Kebijakan

Over Kapasitas Lapas Palembang, “Ketika Sel Penjara Jadi Kontrakan Anak Kos Tanggal Tua”

ist

DI KOTA Palembang, ada satu tempat yang selalu penuh, padat, dan tidak pernah sepi penghuni, bahkan lebih sibuk daripada kos-kosan dekat kampus saat tanggal tua, yakni Lapas Palembang. Tempat ini memang dirancang untuk menampung 500 orang, tapi sekarang? Diisi lebih dari 1.500 narapidana.

Kalau ini ibarat angkot, udah nggak ada lagi yang duduk di jok, semua berdiri, pegangan di pintu, satu kaki di luar, satu kaki di dalam, dan abang sopir tetap teriak, “Masih muat!”.

Ya, over kapasitas bukan lagi masalah teknis, tapi sudah masuk kategori darurat sosial. Bayangkan satu sel yang harusnya buat enam orang, sekarang diisi dua belas. Ini bukan pembinaan, tapi festival peluh, dengkuran, dan rebutan bantal yang sudah kayak kain lap.

Penjara mestinya jadi tempat pembinaan, bukan gudang penyimpanan. Tapi dengan jumlah yang melebihi kapasitas 200%, yang terjadi adalah napas sempit, pikiran ruwet, dan kelakuan makin buntet.

Kepala Lapas, Pak M. Pithra Jaya Saragih, jujur bicara “Satu kamar harusnya untuk 6, sekarang 12 orang. Udah kayak barak tentara zaman perang, cuma tanpa senjata dan tanpa jatah susu kaleng”.

Lalu muncul solusi-solusi klasik  remisi, pembebasan bersyarat, redistribusi napi ke daerah lain. Tapi semua itu ibarat menguras kolam pakai sedotan lama, pegal, dan air tetap tergenang.

Siapa yang Salah? Napi? Negara? Atau Kita yang Suka Ngegas di TikTok?, ini pertanyaannya sebenarnya! tapi tak perlu menyalahkan,  sama -sama kita intropeksi, ini bukan cuma soal “banyak orang jahat”, tapi juga tentang sistem hukum dan sosial yang gagap melihat akar masalah. 60% penghuni Lapas Palembang adalah kasus narkotika, dan mayoritas adalah pemakai. Lah, ini mah kayaknya  kita salah ngurung yang kecanduan dimasukkan ke sel?, bukan rehab?.

Pepatah lama bilang “Kalau banyak orang masuk penjara, karena hal yang sama, jangan-jangan hukumnya yang perlu direvisi, bukan orangnya yang dipenjara ?”

Negara ini terlalu rajin bikin pasal, tapi malas mikirin dampak jangka panjangnya. Ketika pengguna narkoba harusnya direhabilitasi, mereka malah dijebloskan ke tempat sempit bersama para kriminal kelas berat. Hasilnya? Yang awalnya cuma iseng-iseng, pulang jadi lulusan S3 kriminal.

Wakil Wali Kota Palembang, Pak Prima Salam, sudah menyatakan komitmen untuk membantu program pembinaan napi. Bagus! Tapi harapannya bukan sekadar ngisi berita dan potret serah terima plakat. Kita butuh program konkrit, bukan brosur penuh jargon.

Mari kita jujur, program pembinaan seperti pelatihan keterampilan menjahit, las, cukur rambut, pertukangan, montir [kalau ada] hingga pengolahan hasil bumi sudah ada di banyak lapas, termasuk di Palembang. Bahkan beberapa narapidana juga ikut kegiatan produktif, seperti membuat meubel, kerajinan tangan, dan kuliner. Negara tidak diam.

Namun … program itu seringkali hanya bisa dinikmati sebagian kecil napi, karena terbatasnya ruang, peralatan, mentor, dan… ya itu tadi over kapasitas yang bikin Lapas lebih mirip stadion bola saat final AFF.

Ibarat kursus komputer gratis, tapi cuma punya dua CPU, sementara muridnya 60 orang, bergiliran tiap Kamis sore. Alhasil, semangatnya mulia, tapi dampaknya minimal.

Pihak ketiga

Ada pula program kerja sama dengan pihak ketiga, UMKM atau BLK (Balai Latihan Kerja), tapi itu pun masih seremonial dan terbatas. Napi yang aktif berkarya pun kadang tak mendapat dukungan lanjutan saat bebas. Skill-nya ada, tapi pas keluar ya bengong lagi, karena nggak ada jembatan ke dunia kerja yang nyata.

Padahal, kalau pembinaan ini diseriusi dengan pendekatan lintas sektor  melibatkan pemkot, komunitas usaha, BUMD, dan bahkan platform digital  bukan tak mungkin lahir alumni Lapas yang buka usaha barbershop, jadi barista, atau bahkan nulis buku berjudul “Dari Jeruji ke Jajanan Viral”.

“Beri napas untuk para napi yang memang mau berubah. Kasih mereka alat, bukan hanya aturan”.

Tapi jangan kasih alat setengah-setengah. Jangan cuma ada pelatihan menjahit, tapi kainnya nggak ada. Jangan bikin workshop hidroponik, tapi cuma panen saat ada kunjungan wartawan. Dan jangan biarkan napi yang produktif malah dicibir seperti anak pinter di kelas IPS yang disuruh diem karena bikin yang lain minder.

Nah, supaya kita tidak merasa sendiri di dunia pernapasan pendek ini, mari kita tengok beberapa kota dan negara yang sudah duluan membuktikan bahwa pembinaan napi bisa benar-benar jalan, bukan sekadar judul proposal, seperti Halden, Norwegia, lapas ini dijuluki sebagai penjara “ternyaman di dunia”. Tiap napi punya kamar sendiri, lengkap dengan kamar mandi, meja kerja, bahkan jendela besar menghadap alam. Bukan buat manja-manjaan, tapi supaya mental napi dipulihkan dengan martabat.

Mereka punya studio musik, pelatihan kayu, dan dapur profesional. Begitu bebas, mereka udah siap kerja, bukan siap balas dendam.

Lapas Wanita Sukun, Malang, lapas ini membina para warga binaan dengan pelatihan salon, membatik, dan bahkan pelatihan membuat hantaran pengantin. Nggak main-main, hasil batik dan produk mereka dijual secara online. Bahkan beberapa mantan napi sekarang punya usaha sendiri, dari tahanan jadi juragan, bro.

Penjara Bijlmerbajes, Belanda (sekarang ditutup tapi jadi rujukan), dulu dikenal sebagai penjara progresif. Napi dilatih pertanian urban, seni rupa, dan bahkan bikin komunitas membaca. Setelah ditutup, tempatnya malah dijadikan kompleks seni dan edukasi , bukti bahwa sistem itu bisa menyembuhkan, bukan sekadar menghukum.

Bureau of Jail Management, Cebu City, Filipina,  penjara ini terkenal, karena para napi menari massal sebagai bagian dari program psikososial. Tapi bukan cuma itu, mereka juga dilatih menjahit, membuat handicraft, dan menjual hasilnya ke luar.
Uniknya, mereka membentuk koperasi napi yang mengatur keuangan secara mandiri, jadi pembinaan nggak cuma soal keterampilan, tapi juga kemandirian dan tanggung jawab.

Nah, empat contoh itu bukan dongeng. Mereka jalan karena ada niat politik, kolaborasi lintas sektor, dan sistem yang dibenahi. Artinya, kalau Lapas Palembang mau meniru, bukan mustahil. Asal jangan cuma benchmarking lalu pulang bawa totebag seminar.

“Kalau yang jauh bisa bikin napi jadi pengrajin sukses, masa kita di sini cuma bisa bikin napi rebutan tikar tidur?”

Pembinaan itu memang tak gampang membalikan telapak tangan, dan  bukan wacana baru, tapi pelaksanaannya harus baru dan serius. Bukan hanya dijalankan sebagai penggugur laporan tahunan, tapi menjadi jalan nyata reintegrasi sosial.

Bayangkan, jika satu dari 1.500 napi Lapas Palembang keluar, buka usaha kecil, lalu merekrut dua orang lainnya,  bisa mantan napi juga, atau pemuda pengangguran di kampungnya. Dalam lima tahun, satu sel bisa melahirkan sepuluh peluang kerja.

Itulah rehabilitasi sosial yang sesungguhnya, dan itu hanya bisa terjadi kalau sistemnya diberi ruang, napinya diberi kesempatan, dan kita semua berhenti menghakimi sebelum mereka sempat membuktikan diri.

Pepatah Anak Kos “Bukan soal banyaknya orang dalam satu kamar, tapi bagaimana kamar itu tetap bisa bikin orang berubah jadi lebih baik. Tapi kalau bahkan kipas angin pun rebutan, ya jangan salahkan kalau yang keluar justru jadi makin gerah”.

Yuk, sekali lagi  dukung pembinaan yang manusiawi dan solusi hukum yang adil, karena kalau terus begini, Lapas akan terus seperti kontrakan anak kos tanggal tua sempit, panas, pengap, dan penuh orang yang berharap bisa cepat keluar.[***]

Terpopuler

To Top