INDUSTRI kini sedang diseret ikut tren baru, bukan fashion, bukan skincare, tapi diet emisi. Bukan pula diet karbo ala artis Korea, tapi diet gas rumah kaca semacam laku prihatin demi langit yang tak lagi sesenggukan dan kutub yang nggak makin tirus kayak pipi habis di-contour.
Dunia lagi ngajak pabrik-pabrik dan mesin-mesin gede buat puasa asap, supaya bumi nggak makin panas kayak mantan yang lihat kita bahagia.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin), tampaknya sadar betul kalau Indonesia ini butuh udara segar, bukan sekadar segar janji politik. Oleh sebab itu perlu dicanangkanlah langkah dekarbonisasi,
Kata yang kalau dibaca sepintas mirip “dekorasi”, tapi yang ini bukan menghias pelaminan, melainkan menghias masa depan industri supaya nggak ngebul seenaknya.
Andi Rizaldi dari BSKJI bilang ada sembilan sektor industri yang akan disulap jadi lebih langsing emisi. Semen, pupuk, logam, tekstil, otomotif, makanan, dan teman-temannya bakal ikut program “Turunkan Emisi, Naikkan Prestasi”. Mirip-mirip kayak kelas yoga khusus buat pabrik.
“Kalau selama ini industri kita itu kayak bapak-bapak ngopi sambil ngerokok di teras nyantai tapi ngebul sekarang kita ajak mereka masuk gym. Nggak bisa lagi santai-santai, harus keringetan nurunin karbon”
Jangan salah, targetnya bukan main-main net zero emission pada 2050!. Itu artinya, industri harus belajar jalan di atas treadmil kebijakan selama 25 tahun ke depan tanpa jatuh, treadmill-nya kadang miring, kadang berputar, kadang mesinnya mati pas listrik naik tegangan.
Di acara AIGIS Goes to Campus di Binus, semangat itu disulut pakai korek inovasi. Mahasiswa diajak jadi Green Avengers bukan cuma nyelamatin bumi dari Thanos, tapi dari panas global, polusi, dan plastik yang numpuk kayak utang negara.
Andi bilang, kampus itu inkubator inovasi, betul juga, karena di sanalah tempat paling banyak muncul ide, dari bikin robot pemisah sampah, sampai es krim vegan rasa rendang. Mahasiswa itu memang makhluk unik, bisa tidur dua jam tapi bisa mikir solusi dunia.
“Kalau orang tua mikir investasi buat pensiun, anak muda mikir investasi buat bumi. Ya, walau kadang masih ngandelin WiFi kampus buat download game.”
Yang paling ciamik GISCO, singkatan dari Green Industry Service Company, meski kedengerannya kayak nama boyband Korea gagal debut, tapi fungsinya top! GISCO ini semacam mak comblang yang menjodohkan pabrik-pabrik penghasil polusi dengan teknologi bersih dan pendanaan hijau.
Kalau biasanya industri kesulitan cari modal buat beli alat canggih pengurang emisi, GISCO bakal bantuin. Jadi pabrik nggak perlu lagi galau kayak ABG ditolak KPR, karena ada ‘teman’ yang bantuin cari cara biar tetap bisa usaha tanpa bikin bumi masuk UGD.
Perumpamaannya industri tanpa dekarbonisasi itu kayak panci gosong dipakai terus, tapi makin hari makin hitam dan cepat rusak. Dekarbonisasi itu semacam skincare buat bumi, butuh waktu, konsistensi, dan tentu saja budget.
Kalau kata pepatah, “sedia roadmap sebelum disemprot negara lain”, karena sekarang industri yang ngebul sembarangan bisa disemprot bukan cuma sama warga, tapi juga sama Uni Eropa.
Indonesia tak bisa lagi hanya jadi penonton parade industri dunia yang makin hijau, kalau negara lain udah naik sepeda listrik, masa kita masih naik becak pakai solar subsidi?
Kemenperin lewat AIGIS sudah bikin langkah awal. Tapi ini bukan marathon yang bisa diselesaikan sendirian. Butuh pabrik yang mau berubah, mahasiswa yang mau riset, dan pemerintah yang nggak cuma bisa bilang “sudah dirapatkan”.
Karena, seperti kata pepatah dari kampus kehidupan “Bumi ini warisan anak cucu, bukan tempat buang emisi sambil nunggu pensiun”
Akhir kata, mari kita dukung pabrik-pabrik kita bukan cuma dengan pembelian produk, tapi juga dengan dorongan inovasi. Agar kelak, kalau cucu kita nanya, “Kakek dulu ngapain pas bumi makin panas?” kita bisa jawab dengan bangga, “Kakek ikut bantu dekarbonisasi, bukan nambah polusi”.[***]