ORANG bilang tanah itu diam dan tak bisa bicara, mungkin dia belum pernah lihat sawah yang dijadikan ladang pahala. Bayangkan, sepetak lahan yang biasanya jadi tempat ayam ngeruk-ngeruk tanah, kini naik derajat jadi portofolio akhirat.
Nah, ini bukan sinetron religi jam lima subuh, tapi inisiatif serius—dengan bumbu-bumbu semangat dan keikhlasan yang namanya Wakaf Produktif Pertanian.
Jumat lalu, aroma semangat ini menyeruak ke Kantor Kementerian Agama. Menteri Agama Nasaruddin Umar, yang biasanya sibuk ngurusin urusan ukhrawi umat, kedatangan tamu penting Ketua ICMI sekaligus Rektor IPB, Prof. Arif Satria.
Mereka bukan datang buat sekadar minum teh dan makan biskuit marie, tapi ngobrol serius soal wakaf yang bisa ditanami kangkung, padi, bahkan mungkin bayam Brasil. “Kami ingin terlibat, bukan hanya hadir untuk meresmikan,” ujar Menag dengan nada seperti orang siap turun ke sawah pakai sorban.
ICMI dan IPB lagi-lagi membuktikan bahwa wakaf tak melulu harus berbentuk masjid megah dan kubah berlapis emas. Wakaf bisa berupa tanah sawah, ladang, atau kebun yang disulap jadi ladang keberkahan.
Kata Arif Satria, ini bukan cuma buat panen hasil tani, tapi juga panen pendidikan, penelitian, dan pengembangan ekonomi umat. Pendek kata sawah ini bisa jadi sarjana.
Kalau di Belanda, mereka pakai teknologi canggih untuk bertani di atas atap rumah dan bawah tanah, masa kita nggak bisa nyulap tanah wakaf jadi gudang berkah?.
Bahkan di Dubai, gurun bisa jadi kebun sayur hidroponik. Di kita, lahannya luas, tenaga kerja banyak, tinggal dibumbui niat dan manajemen yang lurus.
Menag tidak hanya menyambut dengan senyum formal ala pejabat, tapi juga ngajak semua perangkat kementerian buat turun tangan dari Baznas, BPKH, sampai BWI, seperti pasukan Avengers Wakaf, lengkap dari yang pegang duit, yang kelola aset, sampai yang bisa bantu doakan cuaca supaya gak hujan pas panen.
Pepatah Jawa bilang: “Wong pinter kalah karo wong bejo, wong bejo kalah karo wong greget”. ICMI dan IPB ini sudah pinter, tinggal kita doakan bejonya nempel dan gregetnya meledak.
Kalau kata Muhammad Yunus, penerima Nobel Perdamaian asal Bangladesh yang mempopulerkan microfinance “Social business is not charity. It’s a business with a purpose.” (Bisnis sosial itu bukan amal. Ia adalah bisnis yang punya tujuan.)
Nah, wakaf produktif ini bukan semata-mata bagi-bagi bibit, tapi sistem pertanian yang bisa mandiri, menggaji, bahkan mengajari.
Wakaf Produktif Pertanian bukan cuma proyek panen raya, tapi juga panen pahala. Ini adalah bentuk baru dari gotong royong spiritual dan ekonomi.
Bukan cuma nyiram tanaman, tapi juga menumbuhkan harapan di hati petani dan umat. Bayangkan, tiap benih yang tumbuh, tiap bulir padi yang dipanen, semuanya bisa jadi amalan jariyah yang tak pernah layu, bahkan saat kita sudah tiarap di liang kubur.
Jadi, kalau kamu punya tanah nganggur, jangan cuma dipagerin terus ditungguin tuyul. Wakafkan! Biar jadi ladang pahala yang terus mengalir, macam irigasi subak di Bali yang tak kenal kata putus.
Karena sejatinya, “Hidup itu pendek, tapi ladang amal bisa panjang, kalau kita tahu di mana harus menanam”.[***]