Properti

Program Perumahan Rakyat Kunci Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

ist

DI Indonesia, punya rumah kadang mirip kisah cinta lama, indah dalam angan, sulit diwujudkan, anak muda kerja rajin, gajinya habis buat bayar kos. Buruh pabrik nabung bertahun-tahun, tapi harga tanah lari lebih kencang dari kuda pacu. Nah, pemerintah bilang mau kejar pertumbuhan ekonomi 8%. Pertanyaannya, kalau ekonominya ngebut, apakah rakyat juga bisa ikut nebeng beli rumah terjangkau?

Forum Great Lecture di Jakarta yang dihadiri Wamen PKP membuktikan bahwa urusan ekonomi dan program perumahan rakyat itu sepaket, tidak bisa dipisah. Pepatah bilang, rumah tanpa tiang akan roboh, negara tanpa perumahan rakyat juga bisa goyah. Target pertumbuhan 8% hanya jadi angka manis di presentasi kalau backlog perumahan tetap segede gunung.

Sektor properti sering dipuja karena bikin gedung tinggi menjulang, tapi ingat, rakyat kecil tak bisa tidur di bawah bayangan gedung pencakar langit. Rumah layak dan rumah terjangkau adalah kebutuhan pokok, bukan sekadar bisnis developer. Pepatah Jawa mengingatkan, padi semakin berisi semakin merunduk, pertumbuhan tinggi harus memberi manfaat ke bawah, bukan cuma bikin menara kaca baru.

Mari bicara solusi, pertama, pembiayaan perumahan, skema FLPP dan KPR subsidi harus lebih fleksibel, jangan cuma untuk pekerja kantoran bergaji tetap. Anak ojol, pedagang online, sampai pekerja kreatif juga butuh KPR. Jangan sampai sistem verifikasi ribet bikin rakyat kecil lebih mudah kredit motor ketimbang kredit rumah.

Kedua, penyediaan pasokan rumah terjangkau, kalau developer lebih senang bangun apartemen mewah, rakyat ya tetap cuma jadi penonton. Pemerintah bisa kasih insentif pajak, percepatan izin, sampai lahan percontohan. Ibarat bikin nasi goreng, bahan sudah ada, tinggal kompor dan bumbunya yang dipermudah.

Ketiga, penataan kawasan permukiman, jangan cuma gusur kampung kota, tapi jadikan hunian terpadu. Lengkapi dengan taman, ruang usaha kecil, dan transportasi publik. Biar rakyat merasa tinggal di “perumahan elit versi rakyat”, bukan sekadar dipindahkan dari kumuh ke kumuh. Ingat pepatah, sedia payung sebelum hujan – tata kawasan dulu sebelum jadi masalah sosial.

Kenapa perumahan rakyat penting buat pertumbuhan ekonomi?, karena efek gandanya besar, bangun rumah berarti buka lapangan kerja tukang, laris manis toko bangunan, dan warung sekitar ikut ramai. Kalau rumah rakyat meningkat, daya beli ikut naik. Tapi kalau cuma apartemen premium yang bertambah, dampaknya lebih banyak ke investor asing ketimbang warung soto depan rumah.

Tantangan jelas ada, lahan terbatas, regulasi ribet, risiko kredit macet, tapi kalau pemerintah dan DPR berani reformasi, jalan terbuka. Kolaborasi bank, developer, dan pemerintah daerah jadi kunci. Kalau tidak, target 8% hanya tinggal angka, ibarat janji mantan, manis di telinga, pahit di kenyataan.

Oleh sebab itu,  rumah adalah hak dasar, bukan kemewahan, pertumbuhan ekonomi tanpa rumah rakyat ibarat nasi tanpa sambal, tetap kenyang sih, tapi hambar. Program perumahan rakyat adalah sambalnya pembangunan, bikin pedas, bikin semangat, bikin rakyat betah tinggal di negeri sendiri.

Target pertumbuhan ekonomi 8% akan terasa hampa bila jutaan keluarga tetap kesulitan punya rumah layak. Program perumahan rakyatdari pembiayaan inklusif, penyediaan rumah terjangkau, hingga penataan kawasan, adalah kunci agar pertumbuhan benar-benar inklusif.

Great Lecture memberi pelajaran penting: ekonomi boleh ngebut, tapi rakyat jangan ditinggal di halte kontrakan. Kalau pertumbuhan 8% diibaratkan atap rumah, maka fondasinya harus rumah rakyat yang kokoh, seperti pepatah Betawi rumah bukan cuma tempat tidur, tapi tempat mimpi jadi kenyataan.[***]

Terpopuler

To Top