Kesehatan

Dosen Rawa & Daun Kalakai Penyelamat Stunting

kemdiktisaintek.go.id

BIASANYA dosen riset di laboratorium dingin ber-AC, lengkap dengan jas putih dan bau alkohol 70%, namun dosen yang satu ini tampil beda, ia malah risetnya di rawa, berkaos oblong, ditemani nyamuk, dan kadang diseruduk kodok.
Siap lagi kalau bukan Helmina Wati, Dosen Jurusan Farmakologi dan Farmasi Klinis di Universitas Borneo Lestari (UNBL), Kalimantan Selatan.

Daripada sibuk nyari bahan riset dari luar negeri yang namanya susah diucap, Helmina justru nemuin harta karun di belakang rumah warga, tanaman kalakai, si pakis rawa yang selama ini cuma dianggap “sayur penggembira”.

“Orang Banjar itu kadang rendah hati banget” kata Helmina sambil ketawa. “Daun aja yang bisa nyelamatin gizi bangsa, masih dikira cuma buat sayur santan”.

Di Desa Sungai Besar, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, kalakai tumbuh subur tanpa perlu dipupuk. Tapi nasibnya mirip mantan yang disia-siakan, ada, tapi tak dianggap.
Padahal kandungan zat besinya tinggi banget, 290 mg per 100 gram!
Kalah, deh… bayam Popeye.

Tahun 2024, lewat Hibah Pengabdian kepada Masyarakat Kosa Bangsa dari Kemdiktisaintek, Helmina dan tim turun tangan.
Bukan cuma bawa teori, tapi bawa niat tulus (dan sepatu boot).

“Waktu itu kasus stunting di sini ada 13 anak,” katanya. “Saya pikir, masa iya di tengah rawa banyak nutrisi, tapi anaknya malah kurang gizi? Kan ironi banget”.

Bahkan Helmina dan timnya lalu bereksperimen.
Mereka ambil daun kalakai muda, keringin, halusin, campur jahe.
Jadilah serbuk instan kalakai jahe,  minuman herbal yang bikin tubuh hangat dan hati tenang.

Rasanya? “Kayak minum jamu yang lagi bahagia,” kata salah satu warga sambil nyeruput.

Selain enak, minuman ini juga kaya zat besi, vitamin C, dan antioksidan, cocok buat ibu hamil, anak-anak, sampai bapak-bapak yang sering ngeluh “mudah capek tapi nggak tahu kenapa”

Kata Helmina, efeknya bukan cuma bikin segar, tapi juga bantu tingkatkan kadar hemoglobin dan cegah anemia.
“Kalau orang kota punya suplemen mahal, kita punya kalakai. Lebih alami, nggak bikin kantong anemia,” ujarnya ngakak.

Ternyata, riset Helmina bukan cuma soal minuman sehat, tapi juga pemberdayaan.
Ia ngajak ibu-ibu PKK dan Kelompok Wanita Tani (KWT) buat ikut produksi.

Dari yang dulu cuma jago bikin tumis kangkung, sekarang bisa bikin puding kalakai, teh herbal, sampai serbuk instan yang dikemas rapi.

“Awalnya bingung juga, ini daun pakis mau diapain?” cerita Bu Narti, salah satu ibu PKK. “Tapi sekarang malah ketagihan. Rumah saya kayak pabrik jamu mini”.

Selain jadi lebih sehat, mereka juga punya penghasilan tambahan. “Dulu kami cuma makan kalakai, sekarang kalakai yang makan kami” kata Bu Narti sambil ngakak, maksudnya, jualan kalakai bikin dapur ngebul.

Program Helmina bukan cuma bikin ramai dapur warga, tapi juga nurunin angka stunting.
Data terbaru menunjukkan, jumlah anak stunting di desa itu turun dari 13 jadi 7 kasus.

“Bukan karena kalakai aja,” jelas Helmina, “tapi karena kesadaran warga naik. Mereka mulai ngerti pentingnya gizi dan kesehatan”

Kata kader posyandu setempat, sejak ada program ini, ibu-ibu jadi rajin ikut penyuluhan dan nggak lagi ngira “gemuk itu sehat”
Bahkan, sekarang anak-anak mereka lebih doyan makan sayur ketimbang jajanan warna-warni yang biasanya lebih mirip karet gelang daripada makanan.

Kesehatan Nggak Harus Ribet

Yang menarik dari Helmina, ia selalu bilang bahwa kesehatan itu nggak perlu rumit.
“Kadang kita sibuk nyari suplemen dari luar negeri, padahal di rawa depan rumah udah ada apotek alami,” katanya.

Ia menyebut pendekatannya sebagai teknologi kesehatan lokal berbasis empati. Artinya, bukan bikin alat canggih yang warga nggak paham, tapi ngajak mereka pakai apa yang udah ada di sekitar.

“Kalakai ini teknologi juga, cuma versi tradisional,” candanya.
“Bedanya, kalau alat medis perlu baterai, kalakai cukup disiram”

Helmina nggak sendirian. Ia berkolaborasi dengan tim dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Liling Triasmono, Agung Biworo, dan Muhammad Iwan. Mereka bareng-bareng ngerancang model pengabdian plus riset plus pemberdayaan  paket komplit.

Dengan dukungan hibah dari Kemdiktisaintek, mereka juga kembangkan Kebun Tanaman Obat Keluarga (TOGA) di desa itu.
Sekarang, warga punya lebih dari 100 jenis tanaman obat, dari jahe, serai, sampai daun insulin.

“Kalau dulu sakit kepala buru-buru cari apotek, sekarang tinggal cari pot,” kata Helmina sambil ketawa.

Cerita Helmina ini bukan cuma soal daun, tapi soal pandangan hidup.
Bahwa sehat itu nggak cuma urusan rumah sakit dan dokter.
Sehat itu juga soal mengenal lingkungan, menghargai alam, dan mau belajar bareng.

Di tangan Helmina, rawa bukan cuma tempat berlumpur.
Ia jadi ruang belajar, tempat sains dan kemanusiaan bersatu.
Tempat di mana ibu-ibu jadi ilmuwan, anak-anak tumbuh sehat, dan daun pakis bisa bikin bangsa lebih kuat.

Atau seperti kata pepatah Banjar versi Helmina “Kalau mau tubuh sehat, jangan cuma cari obat, tapi cari semangat”.[***]

Terpopuler

To Top