Tekno

Bukan BPKB Ponsel, Tapi Asuransi Digital, Ketika IMEI Jadi Penjaga, Bukan Polisi!

Komdigi

“WAH…., nanti HP disamain kayak motor ya?, harus balik nama segala?”
Pertanyaan itu mungkin sempat bikin geger sejagat maya pekan lalu, di Grup Media Sosial, seperti salah satunya WhatsApp keluarga juga ikut mendadak ramai, status Facebook emak-emak pun ikut berseliweran, dan thread X (Twitter) penuh debat IMEI seolah negara bakal bikin BPKB ponsel.

Padahal, kata Dirjen Infrastruktur Digital Kemkomdigi Wayan Toni dalam keteragan rilis resmi dilaman komdigi.go.id menjelaskan semua itu cuma salah paham yang kebablasan. “Tidak benar kalau seolah-olah pemerintah akan mewajibkan setiap ponsel punya surat kepemilikan, seperti kendaraan bermotor.

Ini sifatnya sukarela,” katanya, dengan nada seperti guru sabar menjelaskan rumus ke siswa yang baru sadar PR-nya salah semua.

Jadi begini pemerintah lewat Kemkomdigi sedang mewacanakan sistem blokir dan pendaftaran ulang IMEI, tapi, bentar dulu, jangan salah paham, karena bukan berarti kamu harus ngantri di samsat ponsel sambil bawa STNK HP dan fotokopi KTP tiga lembar.

Sistem ini bersifat sukarela, artinya, kalau kamu mau perlindungan ekstra, misalnya HP kamu hilang, dicuri, atau dijadikan “HP backup” oleh maling yang kreatif, kamu bisa melaporkan IMEI ke sistem. Nah, HP itu akan diblokir, jadi nggak bisa dipakai siapa pun, kalau ketemu lagi, bisa diaktifkan kembali.

Ibaratnya, bukan BPKB, tapi asuransi digital, kalau motor kamu hilang, kemungkinan cuma bisa pasrah dan berharap malingnya tobat. Tapi kalau ponselmu hilang dan IMEI-nya terdaftar, malingnya malah gigit jari karena HP itu jadi “bata elektronik”.

Sebenaranya bisa dikatakan IMEI itu kayak sidik jari digital buat setiap ponsel, nomornya unik, nggak bisa diduplikasi, lewat nomor itu, pemerintah bisa tahu mana ponsel resmi, mana yang nyasar alias black market (BM).

Kalau kamu beli ponsel murah meriah dari online shop tak dikenal, bisa jadi itu anak haram teknologi, tidak diakui sistem, tidak punya garansi, dan kalau rusak ya nasib.

Oleh sebab itu, sistem IMEI ini penting banget buat menekan peredaran ponsel ilegal, tapi karena wacana ini belum resmi, Kemkomdigi masih “ngaji bareng” dengan akademisi dan masyarakat di forum-forum diskusi, termasuk di ITB, tujuannya tak lain bukan biar kelihatan pinter, tapi biar kebijakan ini matang dan tidak kayak software beta yang baru diinstal sudah crash.

Begitu wacana ini muncul, internet langsung berkreasi. Ada yang bilang “Kalau nanti HP ganti tangan, harus bawa surat hibah segala?” dan “Jual HP bekas nanti kayak jual tanah, perlu notaris?”, he..he…

Padahal enggak begitu, bro, bahkan lucunya, orang Indonesia memang punya bakat alami dalam memelesetkan hal serius jadi hiburan Nasional, kalau ada isu baru, langsung dibikin meme, kalau ada klarifikasi, malah dibilang “klarifikasi klarifikasi”.

Tapi di balik tawa itu, memang ada pelajaran penting untuk semua masyarakat Indonesia, yakni transparansi komunikasi publik itu vital. Sekali salah ucap, netizen langsung bikin versi lucunya sendiri, dan kadang versi itu lebih viral daripada faktanya.

Nah, kalau dibedah tanpa tawa, kebijakan IMEI ini sebenarnya punya nilai strategis, antara lain untuk perlindungan konsumen [ponsel ilegal bisa diblokir, jadi tidak ada yang tertipu beli HP “bodong”]. Guna menekan kriminalitas, yakni maling ponsel kehilangan nilai jual, menjaga data pribadi, misalnya mencegah penyalahgunaan akun, foto, dan identitas korban dan terakhir menjadi ekosistem sehat, maksudnya tak lain mendorong masyarakat beli perangkat resmi yang bergaransi. Sistem ini ibaratnya jadi vaksin digital,  tidak wajib, tapi melindungi banyak orang kalau mau ikut.

Rem etika

Namun, tentu ada pertanyaan wajar dari masyarakat, ialah “Kalau IMEI bisa diblokir dan diaktifkan lagi, siapa yang pegang tombolnya?”. Pertanyaan yang valid, karena di era digital ini,  garis antara perlindungan dan pengawasan sering tipis, seperti casing transparan. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa data IMEI tidak disalahgunakan, baik oleh oknum, birokrasi, atau sistem yang kebocoran.

Kebijakan secanggih apa pun tetap harus punya rem etika, bukan cuma gas teknologi, misalnya saja di warung kopi langganan di ujung gang, semua orang kenal satu sama lain, kalau ada HP hilang, biasanya udah ketahuan siapa yang nemu, bahkan sebelum laporan ke polisi.

Jadi, IMEI ini mirip begitu, tapi versi nasionalnya, semua perangkat dikenali, bukan untuk mengatur, tapi supaya kalau ada yang nyasar, bisa dilacak balik ke pemiliknya. Jadi, keamanan bukan hasil dari ketakutan, tapi dari rasa saling percaya di ekosistem digital.

Pepatah bilang “Lebih baik kehilangan sinyal sementara, daripada kehilangan data selamanya”, karena pepatah ini belum masuk kamus peribahasa, tapi cocok banget buat zaman sekarang, HP hilang bisa diganti, tapi data dan identitas yang bocor bisa menghantui seumur hidup.

Oleh karena itu, wacana IMEI sukarela ini bukan tentang menambah aturan, tapi untuk mengubah arah perlindungan konsumen digital, dari yang reaktif jadi proaktif, dari sekadar lapor kehilangan jadi blokir biar maling kapok.

Pemerintah memang perlu memastikan implementasinya transparan dan mudah, tapi masyarakat juga perlu lebih paham soal keamanan perangkat, bukan cuma RAM, kamera, dan harga cicilan.

Karena di era digital ini, HP bukan lagi sekadar alat komunikasi, tapi dompet, kartu identitas, dan lemari rahasia kita semua, kebijakan ini mungkin masih berupa wacana, tapi kalau dieksekusi dengan bijak, bisa jadi tonggak baru ekosistem digital Indonesia yang lebih aman, sambil menunggu keputusan resmi, mari kita jaga HP masing-masing, baik dengan kode kunci, doa sebelum tidur, maupun sedikit humor di timeline.

Karena seperti kata kakek bijak di pojokan warung kopi, “Teknologi boleh canggih, tapi kalau manusianya belum siap, ya sinyalnya tetap lemot”.[***]

Terpopuler

To Top