Nasional

Nikah Dini Makin Sepi Peminat, Gara-Gara BRUS, Jomblo Remaja Kini Lebih Bijak Pilih Masa Depan daripada Mas Kawin!

kemenag

FENOMENA nikah dini di Indonesia makin hari makin mirip warteg tengah malam sepi peminat! Berdasarkan data Sistem Informasi Manajemen Nikah (SIMKAH) Kementerian Agama, dalam tiga tahun terakhir, jumlah pasangan usia di bawah 19 tahun yang menikah terus merosot.

Dari 8.804 pasangan pada 2022, turun ke 5.489 di 2023, dan tinggal 4.150 pasangan saja di 2024. Apa yang bikin tren ini turun? Apakah karena remaja makin sadar atau karena harga sewa gedung nikah makin mahal? Bukan, saudara-saudara. Jawabannya ada di satu program ciamik BRUS Bimbingan Remaja Usia Sekolah.

Jadi begini ceritanya, dahulu kala, ketika cinta remaja masih sering dikira seperti sinetron jam 7 malam penuh drama, air mata, dan nikah buru-buru kalau ketahuan pegangan tangan di kantin banyak anak muda yang melompat ke pelaminan tanpa sempat mikir panjang. Alasannya? Macam-macam. Ada yang karena dikejar cinta, ada yang kejar setoran, ada pula yang kejar deadline orang tua.

Tapi sekarang, generasi Z makin sadar bahwa nikah itu bukan kayak beli pulsa 10 ribu, gampang, cepat, dan bisa dibatalin kalau salah nomor. Lewat program BRUS, para remaja diajak ngobrol, dibimbing, bahkan diajak mikir pakai hati dan logika.

Bayangkan, ada 100 penghulu se-Indonesia yang ikut Bimbingan Teknis (Bimtek) khusus untuk jadi fasilitator BRUS. Mereka nggak cuma datang bawa buku nikah, tapi juga bawa ilmu untuk ngajarin remaja soal konsep diri, pengambilan keputusan, dan memahami agama dengan cara yang nyambung sama kehidupan masa kini.

Kalau dulu remaja belajar soal cinta dari lirik lagu dan status WA mantan, sekarang mereka belajar dari para penghulu yang sudah kenyang asam garam urusan rumah tangga.

Penghulunya pun gak kaku, bro. Mereka dibekali cara menyampaikan materi dengan pendekatan psikologis dan spiritual. Bukan cuma ngajarin syarat rukun nikah, tapi juga ngajarin cara bertahan di tengah badai cinta dan cobaan cicilan.

Contohnya si Rendi, siswa kelas 11 SMA di Subang, dulu tiap patah hati dia langsung nulis surat lamaran nikah pakai kertas binder. Tapi setelah ikut sesi BRUS yang difasilitasi Pak Haji Sarman penghulu legendaris di kampungnya Rendi sadar bahwa hatinya belum siap. “Saya baru ngerti, cinta itu bukan cuma rasa, tapi juga rencana,” kata Rendi sambil menghapus air mata pakai ujung lengan seragam.

Ada juga Nita, yang dulu berpikir bahwa satu-satunya cara menyelamatkan hubungan pacaran 3 bulan adalah dengan kawin lari. Tapi setelah dia ikut sesi BRUS tentang konsep diri dan mengenal potensi pribadi, dia malah daftar kuliah ke jurusan Psikologi dan aktif di komunitas anti-perkawinan anak.

Pepatah lama bilang, “Biar lambat asal selamat. Biar jomblo asal berilmu,”. Program BRUS ini bukan cuma menurunkan angka perkawinan dini, tapi juga sedang membangun pondasi bangsa dari anak-anak mudanya.

Daripada nikah muda dan ribut karena belum tahu cara ngatur uang belanja, lebih baik pacaran sehat sambil belajar manajemen emosi dan tanggung jawab. Kalau cinta itu rumah, maka BRUS adalah tukang bangunan yang ngajarin bikin pondasinya dulu sebelum pasang genteng.

Kementerian Agama, lewat BRUS, telah menanamkan satu nilai penting pada generasi muda  bahwa menikah itu bukan lomba cepat-cepatan, tapi perjalanan panjang yang butuh persiapan matang.

Kini, remaja Indonesia makin jago mikir. Mereka tahu bahwa cinta sejati tak selalu harus segera disahkan lewat ijab kabul. Kadang, cinta terbaik adalah yang sabar menunggu sambil sama-sama tumbuh. Jadi, wahai jomblo-jomblo usia sekolah, tetap semangat! Jangan buru-buru menikah hanya karena temen udah punya undangan, apalagi cuma gara-gara takut kehabisan stok.

Ingat, lebih baik menunggu yang tepat daripada menyesal karena terburu-buru ngucap “sah” di pelaminan tapi bingung bayar tagihan!.[***]

Terpopuler

To Top