NEGERI ,ini hutan gambutnya lebih gampang terbakar daripada jemuran kering di tengah matahari Juli, tiap musim kemarau datang, kabar duka soal kebakaran hutan dan lahan alias karhutla selalu ikut nimbrung.
Di Riau, api bukan lagi simbol semangat perjuangan, tapi sudah mirip tamu tak diundang yang tiap tahun datang, ngacak-ngacak rumah orang, makan-makan, lalu ninggalin asap dan kerusakan.
Namun tahun ini, Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq datang bukan sebagai penonton gala konser asap.
Beliau turun langsung ke Riau, bukan untuk cari durian runtuh, tapi memastikan dunia usaha tidak main-main lagi dalam urusan api-api-an ini.
“Kalau ada lahan konsesi terbakar tanpa respons cepat, kami tak segan bertindak,” tegas beliau, dengan gaya tegas tapi sopan, seperti guru BP yang baru marah kalau kamu nggak pakai dasi.
Menteri Hanif tidak main mata, apalagi main korek, koordinasi langsung digelar dengan BNPB, BMKG, TNI, POLRI, sampai level pemerintah kabupaten dan kota. Dunia usaha pun tak bisa lagi pura-pura bingung.
Nama-nama besar seperti RAPP, Sinar Mas, Pertamina Hulu Rokan, sampai PTPN IV Regional III, semua dikumpulkan, bukan rapat RT, melainkan rapat tanggap darurat!, “Keterlibatan dunia usaha bukan lagi bentuk CSR, tapi tanggung jawab yang melekat pada setiap izin konsesi,” ujar Pak Menteri.
Bahasa sederhananya “Jangan cuma pandai panen, giliran lahan kebakar malah ngumpet di balik laporan tahunan!”
Dan betul saja, setelah Pak Menteri menabuh genderang koordinasi, beberapa perusahaan mulai bergerak. Ada yang pasang palang larangan membakar, menerbangkan helikopter water bombing, dan bikin patroli darat rutin. Pertamina Hulu Rokan bahkan mau bikin sekat kanal demi menjaga lahan gambut tetap basah, karena lahan kering itu ibarat hati yang belum move on: gampang terbakar!
Namun jangan cepat bertepuk tangan dulu, laporan dari sistem Sipongi pada 26 Juli 2025 menunjukkan masih ada 24 hotspot kategori sedang. Memang tak ada yang masuk kategori tinggi, tapi 12 titik di Pelalawan, 6 di Bengkalis, 4 di Dumai, dan 2 di Rokan Hilir adalah sinyal bahwa karhutla masih berkeliaran seperti maling malam hari.
Padahal, kalau kita tengok data semester pertama 2025, jumlah karhutla justru meningkat 18% dibanding periode sama tahun 2024. Artinya, kita ini belum sembuh total, masih batuk-batuk akibat kebiasaan lama teledor, telat, dan terlalu banyak rapat tanpa tindak.
Ada pepatah lama yang cocok untuk situasi ini “Lebih baik mencegah api daripada mencari selang di tengah malam”
Atau dalam versi dagelan “Kalau tahu hutan itu gampang kebakar, ya jangan ditinggal tidur siang!”
Jelas sekali bahwa sistem mitigasi harus dibangun sejak dini, Perusahaan yang dapat izin konsesi jangan cuma mikirin produksi dan profit, kalau hutan mereka kebakar dan cuma bisa bilang “Kami tidak tahu, Pak,” itu ibarat punya rumah bocor tapi salahin hujan.
Menteri Hanif benar dalam sikapnya pencegahan adalah kewajiban, bukan pilihan. Kita butuh dunia usaha yang jadi pemadam, bukan kompor yang menyulut bara. Dunia usaha harus berada di garis depan, bukan sekadar penyumbang dana pelatihan.
Namun, tajuk ini juga perlu menepuk pundak pemerintah sendiri, Komitmen sudah bagus, gaya pidato sudah mantap, tapi efek jera itu bukan dibentuk dari ancaman semata, melainkan tindakan nyata.
Meski sudah ada yang di sanksi, pencabutan izin denda yang sangat besar diterapkan lagi, hingga blacklist perusahaan yang abai.
Jangan sampai citra Indonesia di mata dunia jadi jelek seperti jerebu yang sampai ke negara tetangga. Melindungi hutan itu bukan sekadar soal regulasi, ini soal harga diri bangsa dan nyawa rakyat yang menghirup asap tiap tahun.
Intinya juga kesadaran harus ditanamkan, jangan asal bakar, nanti alam malah balas dendam, karhutla bukan drama tahunan yang kita nikmati seperti sinetron. Ini bencana yang merusak paru-paru bumi, ekonomi rakyat, dan kesehatan generasi mendatang. Kita tidak bisa lagi hidup seperti orang mabuk korek api menyalakan, lalu lupa mematikan.
Sebagaimana kata bijak “Api kecil jadi kawan, kalau besar jadi lawan. Tapi kalau dibiarkan, bisa jadi mantan yang datang lagi bawa dendam”
Dunia usaha harus sadar, menjaga alam adalah investasi paling bijak. Karena kalau bumi rusak, jangan mimpi jualan sawit, pulp, atau minyak pun bisa lancar. Pemerintah harus terus mengawasi, bukan sesekali datang lalu hilang ditelan kabut proyek lain.
Ubahlah cara pandang, karena hutan bukan lahan kosong untuk dibakar, tapi warisan untuk dijaga, sebab kalau dunia usaha masih bandel? Ya tinggal dicatat namanya, kasih peluit merah, dan kirim surat cinta berisi sanksi berat seberat beratnya, supaya lain kali, mereka tahu karhutla bukan mainan, tapi urusan hidup-mati.[***]