SEANDAINYA dunia usaha tanpa internet, seperti masak mie instan pakai air es, rasanya nggak nyambung!. Bagi sebagian besar wirausahawan normal, ini sudah berat. Tapi bagi penyandang disabilitas di Indonesia, fakta ini lebih ekstrem, hanya 1,1% yang terkoneksi internet menurut Susenas BPS 2020. Padahal separuh dari mereka sudah berwirausaha, artinya separuh lagi sudah naik level berwirausaha tanpa internet!.
Meski begitu, keterbatasan ini justru memaksa mereka menemukan cara-cara kreatif untuk bertahan dan berkembang. Dari jualan lewat WhatsApp sampai viral di TikTok, wirausaha disabilitas membuktikan inovasi bisa lahir dari situasi yang menantang kadang bikin kita tepuk jidat sambil senyum-senyum geli.
Memang, tidak semua orang punya laptop mewah atau paket internet unlimited. Bagi sebagian penyandang disabilitas, gadget canggih itu ibarat piring terbang cantik tapi nggak bisa dipegang. Belum lagi biaya internet yang tinggi dan literasi digital yang masih rendah, ditambah listrik yang suka putus, kombinasi ini bikin wirausaha digital terasa kayak main monopoli tanpa dadu dan uang serba serba susah tapi harus tetap jalan.
Ada juga kendala fisik layar smartphone kadang sulit diakses, aplikasi kurang ramah untuk pengguna kursi roda atau tunanetra, dan tutorial digital banyak yang “bahasa alien” bagi pemula. Dari sini jelas akses digital, bukan sekadar soal internet cepat, tapi juga soal inklusivitas teknologi yang nyata dan mudah dipakai.
Tapi jangan sedih dulu, banyak komunitas dan LSM menawarkan pelatihan digital yang mengajarkan cara bikin toko online, promosi di TikTok, sampai strategi jualan lewat WhatsApp. Ada juga marketplace inklusif dan platform ramah aksesibilitas, navigasinya gampang kayak naik sepeda roda tiga pelan tapi pasti sampai tujuan.
Bahkan beberapa startup lokal mulai menyediakan aplikasi khusus wirausaha disabilitas: tombol besar, teks kontras tinggi, dan panduan step-by-step. Jadi bukan cuma soal teknologi, tapi juga soal membuka pintu peluang yang selama ini tertutup karena keterbatasan fisik atau literasi digital.
Mari kita lihat contoh nyata, misalnya Ibu Sari, seorang penyandang disabilitas, dagang keripik bayam, dari rumah, ia upload video lucu di TikTok. Sekali viral, orderan banjir padahal awalnya cuma jualan di pasar kampung. Pak Joko, pengguna kursi roda, bikin lilin aromaterapi. Promosi lewat WhatsApp grup RT, tapi akhirnya produknya sampai ke kota besar karena inovasi dan konsistensi.
Dari sini jelas terlihat wirausaha disabilitas bisa melompati jurang digital, kreativitas mereka nggak kalah sama yang normal, malah kadang lebih out-of-the-box karena harus menemukan cara sendiri menghadapi keterbatasan.
Nah, kalau akses digital sudah mulai membuka peluang, masalah berikutnya biasanya soal modal dan akses keuangan. Bayangkan punya ide bisnis cemerlang, tapi bank bilang “Maaf, tanpa agunan nggak bisa”. Rasanya kayak punya resep rendang juara dunia tapi nggak boleh masak karena nggak punya wajan. Menurut Susenas BPS 2020, hanya 14,2% penyandang disabilitas usia 15+ punya akses kredit perbankan.
Artinya, banyak wirausaha disabilitas yang siap maju tapi keuangan belum mendukung. Di sinilah peran kredit mikro inklusif menjadi penting modal kecil, syarat ringan, dan pendampingan untuk memastikan uang yang diberikan bisa dipakai tepat sasaran.
Di Indonesia, beberapa bank mulai menyalurkan kredit inklusif, lengkap dengan mentoring. Di Filipina, ada program serupa UMKM difabel dapat modal mikro plus workshop mengelola bisnis. Bukti nyata kalau bank mau “membuka pintu sedikit”, wirausaha disabilitas bisa melesat seperti kembang api 17-an, cantik, meriah, dan bikin kagum tetangga.
Modal saja nggak cukup, sebab mentoring finansial juga penting guna belajar mengatur cashflow, menentukan harga jual, hingga strategi ekspansi. Dengan bimbingan, wirausaha disabilitas nggak cuma survive, tapi bisa bersaing bahkan mengalahkan usaha tetangga yang cuma jualan cilok di pinggir jalan.
Setelah akses digital dan modal tersedia, langkah berikutnya adalah inovasi produk dan pemasaran. Misalnya menggabungkan keripik bayam dengan kemasan lucu, memasarkan lilin aromaterapi dengan video storytelling, atau menjual barang handmade melalui e-commerce yang mendukung inklusivitas. Kreativitas dikombinasikan dengan strategi yang tepat akan membuat wirausaha disabilitas bisa bersaing di pasar yang lebih luas.
Cerita ini mengajarkan satu hal penting keterbatasan fisik atau digital bukan penghalang untuk sukses. Dengan akses digital, pelatihan inklusif, modal yang tepat, dan mentoring finansial, wirausaha disabilitas bisa menemukan jalannya sendiri, seperti pepatah lama bilang “Di mana ada kemauan, di situ ada jalan”.
Bahkan, kadang keterbatasan justru menjadi pendorong kreativitas. Mereka yang harus “melompat lebih tinggi” kadang menemukan trik unik yang orang normal nggak kepikiran. Jadi, wirausaha disabilitas bukan sekadar inspirasi, tapi contoh nyata bahwa inovasi lahir dari tantangan.
Digital, modal, mentoring, dan inovasi produk adalah empat pilar utama yang bisa mengangkat wirausaha disabilitas ke level lebih tinggi. Kalau semua ini berjalan beriringan, bukan tidak mungkin mereka bisa menjadi pionir usaha inklusif, menunjukkan bahwa keterbatasan bukan penghalang, tapi justru awal dari kreativitas yang luar biasa.[***]/bersambung bagian 3, Bank & Modal Mikro: Kunci Memperluas Peluang Wirausaha Disabilitas.