SDM kita diibaratkan makanan, maka banyak yang masih mentah, ada pula yang setengah matang, tapi sudah disajikan di atas piring industri yang panas, alhasil, bukan malah enak disantap, tapi malah bikin industri kenyang dengan kekhawatiran.
Inilah yang coba disoroti Menaker Yassierli dalam Forum Executive Breakfast Meeting, bukan forum sarapan bubur ayam biasa, tapi forum penuh gizi wacana.
Ia tak sekadar melemparkan data, namun juga perumpamaan, seperti juru masak yang tahu bahwa dapurnya perlu dibersihkan dulu sebelum masak nasi goreng prestasi.
Masalah kita bukan tidak punya dapur, tapi kadang bumbunya gak lengkap, apinya kecil, dan chef-nya belum dapat pelatihan. Itulah kira-kira gambaran kondisi Balai Latihan Kerja (BLK) kita yang sebenarnya punya potensi menjadi ‘kompor gas’ pencetak tenaga kerja unggulan. Ya itu tadi, masih banyak BLK yang lebih mirip warung kopi sore hari ramai, tapi isinya ngobrol doang.
Indonesia masih berkutat di level produktivitas kerja yang jeblok, bahkan dibanding beberapa tetangga kita di ASEAN. Kalau Vietnam sudah naik motor Ninja, kita masih belajar naik sepeda roda tiga pakai pelatihan singkat. Masalahnya bukan sekadar soal kemauan, tapi soal kemampuan. Bukan tidak mau kerja, tapi tak tahu mesti kerja apa, bagaimana, dan di mana.
Coba bandingkan dengan Jerman, misalnya, negara itu punya dual vocational training sistem pelatihan ganda antara teori dan praktik yang dijalankan bareng industri.
Di Indonesia? BLK kita kadang pelatihannya menjahit, tapi yang dibutuhkan industri malah operator mesin CNC. Jadinya? Mismatch, kayak bawa pisang ke lomba makan kerupuk.
Apa kabar BLK kita?, kata Menaker, baru 140 ribu orang yang bisa disentuh setiap tahun, padahal kita butuh jutaan. ibarat punya gayung kecil tapi mau mandiin gajah, niatnya bagus, tapi basahnya tak seberapa.
Kabar baiknya, Menaker sudah memikirkan transformasi, akan ada pelatihan industri 4.0, creative skills, smart healthcare, sampai green jobs. Wah… seperti upgrade warteg jadi restoran fusion!. Tapi jangan cuma menunya yang keren, pelayannya juga harus terlatih. Perlu pengawasan serius agar pelatihan ini tepat sasaran dan tidak hanya jadi ‘panggung opera’ pelatihan basa-basi.
Yassierli juga menyindir hubungan industrial yang masih kaku dan transaksional, seperti hubungan mantan yang masih ngambek. Padahal semangat kita seharusnya gotong royong, bukan gotong ‘untung sendiri’. Model hubungan industrial Pancasila yang ditawarkan adalah angin segar tak sekadar menyatukan kepentingan buruh dan pengusaha, tapi membangun kerja sama jangka panjang yang saling menguatkan.
Negara seperti Denmark sudah membuktikan bahwa hubungan industrial yang solid dan partisipatif mampu menciptakan tenaga kerja sejahtera, industri maju, dan stabilitas sosial, mereka tidak hanya fokus pada upah, tapi juga pelatihan berkelanjutan, perlindungan kerja, dan komunikasi terbuka.
Koperasi juga disentil, banyak yang gagal bukan karena izin, tapi karena pengurusnya bingung bedakan antara cash flow dan cashew nuts.
SDM Koperasi
Kemnaker ingin memperkuat SDM koperasi, dan itu langkah cerdas, sebab koperasi bisa jadi mesin pencipta kerja, bukan hanya tempat simpan-pinjam rasa keluarga.
Perlu kita ingat, menciptakan lapangan kerja itu seperti menanam pohon. Tak cukup dengan menabur benih (investasi), tapi harus disiram (pelatihan), dipupuk (pendampingan), dan dijaga dari hama (regulasi ngawur). Kemnaker memang di posisi hilir, tapi kalau hilirnya mandek, air di hulu juga mubazir.
Jangan biarkan BLK jadi museum pelatihan, koperasi jadi tempat ngopi, dan produktivitas cuma jadi judul seminar. Transformasi harus dikawal bersama. Negara hadir bukan sekadar lewat regulasi, tapi juga lewat aksi nyata yang menyentuh sampai dapur rakyat.
Tenaga kerja Indonesia bukan malas, mereka hanya belum diberi akses belajar yang tepat, informasi yang merata, dan jembatan ke dunia kerja yang relevan. Kemnaker memang bukan tukang sulap, tapi kalau komitmennya kuat, kolaborasinya nyata, dan humornya tetap hidup, maka masa depan ketenagakerjaan kita bisa lebih cerah dari wajah HRD saat lihat CV bersih.
Mari bangun optimisme, karena seperti kata pepatah “Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan kenangan, tapi negara besar ditentukan oleh kualitas tenaga kerjanya”.
Jangan takut bersaing di era robot dan AI. Mesin memang bisa kerja tanpa lelah, tapi hanya manusia yang bisa kerja sambil tertawa dan minum kopi.
Saatnya BLK bukan sekadar singkatan dari Balai Latihan Kerja, tapi jadi tempat Belajar, Lulus, Kerja!, kita bukan bangsa pemalas, hanya perlu ‘kompor’ dan resep yang tepat, masa depan tenaga kerja Indonesia pakai harus api semangat dan bumbu inovasi!.[***]