DI sebuah warung kopi pinggir jalan, saya pernah mendengar percakapan absurd tapi penuh makna, seorang bapak tua bertanya ke anaknya yang baru pulang sekolah, “Nak, belajar apa tadi?” Sang anak dengan bangga menjawab, “Belajar bikin game, Pak. Karakter game-nya bisa loncat-loncat kayak kucing tetangga.” Si bapak bengong, lalu nyeletuk, “Bagus sih, tapi kalau nanti bapak pensiun, kamu bisa bikin aplikasi bayar listrik murah gak?”
Nah, di situlah titik pentingnya, jangan sampai pelajaran coding dan kecerdasan buatan (AI) di sekolah cuma jadi ajang anak-anak bikin animasi lucu, tapi begitu masuk dunia kerja tahun 2030, mereka bengong kayak kambing masuk mall. Dunia usaha butuh tenaga kerja yang siap pakai, bukan cuma siap bikin karakter kartun.
Bayangkan sekolah itu seperti dapur, dan dunia kerja itu seperti restoran besar, kalau di dapur anak-anak cuma diajari bikin sambal terasi tapi restoran mintanya spaghetti carbonara, jelas pelanggan kabur. Dunia usaha maunya tenaga kerja yang bisa coding untuk solusi nyata aplikasi keuangan, big data analitik, sistem manajemen logistik, atau bahkan AI buat mendeteksi penipuan.
Pertanyaannya apakah apa yang dipelajari anak SD, SMP, hingga SMA nanti nyambung ke situ? Atau malah berhenti di level “bisa bikin game ular-ularan”?
Pepatah bilang, belajar tanpa tujuan itu seperti dayung tanpa perahu, anak-anak bisa pinter coding, tapi kalau arahnya gak jelas, bisa-bisa cuma jadi koleksi file.exe di laptop sekolah.
World Economic Forum sudah kasih spoiler, tahun 2030, sepuluh keterampilan yang paling dicari salah satunya adalah analytical thinking dan tech design. Dunia usaha butuh orang yang bisa berpikir analitis, ngerti data, tahu gimana bikin sistem yang efisien, dan mampu beradaptasi sama teknologi yang terus berubah.
Artinya, industri gak cuma butuh programmer yang jago ngetik kode panjang-panjang kayak mantra dukun, tapi juga butuh tenaga kerja yang paham logika bisnis. Coding itu penting, tapi kalau gak nyambung ke kebutuhan pasar, ya cuma kayak jago gitar tapi gak pernah manggung.
Sekolah harus bisa menyiapkan anak-anak untuk naik sepeda “roda dua” dunia kerja, jangan terus-terusan pakai roda tiga yang lucu tapi lambat. Misalnya, kalau di SD anak belajar bikin animasi kucing loncat, di SMP mereka harus naik level ke aplikasi yang berguna sehari-hari, kayak aplikasi absensi kelas. Nah, di SMA harus lebih serius, Python untuk data analitik, AI untuk prediksi, atau bahkan simulasi bisnis digital sederhana.
Perumpamaannya, belajar coding itu kayak belajar masak, kalau dari kecil cuma bisa goreng telur, ketika kerja diminta bikin rendang bisa panik. Makanya, kurikulumnya harus nyambung, ada escalation dari “telur ceplok” ke “rendang juara dunia”.
Yang jadi masalah, seringkali ada jurang antara dunia pendidikan dengan dunia usaha, sekolah punya semangat, industri punya kebutuhan, tapi jembatannya bolong, akhirnya banyak lulusan pintar teori tapi bingung praktik.
Contoh banyak anak bisa bikin aplikasi “kalkulator cinta” di sekolah, tapi ketika kerja, perusahaan butuh “aplikasi manajemen keuangan”. Itu kayak orang latihan renang di bak mandi, lalu disuruh berenang di lautan lepas.
Di sinilah peran kolaborasi lintas sektor pemerintah, perusahaan teknologi, universitas, dan dunia industri harus sering ngobrol. Jangan kayak tetangga yang ketemu cuma pas ada hajatan kalau intens komunikasi, kurikulum sekolah bisa sinkron dengan kebutuhan kerja.
Ada istilah kocak tapi menohok ngoding tanpa nganggur. Maksudnya, jangan sampai lulusan yang sudah jago coding malah jadi pengangguran karena skill-nya gak nyambung ke dunia usaha, kalau tahun 2030 banyak anak Indonesia yang bisa bikin animasi naga terbang, tapi perusahaan butuh aplikasi logistik untuk kirim cabe rawit, itu tragedi nasional.
Makanya, coding harus diposisikan bukan hanya “keren-kerenan” tapi juga sebagai alat solusi. Kalau bisa bikin aplikasi buat petani cek harga pupuk, nelayan tahu cuaca, atau UMKM bisa promosi online, itu baru namanya coding yang ngasih manfaat nyata.
Kita harus ingat pepatah lama, ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah, belajar coding itu mulia, tapi harus dibarengi dengan visi besar: membekali anak bangsa dengan keterampilan yang bisa langsung dipakai untuk menghadapi tantangan global.
Anak-anak jangan cuma diajari “cara bikin game”, tapi juga diajak mikir “Game ini bisa jadi peluang bisnis gak? Aplikasi ini bisa bantu siapa?” Dengan begitu, mereka terbiasa berpikir solusi, bukan sekadar hobi.
Kebijakan memasukkan coding dan AI dalam kurikulum sekolah adalah langkah maju. Tapi langkah maju tanpa arah bisa bikin kita jalan di tempat. Dunia usaha 2030 menunggu tenaga kerja yang bukan hanya jago nulis kode, tapi juga bisa mengaitkannya dengan kebutuhan nyata.
Kalau sekolah dan industri bisa seiring sejalan, anak-anak kita gak cuma jago bikin animasi kucing lompat, tapi juga siap bikin aplikasi yang mendatangkan gaji, bahkan devisa, karena pada akhirnya, tujuan pendidikan bukan hanya mencetak lulusan yang pintar, tapi juga yang berguna, mandiri, dan mampu bersaing di pasar global.
Atau kalau kata pepatah Belajar coding itu penting, tapi lebih penting lagi memastikan coding itu menghasilkan makan nasi, bukan cuma makan waktu.[***]