Palembang Terkini

“Palembang Bukan Kota Biasa, Saat Sungai Musi Mulai Berbicara Bahasa OECD”

ist

ORANG bijak bilang, “Jangan menyeberang sungai tanpa jembatan, jangan membangun kota tanpa perencanaan” Jika kalau Sungai Musi jadi jantung Palembang, maka perencanaannya harus jadi detak yang waras. Jangan sampai kita bangun kota seperti orang masak nasi pakai lilin matang tak merata, lama pun iya.

Kota Palembang kini dapat tamu istimewa, Wakil Menteri PKP Fahri Hamzah datang tak hanya bawa rombongan, tapi juga rombongan ide besar. Tak main-main, beliau datang bersama delegasi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), lembaga internasional kelas kakap dari kumpulan negara-negara maju. Kalau tamu biasa kasih oleh-oleh bolu, tamu satu ini bawa oleh-oleh data, desain, dan dorongan untuk jadi kota dunia.

Fahri Hamzah punya visi, Palembang tak bisa lagi sekadar jadi kota yang indah di kartu pos, atau hanya dikagumi lewat cerita sejarah Sriwijaya. Kini saatnya Palembang bersolek dengan pendekatan modern Transit Oriented Development (TOD) dan revitalisasi kawasan Sungai Musi.

Apa itu TOD? Gampangnya, ini cara membangun kota, seperti bikin mie instan  serba terintegrasi. Transportasi nyambung ke hunian, hunian nyambung ke ruang publik, ruang publik nyambung ke ekonomi warga. Tak ada lagi warga naik angkot dari Plaju ke Sekip sambil pasrah dengan macet dan debu.

Semua diatur rapi, terencana, dan manusiawi. Kalau Jepang bisa bikin kawasan TOD yang bikin orang betah duduk di halte sambil senyum-senyum, kenapa kita harus terjebak dengan halte bolong dan trotoar yang lebih cocok buat lari gawang?

Jangan salah kira, OECD datang bukan mau wisata kuliner pempek, mereka membawa pengalaman dari berbagai kota di dunia. Dari Tokyo yang rapi jali, ke Paris yang cantik menawan, hingga Seoul yang bikin iri soal transportasi.

Kata Tadashi Matsumoto, Kepala Unit OECD, “Kami ingin membantu Indonesia merancang kota yang inklusif dan layak huni”. Kalimat ini bukan basa-basi, tapi ajakan serius. OECD tak hanya kasih saran, mereka juga menyusun laporan kebijakan yang akan diluncurkan Januari 2026, dan Palembang berpeluang masuk di dalamnya. Ini semacam ikut ujian internasional, dan kalau lulus, nilainya dipajang di papan pengumuman dunia.

Bayangkan, Palembang masuk jurnal OECD. Wah, kota ini tak cuma dikenal karena pempek dan jembatan Ampera, tapi juga karena tata kotanya yang menginspirasi!.

Wamen Fahri dengan gayanya yang khas, mengingatkan bahwa pembangunan kota tak bisa asal tunjuk dan suruh kerja. Harus ada desain besar, seperti arsitek merancang istana. Kalau tidak, hasilnya kayak rumah makan padang tanpa sambal kurang greget.

“Masyarakat, kampus, dan pemda harus datang dengan ide. Pemerintah pusat siap dukung, OECD siap bantu dari sisi teknis. Tapi desain awal tetap harus dari dalam,” tegas Fahri.

Seperti kata pepatah, “Sepandai-pandainya OECD meloncat, kalau rakyat Palembang tak punya niat, tetap tak akan sampai ke masa depan”.

Kita tak usah malu belajar dari luar negeri. Seoul dulu hancur karena perang, sekarang jadi kota digital. Singapura dulunya penuh rawa, sekarang jadi kiblat tata ruang Asia. Mereka punya satu kunci, yakni perencanaan berbasis data dan kerja sama semua pihak.

Lihat saja kawasan Cheonggyecheon di Seoul. Sungai yang dulu kotor dan disemen kini dibuka kembali, jadi taman kota yang menyegarkan dan mendongkrak ekonomi lokal. Persis seperti Musi yang menanti disulap dari tempat buang popok jadi tempat liburan yang menyejukkan mata.

Kalau boleh sedikit menyentil, kota ini jangan cuma bagus di presentasi. Jangan sampai Palembang hanya indah di peta, tapi aslinya jalan bolong, sungai bau, dan ruang publik jadi parkiran liar. “Visi besar” tak boleh berhenti di spanduk, harus nyata,  harus hidup dalam trotoar, halte, taman, dan rumah warga.

Nelson Mandela pernah bilang, “It always seems impossible until it’s done”. [“Segalanya selalu tampak mustahil sampai akhirnya berhasil dilakukan”].  Jadi kalau revitalisasi Musi dan transformasi TOD Palembang terasa berat sekarang, percayalah, semua kota besar di dunia juga pernah merasa tak mungkin, sampai mereka mulai melangkah.

Palembang punya potensi emas, tinggal diasah dengan kemauan kolektif. OECD sudah datang, peluang sudah di depan mata. Jangan sampai kita jadi kota yang hanya ramai saat festival, tapi sepi inovasi saat hari kerja.

Membangun Kota Palembang  bukan untuk gaya-gayaan, tapi agar anak cucu nanti bisa bilang, “Kakek-nenek kita dulu hebat, bisa bangun kota yang manusiawi”.  Bukan sebaliknya “Lho, kok trotoarnya masih kayak zaman kolonial, Kek?”.

Sungai Musi menunggu untuk jadi sungai peradaban. Palembang menanti untuk naik panggung dunia. Ayo bergerak, jangan cuma nonton!.[***]

Terpopuler

To Top