelas menengah turun kasta, dan ekonomi kreatif hadir sebagai penopang agar mereka tidak semakin jauh dari kesejahteraan.
Dengan kata lain, Ekraf ingin bukan hanya menciptakan peluang usaha, tapi juga menjadi jaring pengaman sosial.
Dalam rapat itu, Menko PM, Abdul Muhaimin Iskandar, menambahkan bahwa strategi penanggulangan kemiskinan ekstrem tidak cukup hanya dengan bansos. Mereka menekankan pemberdayaan ekonomi masyarakat, penerima bansos bisa dilatih menjadi pekerja produktif satpam, office boy, montir, waiter, dan profesi lainnya.
Pegiat ekonomi kreatif diberi akses ruang kerja bersama, ruang pamer, dan pasar kreatif, contohnya Pos Bloc dan M Bloc Jakarta dan aktivasi aset BUMN dan pemerintah untuk pusat bisnis UMKM dan ekonomi kreatif di seluruh Indonesia.
Bayangin humor kecilnya, seorang seniman digital dari Papua bikin karya NFT tapi server paling cepat ada di Jakarta. Dia harus zoom pakai sinyal seadanya sambil berdoa wifi tidak putus.
Atau pelaku UMKM di Sumatera Barat yang produknya luar biasa, tapi belum ada investor yang datang ke daerahnya. Lucu tapi sedih, kan?
Riefky juga menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi kreatif harus inklusif, bukan hanya di pusat kota besar. Dari 5 provinsi yang mengalami kenaikan investasi (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan Jawa Timur), investasi masih sangat terkonsentrasi di Jakarta dan Jawa, sementara provinsi lain belum terlalu tersentuh.
Kalau kita analogikan, ekonomi kreatif ini seperti kue lapis legit. Jakarta dan Jawa dapat lapis pertama, paling manis dan tebal. Provinsi lain baru dapat remah di pinggir loyang.
Lucu tapi sedih, idealnya kue harus dipotong rata, biar semua bisa merasakan manisnya. Kalau tidak, namanya bukan pertumbuhan inklusif, tapi pesta kota besar di atas kepala daerah tertinggal.
Dari sisi edukasi, Kemenko PM menekankan bahwa investasi saja tidak cukup. Infrastruktur, akses teknologi, dan pelatihan untuk pelaku kreatif di daerah harus ditingkatkan. Jika tidak, kreativitas lokal akan terbatas dan potensi ekonomi daerah tidak tersalurkan. Dengan kata lain, kreatif bukan sekadar ide, tapi perlu ruang, modal, dan jaringan untuk berkembang.
Dalam rapat itu, hadir pula menteri-menteri lain untuk mendukung orkestrasi nasional pengentasan kemiskinan melalui ekonomi kreatif Menteri Sosial, Saifullah Yusuf, Menteri UMKM, Maman Abdurrahman, Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Mukhtarudin dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Yandri Susanto.
Ini menegaskan satu hal yaitu ekonomi kreatif bukan sekadar tanggung jawab Kemenparekraf, tapi instrumen koordinasi nasional yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Lampu hijau
Contoh negara lain bisa menjadi pelajaran, misalnya Vietnam, yang menyadari bahwa kota besar menarik investor, tapi pemerintahnya juga membangun creative hub di kota kecil agar distribusi pertumbuhan kreatif merata. Indonesia bisa meniru strategi ini jangan biarkan lampu hijau hanya untuk Jakarta-Jawa, tapi nyalakan juga untuk provinsi lain.
Jelas, jangan biarkan keberhasilan satu wilayah menutupi ketertinggalan wilayah lain. Ekonomi kreatif bukan sekadar angka di laporan resmi, tapi soal kesempatan yang merata, pertumbuhan inklusif, dan kesejahteraan masyarakat luas. Kita boleh ngakak melihat statistik melonjak, tapi tertawa saja tidak cukup kalau rezeki masih timpang.
Oleh sebab itu, Ekraf sudah melaju di jalurnya, tapi jalan tol yang dipakai masih terlalu sempit untuk seluruh negeri. Perlu ada cabang-cabang jalan di provinsi lain agar kreativitas bisa bergerak bebas, masyarakat mendapat manfaat, dan kemiskinan ekstrem bisa ditangani lebih efektif. Lampu hijau investasi harus menyala untuk semua daerah, bukan hanya pusat kota besar.
Boleh kita bangga, karena kue ekonomi kreatif mulai matang dan harum di Jakarta, tapi jangan sampai daerah lain cuma bisa mengendus aromanya. Kue harus dipotong adil, biar semua bisa makan sampai kenyang.
Hidup ini terlalu singkat untuk melihat orang lain makan enak sementara kita cuma ngiler dari jauh. Mari pastikan lampu hijau ekonomi kreatif merata, supaya semua bisa ikut gas pol, bukan cuma sebagian kecil yang nyaman di jalan tol.[***]