Industri Kreatif & UKM

“Tahilalats ke Swiss, WIPO Ketawa: Kekayaan Intelektual Kita Bukan Cuma untuk Pajangan Rak!”

ekraf

ADA yang beda di Jenewa, Swiss, Kamis 17 Juli 2025 kemarin, bukan karena salju turun mendadak di tengah musim panas, tapi karena Menteri Ekonomi Kreatif kita, Teuku Riefky Harsya, naik panggung WIPO (World Intellectual Property Organization) ia bukan cuma bawa pidato, tapi juga bawa semangat, ide, dan… “komik Tahilalats!”.

Iya, betul, itu komik absurd yang isinya kadang bikin kita mikir keras sambil ngakak, sekarang dia jadi bintang tamu di pameran Internasional, siapa sangka komik yang dulu dianggap “nyeleneh dan nggak jelas” bisa tampil manis di kereta cepat Internasional?.

Oleh sebab itu, jangan sekali-kali meremehkan kekayaan intelektual (KI), kalau kata pepatah itu “diam-diam ubi berisi”. begitu pula KI nggak kelihatan tapi penuh potensi yang bikin orang luar sana kaget.

Menteri Ekraf juga dengan suara mantap dan jaket nasionalisnya menyampaikan “KI itu bukan sekadar pelindung ide, tapi pendorong ekonomi kreatif dan digital, harus jadi insentif, bukan penghambat”.

Kalimatnya memang diplomatis rasanya, namun kayak orang tua yang bilang ke anaknya, “Nak, kamu boleh jadi youtuber, asal monetisasi-nya jelas dan hak cipta-nya aman”

Dalam pertemuan ke-66 WIPO itu, Indonesia juga nggak cuma duduk-duduk manis, juga tampil dengan bawa oleh-oleh  pameran “Local Roots, Global Reach”.

Pameran itu, bukan sekadar tempel batik dan tunjuk kerajinan rotan, tapi menampilkan kekuatan narasi  dari komik Tahilalats yang Go Internasional hingga  produk kreatif lainnya, membuktikan KI kita bukan sekadar stempel legalitas, tapi branding bangsa.

Kalau WIPO itu semacam forum Avengers-nya negara-negara pemegang hak kekayaan intelektual, maka Indonesia tampil sebagai Iron Man yang nyentrik tapi penuh inovasi.

Kita punya proyek DA (Development Agenda) on Creative Industries in the Digital Era, yang ternyata bukan proyek PHP (pemberi harapan palsu). Udah ada pelatihan, ada dukungan, ada bimbingan buat para kreator, keren khan!.

Masalahnya di Indonesia, kekayaan intelektual kadang cuma berhenti di atas kertas, didokumentasikan, disertifikatkan, terus… masuk laci.

Padahal seharusnya, kayak kata pepatah, “Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah”. Nah, KI tanpa aplikasi bisnis itu ibarat tanaman bonsai bagus dilihat, tapi nggak bisa dimakan.

KI itu harus jadi mesin, bukan museum, bayangkan seandainya hak cipta lagu-lagu daerah kita dikelola secara digital dan tersambung ke streaming global. Atau batik daerah yang dilisensikan ke brand fashion Internasional, duitnya bukan main, ia ya..!

Oleh sebab itu, yang harus dilakukan negara adalah mengubah mindset dari “mendaftarkan” menjadi “mengembangkan”.

Pelatihan manajemen KI, dukungan kuratorial untuk produk kreatif lokal, sampai platform distribusi digital harus digarap total.

Selain itu, Kemenparekraf juga bisa menggandeng unicorn digital, universitas, dan komunitas kreatif buat bikin inkubator, biar kreator nggak cuma bisa gambar atau bikin lagu, tapi juga bisa hitung royalti dan tahu cara lindungi hak cipta dari tangan-tangan jail, baik dari luar negeri maupun dari tetangga sebelah yang suka nyontek template.

Apa yang dibawa Indonesia ke WIPO bukan sekadar materi pameran. Ini adalah pesan kekayaan intelektual itu bukan cuma milik si kaya dan si pintar, tapi milik semua orang yang punya ide dan karya.

Teuku Riefky bukan cuma bicara sebagai menteri, tapi sebagai perwakilan bangsa yang kreatif, kadang nyeleneh, tapi punya semangat kolaborasi dan strategi pembangunan nasional.

Kalau bisa kita simpulkan, KI itu seperti kopi asal diolah dengan benar, bisa jadi minuman mahal di kafe luar negeri. Tapi kalau dibiarkan mentah, ya cuma jadi biji gosong di karung goni.

Dengan langkah seperti ini, harusnya didukung terus agar kekayaan intelektual Indonesia bukan hanya jadi “harta karun” tersembunyi, tapi harus jadi franchise global yang membawa senyum ke wajah kreator lokal, dan tawa di wajah dunia kayak Tahilalats di kabin pesawat.

Karena siapa tahu, 10 tahun lagi, komik Sobat Misqueen atau film horor khas Indosiar kita tayang di Cannes atau Netflix, lengkap dengan subtitle “Based on a true local legend…”, dan kita, duduklah nyantai sambil nyeruput kopi, bisa bilang juga “Itu dulu tetangga gue yang suka gambar di warung” .[****]

Terpopuler

To Top