Tekno

Korea & Sumsel Bersinergi – Teknologi Canggih untuk Selamatkan Gambut

ist

PEPATAH mengatakan “Air tenang menghanyutkan” Nah,  di Sumatera Selatan, airnya memang tenang… tapi tanah gambutnya sedang menjerit. Sumsel punya lahan gambut seluas 2,092 juta hektare, atau sekitar 24% dari total wilayah, sepertiga dari meja makanmu kalau diganti tanah gambut itu luasnya!. Sayangnya, sebagian besar ekosistem ini butuh pemulihan serius. Tidak cukup sekadar menabur doa dan berharap hujan turun tepat waktu. Di sinilah teknologi dan kolaborasi internasional masuk, bagaikan superhero yang datang tepat di saat genting.

Baru-baru ini, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya bekerja sama dengan National Institute of Forest Science (NIFoS) Korea Selatan dan Korean Indonesia Forest Cooperation Center (KIFC) menggelar The 4th International Workshop on the Peatland Restoration for Sustainable Development.

Sekilas terdengar seperti seminar akademik biasa pakai jas, mik, dan slide PowerPoint berjajar rapi. Tapi jangan salah, ini lebih mirip laboratorium inovasi dan arena superhero modern Korea membawa teknologi canggih untuk memantau dan memulihkan lahan gambut yang kritis.

Teknologi pemantauan gambut ini bukan main-main, bayangkan drone yang beterbangan seperti burung hantu cerdas, memindai tiap inci gambut, mengukur kelembapan, menilai kerusakan, hingga mendeteksi titik rawan kebakaran. Kalau dulu petugas harus jalan kaki berhari-hari sambil tersedak kabut asap, sekarang cukup duduk di depan layar sambil menyeruput kopi panas dan semua data tersaji rapi. Praktik ini mirip GPS buat petani tidak tersesat, tidak salah langkah, dan hasilnya bisa dipantau secara real-time.

Tapi bukan cuma soal teknologi. NIFoS juga membagikan praktik restorasi gambut yang terbukti efektif di Korea. Misalnya, metode penanaman kembali vegetasi asli, pengaturan air agar lahan tetap lembap, hingga cara membuat kanal kecil yang “mengatur mood” tanah gambut. Bisa dibilang, gambut Sumsel diajarin yoga diajari bernapas, rileks, dan menahan panas saat musim kemarau.

Dan hebatnya, workshop ini bukan hanya untuk ilmuwan senior atau pejabat berpangkat tinggi, mahasiswa, pelajar, hingga masyarakat umum ikut nimbrung. Ada ide-ide kreatif yang muncul dari mereka, sistem monitoring berbasis aplikasi, pemetaan interaktif, hingga inovasi edukasi lingkungan untuk anak-anak sekolah. Rasanya seperti kolaborasi antara mentor yang bijak, murid yang kreatif, dan teknologi yang super canggih kombinasi yang pas untuk menaklukkan tantangan besar.

Sekarang mari kita bicara moralnya teknologi dan kolaborasi internasional bukan hanya sekadar jargon keren di seminar. Mereka adalah jembatan antara masalah serius dan solusi nyata.

Gambut yang rusak bukan hanya soal tanah yang kering dan api yang mengamuk, ia juga soal emisi gas rumah kaca, kehilangan keanekaragaman hayati, dan risiko ekonomi bagi masyarakat lokal. Kalau dibiarkan, dampaknya bisa seperti domino satu rubuh, semua ikut ambruk.

Di sinilah nilai pepatah lain muncul “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” Sumsel tidak harus berjuang sendiri. Dengan tangan Korea yang menyalurkan teknologi, pengalaman, dan ilmu, serta semangat generasi muda lokal, beban yang berat bisa terasa lebih ringan. Bahkan tantangan sebesar lahan gambut Sumsel pun bisa dikelola dengan tepat.

Yang lucu tapi serius, kadang teknologi tinggi pun butuh sentuhan lokal. Drone bisa memantau, sensor bisa mendeteksi, tapi keputusan final tetap butuh pengetahuan lokal, kapan musim hujan datang, di mana titik lembap alami, dan kebiasaan masyarakat sekitar. Tanpa pemahaman ini, teknologi sehebat apapun bisa jadi “alat mahal yang tidur di gudang.” Jadi, kolaborasi bukan cuma soal mengimpor teknologi, tapi memadukannya dengan kearifan lokal sebuah sinergi yang sejati.

Di ujung cerita, kita belajar satu hal penting menjaga dan memulihkan ekosistem gambut bukan sekadar proyek lingkungan. Ini tentang masa depan Sumsel, kesehatan bumi, dan kesempatan generasi muda untuk ikut ambil bagian.

Jika teknologi Korea bertemu semangat lokal, dan ilmuwan bertemu masyarakat, hasilnya bukan hanya workshop sukses, tapi perubahan nyata di lapangan. Gambut bisa pulih, emisi bisa berkurang, dan Sumsel bisa jadi contoh bagi provinsi lain.

Oleh sebab itu, jangan menunggu bencana datang baru bertindak. Teknologi boleh canggih, ilmuwan boleh pintar, tapi kolaborasi dan semangat lokal adalah kunci. Seperti kata pepatah, “Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit.” Kalau sedikit inovasi digabungkan dengan sedikit teknologi dan banyak semangat, lama-lama kita bisa memulihkan jutaan hektare gambut.

Korea dan Sumsel sudah membuktikan, kalau bersinergi, tantangan besar pun bisa ditaklukkan. Dan siapa tahu, suatu hari nanti, lahan gambut yang dulu rapuh bisa berdiri tegak, sehat, dan siap menyambut generasi berikutnya. Karena pada akhirnya, bumi ini bukan warisan nenek moyang, tapi pinjaman dari anak-cucu kita.[***]

Terpopuler

To Top