PERNAH nggak kebayang kalau wayang kulit, yang biasanya tampil serius dengan kisah epik Mahabarata, bisa berubah jadi tontonan imut, gokil, dan ramah anak? Nah, itulah yang terjadi di Aniwayang by Desa Timun. Wayang kulit tradisional bukan lagi sekadar tontonan klasik, tapi menjelma jadi pop culture edukatif yang bikin anak-anak ketawa sekaligus belajar.
Seperti pepatah Jawa, “Ajining diri saka lathi, ajining bangsa saka budaya”, harga diri orang terletak pada ucapannya, harga diri bangsa ada pada budayanya. Kalau kita sendiri tidak membungkus budaya dengan cara menarik, jangan salahkan kalau anak-anak lebih hafal karakter kartun luar negeri daripada tokoh pewayangan negeri sendiri. Untungnya ada Aniwayang, yang hadir layaknya superhero lokal dengan kostum kekinian tapi tetap menyimpan jurus tradisi.
Pertunjukan Aniwayang Live di Galeri Indonesia Kaya beberapa waktu lalu jadi buktinya, wayang kulit tampil dengan wajah baru, bukan cerita perang Pandawa melawan Kurawa, tapi karakter unyu-unyu seperti Cila, Cili, Cilo, hingga Ayam. Lima dalang tampil bareng, suasananya meriah kayak pesta desa. Bedanya, penontonnya lintas generasi, ada bocah, remaja, sampai keluarga muda. Total sekitar 150 orang hadir, semuanya larut dalam suasana.
Wamen Ekraf Irene Umar yang hadir langsung nggak bisa menahan kekagumannya, Ia bilang, “Kalau bukan lewat karya seperti ini, apa yang akan dikonsumsi anak-anak kita?”. Pertanyaan yang sederhana tapi menohok, sebab memang benar, tanpa kemasan segar, budaya bisa ditinggalkan. Beruntung, Aniwayang menjadikan warisan tradisi terasa segar, interaktif, dan relevan untuk anak-anak masa kini.
Kreatornya, Daud Nugraha, awalnya memperkenalkan Aniwayang lewat YouTube, tapi ia sadar, esensi wayang paling terasa kalau ditampilkan langsung. Dari situ lahirlah pertunjukan live yang menghadirkan dalang, musik, interaksi penonton, dan suasana ala pagelaran tradisional.
Kalau versi digital ibarat lihat foto mie instan di katalog, maka versi panggung itu kayak makan mie panas di angkringan, ada aromanya, ada sensasinya, ada kebersamaannya. Penonton bukan cuma menonton, tapi juga bisa ikut mencoba jadi dalang. Orang tua pun kepo, pengen ikutan mainin wayang. Dari sini keliatan jelas, wayang berubah dari tontonan pasif jadi pengalaman aktif.
Oleh sebab itu,wayang itu ibarat sambal, rasanya pedas, khas, dan selalu dicari, sambal tradisional ditumbuk di cobek, mantap rasanya. Tapi kalau mau dibawa ke generasi baru, sambal bisa dikemas dalam botol modern, dijual di minimarket, bahkan dikirim lewat ojek online. Intinya tetap sambal, hanya cara penyajiannya yang berbeda.
Begitu juga dengan Aniwayang, nilainya tetap budaya, tapi penyajiannya dibikin kekinian. Anak-anak yang biasanya betah nonton kartun Jepang atau animasi Amerika, kini bisa ketawa bareng karakter lokal.
Dari ketawa itu, pelan-pelan mereka belajar filosofi, moral, dan cerita yang lebih dalam, kayak anak kecil belajar makan sayur, pertama bentuknya dibikin lucu dulu, baru mereka sadar gizinya.
Aniwayang tidak berhenti di panggung satu kali, mereka sudah menyiapkan jadwal reguler, termasuk tampil di Museum Wayang, Kota Tua. Bayangkan, nonton wayang tiap bulan bisa jadi agenda keren keluarga kota. Setara dengan pergi ke bioskop, tapi lebih murah, lebih edukatif, dan lebih membumi.
Dalam konteks ekonomi kreatif, langkah ini punya potensi besar, karena seni pertunjukan bisa berkembang bukan hanya lewat tiket, tapi juga merchandise, kolaborasi dengan brand, hingga konten digital. Kalau Marvel bisa mendunia lewat superhero, kenapa Indonesia tidak bisa lewat karakter Aniwayang?, siapa tahu nanti ada boneka Cili atau kartun Cila yang mendunia.
Di balik imut dan gokilnya Aniwayang itu, tentunya budaya harus bisa diwariskan dengan cara yang dimengerti anak zaman sekarang. Nggak mungkin lagi kita memaksa bocah duduk tiga jam menyimak kisah wayang klasik tanpa jeda. Tapi kita bisa mengajak mereka tertawa 30 menit, ikut bernyanyi, lalu menyelipkan nilai budaya, dari situ tumbuh rasa cinta.
Pepatah Jawa bilang, “Witing tresno jalaran soko kulina” – cinta lahir karena terbiasa, kalau anak-anak terbiasa dengan tontonan budaya yang menyenangkan, lama-lama mereka akan jatuh cinta pada akar budayanya. Dari sini lahir generasi yang bukan hanya kenal teknologi, tapi juga bangga dengan identitas budayanya.
Aniwayang by Desa Timun membuktikan bahwa ketika warisan tradisi bertransformasi jadi pop culture edukatif, budaya tidak akan mati. Justru semakin hidup, semakin relevan, dan semakin dekat dengan anak-anak muda. Dengan inovasi, tradisi bisa tampil segar tanpa kehilangan jati diri.
Seperti pepatah Jawa, “Sapa sing nandur bakal ngundhuh”, siapa menanam, dia yang menuai. Hari ini kita menanam kecintaan budaya lewat Aniwayang, besok generasi muda akan menuai kebanggaan sebagai bangsa berbudaya.[***]