Tekno

“AI Bikin Cerdas atau Bikin Cemas? Robotnya Naik Daun, Manusianya Turun Sinyal”

Komdigi/ist

DULU misalnya banyak  orang takut disalip motor di jalan raya, sebaliknya sekarang orang takut disalip robot di tempat kerja, benar nggak?, katanya sih, Artificial Intelligence alias AI itu, jadi ancaman, pasalnya bakal ngambil 85 juta pekerjaan.

Waduh….gimana dengan manusia? pasti langsung heboh, kayak warung yang tau sebelahnya buka promo beli satu gratis satu, sebab ancaman untuk periok orang. Tapi kata Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, tenang aja, AI itu bukan ancaman, tapi peluang…

Wah, kalimatnya menenangkan, ya…!, namun kalau dipikir-pikir, sama kayak dokter bilang “operasi kecil kok”, padahal yang disayat tetap hati, eh….. maksudnya kulit.

Meutya benar juga kalau kita renungkan, apalagi kita bangsa besar dan paling optimis soal teknologi, tapi optimis aja tanpa skill itu ibaratnya bawa peta, tapi nggak bisa baca kompas.

Bahkan jika ada  survei Internasional, rakyat Indonesia katanya paling nggak takut sama AI. Hebat bukan?, tapi, ada tapinya nih,  mungkin juga karena banyak yang belum ngerti AI itu apa.

Misalnya, kalau orang Jepang itu belajar machine learning, orang kita kadang masih bingung bedain AI sama AE ….(Abang Es).

Bahkan Negara lain udah siapin warganya, sebut saja Korea Selatan, misalnya, dari bocah SD udah diajarin ngoding dan pakai AI buat bantu belajar. Sementara kita, anak SD masih rebutan sinyal di rumah, dan guru sibuk nge-print tugas di warnet.

Optimisme tanpa kesiapan itu kayaknya yakin bisa berenang padahal baru belajar gaya batu, hehehe… tenggelamnya pelan, tapi pasti, gak muncul lagi dipermukaan..

Oleh karena itu, pemerintah katanya lagi nyusun Peta Jalan Nasional AI, dan bakal jadi Perpres di awal 2026. Mantap juga!, tapi semoga peta itu bukan cuma gambar indah di PowerPoint. Soalnya begini…., percuma peta bagus kalau jalan aspalnya masih berlubang, baik secara harfiah maupun digital.

Di kota besar, misalnya anak-anak mudanya udah pakai ChatGPT buat ngerjain tugas kuliah, namun gimana dengan di pelosok?, karena masih ada siswa yang kalau mau buka Google, harus naik bukit dulu. Kalau sinyalnya di atas pohon, gimana mau bersaing sama robot yang sinyalnya 5G?

Pepatah bilang, “Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga”. Nah, sepintar-pintarnya AI berlari, kalau manusia di belakangnya masih jalan kaki, yang sampai duluan tetap robot.

AI mestinya jadi alat bantu rakyat kecil, bukan cuma mainan startup di Jakarta Selatan, masa rakyat di pelosok cuma kebagian nonton doang?

Coba pikirkan, kalau AI bisa bantu nelayan di Banyuasin memprediksi cuaca biar nggak kejebak badai. Atau bantu petani di Lahat menebak kapan hujan turun biar nggak salah tanam. Itu baru namanya Artificial Intelligence for Indonesia, bukan Artificial Intelligence for Investor.

Tengoklah, di Tiongkok, AI-nya itu udah bantu petani untuk mendeteksi hama lewat kamera HP, lain lagi di India, AI-nya juga bisa bantu warga miskin dapat akses pendidikan lewat aplikasi ringan. Nah, kita kapan?, jangan-jangan nanti AI-nya malah bantu influencer cari caption estetik buat jualan skincare?

Jadi cermin

Oleh karena itu, AI itu memang pinter, tapi kelemahannya AI nggak punya nurani, ia nggak punya rasa dan nangis sedih lho!, apalagi kasiha,  dia cuma bisa nulis puisi cinta, tapi nggak pernah jatuh cinta, alias mati rasa.

Selain itu, bisa bikin musik galau, tapi nggak pernah ditinggal pas sayang-sayangnya dan emosi nggak ada,  jadi, kesimpulannya, kalau manusia itu kehilangan kebijaksanaan, maka kita kalah sama mesin yang bahkan nggak ngerti rasa, sama aja mesin memperdaya manusia, jadi jangan males mikir…

Pepatah lama bilang, “Pisau itu berguna kalau dipegang kokinya, tapi bahaya kalau dipegang perampok”.. Nah, bisa gawat… sebaliknya AI juga bisa gitu.

Sebab itu, di tangan orang bijak, AI bisa bantu manusia jadi lebih efisien,  tapi jika di tangan orang yang salah, bisa jadi alat penyebar hoaks, manipulasi data, bahkan ancaman demokrasi.

Jadi, bukan AI yang bahaya, tapi manusia yang malas belajar, mari renungkan, sebab kalau otak manusia itu berhenti berkembang, nanti mesin bukan cuma bantu, tapi malah mengambil alih job kita..

AI sebenaranya kalau kita bijak, dia bukan monster yang datang buat mengancam, AI cuma jadi cermin, sebab kalau manusia cerdas, dia jadi alat bantu alias asisten kita.. kalau manusia bebal….maka ia jadi penguasa.

Kata pepatah Arab, “Barang siapa berhenti belajar, maka bersiaplah digantikan”, dan…. di era AI ini, mungkin kita perlu versi baru, yaitu “Barang siapa malas beradaptasi, maka siap-siap dipensiunkan oleh robot” alias di depak!.

Jadi, yuk, jangan cuma optimis di bibir, mari upgrade skill, melek digital, dan belajar pakai AI dengan bijak, karena sehebat-hebatnya teknologi, tetap manusia yang menentukan arah.

Ingatlah, robot boleh belajar dari data, tapi manusia belajar dari rasa, kalau itu sampai hilang, maka yang tinggal cuma besi yang berisik dan manusia yang pasrah.

Jadi, oleh sebab itu,  jangan takut AI bakal ambil kerjaanmu, takutlah kalau kamu berhenti berpikir dan berhenti beradaptasi, karena yang diganti bukan pekerjaannya, tapi orangnya.

Robot boleh bikin kopi, tapi cuma manusia yang bisa bikin kopi sambil bercerita lucu dan nambah gula pas tahu kamu lagi patah hati. Itu yang namanya kecerdasan emosional, bukan artificial.[***]

Terpopuler

To Top