Kesehatan

Waktu Kampung Heboh Gegara Kusta, Bang Kasto Malah Bikin Mereka Ketawa

foto : ilustrasi/kemkes

KUSTA masih dianggap momok oleh banyak masyarakat, padahal ia bisa disembuhkan total. Tapi stigma, bukan bakteri, yang sering membuat orang takut bicara. Inilah kisah Bang Kasto dari Kampung Sentul, yang memilih sembuh daripada sembunyi.

Di Kampung Sentul, orang demam dikasih daun jambu, orang batuk dikasih minyak kayu putih, tapi kalau ada yang kena kusta langsung dikasih tatapan sinetron dan jarak sosial lima meter. Ya, begitulah di kampung kami. Antara kurang paham dan kebanyakan nonton film horor.

Awalnya, Bang Kasto hanya merasa telapak kakinya mati rasa. Dikiranya kebanyakan duduk di pos ronda. Lalu muncul bercak putih yang nggak gatal tapi juga nggak hilang. Tetangganya yang paling cerewet, Mbak Rum, langsung bilang, “Waduh, jangan-jangan kutukan mantan, To!”

Bukan mantan. Bukan guna-guna. Bukan juga karma karena suka ngutang di warung Umi. Itu kusta. Penyakit infeksi menahun yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Bakteri ini nyebarnya pelan, dan gejalanya bisa muncul bertahun-tahun. Tapi yang cepat nyebar justru gosip.

Begitu divonis dokter di Puskesmas, Bang Kasto sempat keder. Bukan karena penyakitnya, itu bisa diobati dengan minum rutin antibiotik selama 6–12 bulan. Yang bikin kepikiran justru sikap warga.

Anaknya nggak boleh main sama anak tetangga. Istrinya cuma bisa menangis waktu berbelanja di pasar, karena semua orang menghindar seperti Bang Kasto punya tanduk.

Di warung kopi, suara sumbang berseliweran..

“Itu penyakit kutukan…”

“Nular lewat napas, lho…”

“Jangan sampe numpang duduk, nanti kursinya kena…”

Padahal faktanya kusta tidak mudah menular. Harus kontak erat dan berkepanjangan. Dan kalau sudah minum obat, penularannya langsung berhenti. Tapi stigma memang lebih cepat dari logika.

Bang Kasto sempat ingin pindah. Tapi istrinya bilang, “Kalau kamu pergi, orang tetap takut. Tapi kalau kamu sembuh di sini, orang bakal malu”. Maka mulailah ia rutin berobat, ikut edukasi di Puskesmas, dan… jadi Duta Tawa Kampung Sentul.

Daripada ngamuk, Bang Kasto malah ngelawak. Di acara 17-an, dia naik panggung dan bilang, “Kusta ini bukan kutukan. Kalau iya, saya udah jadi kodok dari kemarin. Ini mah bakteri. Dan bakteri nggak kenal dendam”.

Orang-orang ketawa, tapi juga mulai mikir. Ia bikin konten pendek pakai HP jadul, isinya edukasi soal kusta tapi dibalut banyolan “Kalau ada bercak putih, bukan berarti kamu keturunan dalmatian. Cek aja ke Puskesmas”.

Lama-lama, warga yang dulu takut mulai nanya. Beberapa ada yang mengaku punya bercak juga. Dan pelan-pelan, Bang Kasto bukan lagi “si sakit” tapi “si penyambung akal sehat”.

Apa yang dilakukan Bang Kasto di kampungnya, sebenarnya jadi cerminan perjuangan lebih besar di Indonesia.

Data terakhir menyebutkan bahwa pada 2024, ada sekitar 14.698 kasus baru kusta yang tercatat di tanah air. Dan hingga Mei 2025, sudah muncul lagi 3.716 kasus baru. Artinya, penularan masih terus terjadi, meskipun jumlahnya fluktuatif dari tahun ke tahun.

Secara administratif, sudah 395 kabupaten/kota yang mencapai status “eliminasi kusta”, yaitu dengan angka kasus di bawah ambang batas nasional. Tapi kalau pakai standar yang lebih ketat, yakni tidak ada lagi kasus baru baik anak maupun dewasa baru 6 daerah saja yang bisa tersenyum lega.

Tahun 2023, Indonesia bahkan menempati peringkat ketiga dunia dalam jumlah kasus baru, setelah India dan Brasil. Tapi jangan kecil hati.

Bahkan banyak negara lain juga pernah terjebak dalam angka tinggi, tapi bisa keluar. Yordania, misalnya, sudah lebih dari dua dekade bebas kasus lokal. Artinya bisa, asalkan strategi pengobatan, deteksi dini, dan penghapusan stigma dijalankan bareng-bareng.

Pemerintah membidik tahun 2030 sebagai momen bebas dari kusta bukan cuma dari segi penyakitnya, tapi juga dari dampaknya. Targetnya jelas tak ada lagi kasus baru, tak ada lagi disabilitas akibat terlambat ditangani, dan tak ada lagi bisik-bisik penuh stigma.

Caranya? Dengan pengobatan kombinasi (MDT) yang terus digencarkan, pemberian rifampisin untuk mereka yang kontak erat, serta kampanye sosial agar masyarakat paham bahwa kusta bukan kutukan, tapi bisa disembuhkan.

Bang Kasto kini sehat. Masih suka ngelawak di panggung RT, masih minum kopi di warung, dan kadang bantu kader kesehatan buat edukasi ke sekolah-sekolah.

“Obatnya memang pahit,” katanya, “tapi lebih pahit dijauhi orang yang nggak ngerti”

Kusta bisa disembuhkan. Tapi stigma? Itu butuh keberanian. Bukan cuma dari orang yang sakit, tapi dari kita yang sehat juga, pesan dari Bang Kasto dan Kampung Sentul

Kalau kampungmu suatu hari heboh karena ada kasus kusta, jangan buru-buru percaya bisikan nenek-nenek mistis. Ingat Bang Kasto yang dilawan itu bakteri, bukan orangnya.

Kisah Bang Kasto memang fiksi, tapi situasinya nyata. Kusta bisa disembuhkan, tapi stigma tak bisa hilang sendiri harus dilawan bersama. Bukan hanya dengan obat, tapi juga dengan cerita. Cerita yang bikin orang paham, bukan takut. Cerita yang bikin kampung ketawa, bukan menjauh.

Karena seperti kata Bang Kasto “Yang bikin orang dijauhi itu bukan sakitnya, tapi ketidaktahuannya”.[***]

Catatan redaksi : Bang Kasto memang tokoh fiksi, tapi semangatnya mewakili banyak penyintas di dunia nyata. Cerita ditulis agar suara mereka tak lagi sembunyi, dan berdasarkan data dan kebijakan aktual penanganan kusta di Indonesia. Tujuannya untuk mendukung kampanye penghapusan stigma dan penyebaran informasi yang lebih humanis.

Terpopuler

To Top