COBA bayangkan wisuda zaman dulu identik dengan toga, senyum malu-malu, dan orang tua sibuk berebut kursi paling depan. Nah, wisuda Universitas Terbuka (UT) punya cerita berbeda. Di balik senyum para wisudawan, terselip kisah heroik ala “Avengers” dunia pendidikan, berjuang sambil kerja, menjaga anak, bahkan kadang sambil “perang sinyal” lawan kuota internet yang lebih sering habis ketimbang bensin motor matic.
Wakil Gubernur Sumatera Selatan, H. Cik Ujang, datang dengan pesan serius nan berat “Era digitalisasi, globalisasi, dan persaingan dunia kerja menuntut kita untuk terus berinovasi, beradaptasi, dan mengembangkan keterampilan”. Bahasa gampangnya, kalau dulu cukup jago ngetik di Microsoft Word sudah dianggap “hebat”, sekarang anak TK pun sudah bisa bikin presentasi PowerPoint lengkap dengan animasi terbang. Dunia kerja makin buas, bung!
Tapi justru di sinilah menariknya, lulusan UT sebenarnya punya “jurus ninja” yang jarang dimiliki kampus konvensional, terbiasa belajar digital sejak awal. Kalau mahasiswa kampus lain masih ngeluh soal Zoom error pas pandemi, mahasiswa UT cuma angkat alis sambil berkata, “Bro, kami sudah online sejak zaman Blackberry masih berjaya”.
Kepala Sekolah Pascasarjana UT, Prof. Dr. Maman Rumanta, dengan bangga bilang “Meraih gelar sarjana di UT tidaklah mudah, perlu kemandirian, ketekunan, dan penuh pengorbanan”. Betul sekali, Prof, kalau boleh jujur, mahasiswa UT itu semacam “kombinasi Superman dan emak-emak pasar” super tangguh, tapi tetap bisa multitasking sambil masak sayur lodeh atau ngurus invoice kantor.
Ada pepatah lama yang cocok untuk mereka “Di mana ada kemauan, di situ ada jalan”, bedanya, bagi mahasiswa UT, jalannya seringkali lewat jalur tol aplikasi online, bukan trotoar kampus. Mereka belajar di sela-sela shift kerja, atau bahkan tengah malam setelah anak-anak tidur. Kalau bukan kemandirian namanya, lalu apa?
Era digital ibarat pisau bermata dua, di satu sisi, membuka peluang tanpa batas, akses Jurnal Internasional, kuliah daring, networking global. Di sisi lain, membuka pintu distraksi, TikTok lima menit bisa berubah jadi lima jam, apalagi kalau isinya resep kopi dalgona atau video kucing nge-dance.
Namun, mahasiswa UT justru terbiasa menaklukkan distraksi ini, mereka belajar mengubah gadget dari alat rebahan jadi senjata produktif. Seperti pepatah modern “Bukan salah YouTube kalau skripsi tak selesai, salah jempol yang kebablasan klik rekomendasi”.
Wagub Cik Ujang benar, tantangan globalisasi itu berat, pesaing kita bukan lagi tetangga sebelah, tapi anak muda di Vietnam, India, bahkan Estonia. Kalau skill kita stagnan, ya siap-siap jadi penonton.
Namun di sisi lain, globalisasi juga membuka pintu kolaborasi, lulusan UT yang terbiasa daring punya modal adaptasi lebih cepat. Mereka bukan hanya siap jadi pekerja, tapi juga pencipta lapangan kerja digital freelancer global, startup founder, atau bahkan content creator edukatif. Dunia kerja sekarang bukan hanya soal siapa paling pintar, tapi siapa paling bisa nge-klik ide baru.
Ada perumpamaan bagus “Biji kopi menunjukkan kualitasnya saat direbus, bukan saat dipamerkan”, begitu juga lulusan UT, nilai mereka bukan sekadar IPK di kertas, tapi ketangguhan menghadapi tekanan hidup, disiplin waktu, dan adaptasi teknologi. Mereka sudah direbus dalam “panci” pendidikan jarak jauh, jadi aromanya lebih harum saat masuk ke dunia kerja.
Kalau ditarik garis besar, ada tiga modal utama lulusan UT di era digital,yakni
-
Literasi teknologi – terbiasa dengan platform daring, jadi tidak gagap digital.
-
Kemandirian dan disiplin – terbiasa mengatur waktu tanpa dosen cerewet di depan kelas.
-
Resiliensi sosial – terbiasa menghadapi cibiran (“kuliah online emang serius?”) tapi tetap bisa buktikan hasilnya nyata.
Inilah bekal yang sangat relevan dengan kebutuhan global saat ini.
Dari wisuda ini kita belajar, pendidikan itu bukan sekadar gelar, tapi perjalanan membentuk mental tahan banting, lulusan UT membuktikan bahwa teknologi bukan alasan untuk malas, tapi justru alat untuk naik kelas.
Pepatah Tiongkok bilang “Waktu terbaik menanam pohon adalah 20 tahun lalu, waktu terbaik berikutnya adalah hari ini”. begitu pula dengan pendidikan, tak peduli kapan memulainya, yang penting tekadnya.
Wisuda Universitas Terbuka Palembang kali ini bukan cuma seremoni pakai toga, ia adalah simbol transformasi dari perjuangan individu menuju kekuatan kolektif yang siap bersaing di era digital.
Kalau ada yang bilang lulusan UT “hanya kuliah online”, jawab saja dengan santai “Bro, justru karena online, kami lebih siap jadi offline di dunia nyata”.
Oleh sebab itu, selamat untuk para pejuang pendidikan mandiri, ingatlah pesan moralnya, laptop bisa rusak, Wi-Fi bisa lemot, tapi semangat belajar jangan pernah buffering.[***]