MENTERI Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan pentingnya tata kelola distribusi beras untuk menekan laju kenaikan harga, terutama di daerah penghasil beras yang justru ironisnya ikut mengalami lonjakan harga.
Dalam Rapat Koordinasi Terbatas di Kantor Kemenko Pangan (25 Juli 2025), Mendagri juga menyebut beras kini jadi penyumbang inflasi nomor tiga, setelah bawang merah dan cabai rawit. Jumlah daerah yang mengalami kenaikan harga meningkat dari 178 menjadi 205 kabupaten/kota hanya dalam sepekan.
Solusinya? Pemerintah bakal dorong subsidi transportasi pangan ke daerah terpencil, edukasi konsumsi pangan lokal non-beras, dan penegakan hukum secara bertahap ke pelaku manipulasi harga, tanpa bikin pasokan beras ke pasar jadi seret.
“Orangnya ditindak, tapi barangnya harus tetap sampai ke rakyat” kata Tito.
Pagi itu pun, Mang Zenal datang sambil bawa hape jadul yang cuma bisa buka berita kalau ditiup dulu kayak kaset Nintendo.
Kata Mang Zenal “Wak, ini aku baca! Kata Pak Tito, distribusi beras bermasalah. Makanya harga naik, bahkan di daerah penghasil sendiri, beliau bilang jangan sampai pasokan terganggu meski pelakunya ditindak”
Wak Bek, “Iyalah!, jangan kayak nangkap maling ayam, tapi ayamnya malah dijadikan barang bukti sampai busuk!”
Menurut BPS, Indonesia pada 2023 punya luas panen padi 10,21 juta hektare, produksi gabah 53,98 juta ton dan produksi beras konsumsi 31,10 juta ton
Sementara tahun 2024 (angka sementara), luas panen padi 10,05 juta hektare, produksi gabah 52,66–53,14 juta ton dan produksi beras konsumsi 30,34–30,62 juta ton. Angka ini jelas masih sangat besar. Tapi kenapa beras tetap mahal dan jadi penyumbang inflasi?
Mang Zenal : “Ini negara bukan agraria, tapi agrariah… alias agraria yang bikin resah!”
Wak Bek : “Kalau dari angka, harusnya kita kenyang. Tapi dari kenyataan, kita malah ngutang buat beli nasi!”
Vietnam & Thailand Ngegas, Kita Ngedumel
Lihat negara tetangga Vietnam ekspor 8 juta ton beras meski lahan mereka lebih kecil dan Thailand punya sistem distribusi dan kontrol harga super rapi.
Kita? Masih ribut soal beras oplosan dan panen seremonial, sidak sana-sini, hasilnya foto-foto rame, tapi harga tetep naik pelan-pelan kayak dosa yang gak dirasa.
Mang Zenal :”Vietnam ekspor beras, kita ekspor berita dan rilis media”
Wak Bek :”Thailand ekspor hasil tani, kita ekspor polemik dan nasi bungkus wartawan”
Mendagri bilang subsidi transportasi penting buat wilayah sulit, dan penegakan hukum harus bertahap. Konsepnya keren, asal jangan jadi template PowerPoint rapat doang. Rakyat perlu eksekusi, bukan janji yang dibungkus nasi kotak.
Wak Bek : “Kalau beras disegel, rakyat disuruh makan caption medsos kementerian?”
“Distribusi tak rapi, harga jadi ngeri”
Wak Bek, pengamat logistik warung kopi…..he..he
“Panen doang gak cukup, kalau hasilnya cuma numpuk di gudang para cukong” – Mang Zenal, alumni penggiling padi Kelurahan Sabar Menanti.
Kalau semua masih rempong dan harga makin gak nyantai, Wak Bek dan Mang Zenal punya solusi rakyat jelata
Mang Zenal “Udahlah Wak, tanam kelor aja. Rebus daunnya, tambah garam, makan sambil nyanyi lagu Tanah Airku biar khidmat”
Wak Bek “Ha-ha! daripada lapar, karena nasi mahal, mending kenyang karena ketawa, daun kelor rebus, teh manis anget, dan berita lucu tiap pagi!”
Mang Zenal :”Harga boleh naik, tapi akal sehat jangan ikut terbang, kalau petani nangis, negeri ikut ambyar”
Wak Bek : “Jangan biarkan beras jadi barang mewah, nanti anak-anak kita kenalnya bukan nasi uduk, tapi nasi utang!”[***]
Catatan Redaksi: Tulisan ini adalah satire ringan soal peliknya harga beras di negeri agraris. Tokoh-tokoh seperti Wak Bek, Mang Zenal, Bu Ijah, dan Bang Jimi memang fiktif, tapi mereka mewakili suara rakyat yang nyata, petani kecil, warga kampung, sopir truk, dan emak-emak RT yang merasakan langsung dampak inflasi. Lewat humor dan celetukan mereka, kami mencoba menyampaikan keresahan rakyat dengan cara yang lebih hangat, jenaka, namun tetap tajam.