DUNIA digital itu seperti pasar malam yang nggak pernah tutup, lampunya kelap-kelip, suara musik dari kederet kios, aroma makanan bikin lapar, orang lalu-lalang, semua serba ramai dan menggoda. Bahkan yang datang juga untuk ikut seru-seruan, namun tiba-tiba ketemu jebakan.
Bisa saja lagi scroll video kucing joget, tiba-tiba muncul konten… duh, [jangan sampai ya], eksploitasi seksual anak di ruang digital itu nyata, bukan lelucon.
Di Indonesia saja, laporan 2024 mencatat 1.450.403 kasus, itu bukan angka yang bisa diangkat dengan bahu santai, itu angka yang bikin kopi tersedak dan kucing ikut terkejut.
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, dalam keterangan pers dilaman resmi komdigi.go.id, belum lama ini bilang begini “Komdigi membangun ekosistem digital yang nggak cuma bikin kita kreatif, tapi juga bikin anak-anak aman”. Singkat, jelas, dan terasa seperti pepatah lama “Jangan menaruh telur di satu keranjang”.
Oleh karena itu, anak-anak nggak bisa cuma dijaga satu sistem, karena mereka butuh perlindungan berlapis, misalnya aturan, teknologi, literasi, dan kesadaran orang tua. Bayangkan kalau satu telur jatuh itu pecah, belepotan, bahkan susah dibersihkan, begitu juga anak-anak yang kena konten gelap, trauma nggak gampang hilang.
Sekarang, mari kita ngomongin teknologi AI, selama ini kita pakai buat bikin meme lucu, filter wajah jadi alien, atau efek dramatis kayak “air terjun di kamar mandi”. Tapi AI juga bisa disalahgunakan bikin konten kekerasan seksual anak.
Laporan Internet Watch Foundation (IWF) mencatat lebih dari 3.500 konten AI diunggah ke dark web pada Juli 2024, bahkan lebih dari 20.000 konten pada Oktober 2023. Jadi gadget kita bukan cuma pintar buat selfie, tapi juga bisa jadi senjata kalau nggak dijaga.
Nezar menekankan langkah konkret pemerintah sudah mantap, PP TUNAS, finalisasi Peta Jalan Kecerdasan Artifisial Nasional berbasis tata kelola manusia, penerapan SAMAN untuk moderasi konten, hingga literasi digital bagi masyarakat luas. Semua ini ibaratnya pagar setinggi-tingginya, tapi tetap harus kita jaga pintunya, pagar boleh tinggi, tapi kalau pintu terbuka, maling tetap bisa masuk.
Selain itu, kolaborasi lintas sektor menjadi kunci, ini bukan tugas satu kementerian atau satu lembaga, bank, e-wallet, transfer dana, aset kripto, penyedia layanan internet, sampai mitra global semua ikut bermain.
Kenapa?, karena eksploitasi seksual anak di dunia digital sering melibatkan jalur finansial yang rumit, jadi menutup konten saja nggak cukup, kita juga harus memutus aliran dana yang bikin praktik jahat itu tetap jalan.
Dari sisi psikologisnya, tentu anak-anak jadi korban konten kekerasan seksual, artinya baik nyata maupun berbasis AI pasti mengalami trauma mendalam.
Sehingga merasa malu, takut, dan depresi bisa jadi teman sehari-hari mereka, pikirkan coba, jika anak-anak ini harus bersekolah sambil membawa beban yang seharusnya nggak mereka tanggung. Kalau diumpamakan, mereka kayak main game level boss, tapi boss-nya nggak kelihatan, nggak bisa di-save, dan terus menyerang.
Kenali konten bahaya
Sekarang mari kita refleksikan dunia digital memberi peluang luar biasa, misalnya kreativitas tanpa batas, pembelajaran interaktif, kolaborasi global.
Tapi risiko tersembunyi juga banyak, kita punya pilihan, seperti menjadi pengguna pasif yang terhibur saja, atau penjaga aktif yang memastikan anak-anak aman. Pilihan ini bukan soal teknologi semata, tapi soal nilai, tanggung jawab, dan masa depan bangsa.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?. orang tua sebaiknya bisa memulai dari literasi digital di rumah, yakni ajari anak mengenali konten berbahaya, beri batasan waktu layar, dan tetap terbuka untuk diskusi tanpa takut dihakimi.
Sekolah bisa masukkan pendidikan digital dan etika teknologi ke kurikulum, pemerintah dan penyedia layanan digital terus memantau konten, memperkuat sistem moderasi, dan menutup celah penyalahgunaan teknologi.
Yang lucu, menjaga anak di dunia digital bisa dibungkus dengan humor, misalnya, ajari anak cara mengenali “konten berbahaya” dengan cerita dagelan. “Kalau video kucing tiba-tiba ngomongin orang dewasa, jangan di-klik, itu jebakan!”, anak belajar sambil ketawa, orang tua nggak stres, semua happy.
Karena itu, humor sebenaranya bisa jadi alat edukasi yang ampuh, karena anak lebih mudah ingat cerita lucu daripada ceramah panjang yang bikin ngantuk.
Yang jelas pesannya, dunia digital itu seru, tapi nggak semua yang berkilau itu emas, apalagi edukasi, aturan, literasi, dan kesadaran orang tua adalah tameng utama. Anak-anak harus dilindungi, bukan cuma dijadikan penonton atau korban. Humor boleh, tapi keamanan anak tidak boleh kompromi.
Jadi akhir cerita, kita bisa tertawa bareng meme kucing, main game online, scroll TikTok, tapi tetap waspada, tapi jangan sampai anak-anak kita menjadi viral karena hal yang salah.
Perlindungan anak di ruang digital bukan sekadar kewajiban, tapi investasi masa depan, dan ingat pepatah tadi jangan menaruh semua telur di satu keranjang, karena sekali pecah, susah diperbaiki.
Jadi, mari sambil ngakak, kita tetap serius, anak kita aman, masa depan kita aman, dan meme kucing tetap lucu tanpa harus bikin anak jadi korban.[***]