DESA Rantau Panjang, jalan utama mendadak berubah nasib jadi korban PHK oleh alam. Belum sempat pamit, dia amblas begitu saja, seperti cinta sepihak yang digerus waktu dan derasnya air mata… eh, air sungai maksudnya.
Sabtu pagi itu, warga Dusun 5 masih santai ngopi dan ngerumpi, ketika suara “krek-krek-kresek” seperti kertas kontrak rumah tangga yang diremas-remas, terdengar dari arah tebing sungai. Tahu-tahu, jalan utama desa yang sudah bertahun-tahun jadi saksi bisu motor bebek lewat dengan muatan cabai dan anak sekolah bau minyak rambut lenyap ditelan longsor. Amblas total. Kayak harapan mantan yang disia-siakan tapi masih berharap balik.
Mendengar kabar itu, Tim BPBD Muba langsung pakai mode “turbo” belum sempat makan sore, sudah ngacir ke lokasi jam lima petang.
Kepala BPBD, H Pathi Riduan, datang tak hanya dengan rombongan tapi juga dengan ketegasan. Dalam bahasa sederhana “Ini jalan harus diselamatkan sebelum rumah ikut disedot gravitasi”
Dan memang benar, longsoran itu bukan kaleng-kaleng. Di lokasi pertama, tanah ngambek sepanjang 30 meter dengan ketinggian 8 meter. Letaknya cuma selemparan sandal dari rumah warga. Di titik kedua, tanahnya lebih pendek cuma 8 meter panjangnya, tapi lebih nekat tinggal sedipan ember dari rumah yang ada.
Perumpamaannya begini, jika tanah itu manusia, maka dia adalah tetangga yang sudah mulai duduk-duduk di pagar rumah kita sambil ngeteh. Bahaya!
Tindakan pertama dari tim gabungan adalah… taraa!… tali rapiah. Iya, betul, tali yang biasa dipakai buat ngiket kardus saat pindahan atau buat nyambung gayung yang patah. Tapi jangan salah, di tangan tim BPBD dan warga, tali rapiah itu jadi alat pengaman darurat pengingat bahwa ada bahaya mengintai.
Kita mungkin bisa ketawa dulu sebentar. Tapi di balik semua itu, ada pesan kuat di tengah keterbatasan, masyarakat dan pemerintah bisa langsung bertindak.
Pepatah bilang, “Jangan tunggu kapal karam baru cari pelampung” Nah, BPBD tidak menunggu. Mereka langsung ukur, data, dan himbau. Bahkan tali pun bisa jadi perisai.
Yang menarik, di tengah bencana ini, kita menyaksikan kolaborasi yang nyata. Tak ada drama rebutan mikrofon, tak ada lomba siapa yang paling dulu update status.
Bupati Muba, H M Toha, tak hanya menyampaikan apresiasi, tapi juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor. Karena memang, bencana itu tak bisa ditangani dengan selfie dan stiker bantuan saja. Ini butuh kerja tim, bukan kerja timelapse.
Pepatah zaman dulu bilang, “Sekuat-kuatnya pohon jati, kalau akarnya keropos, rebah juga”, maka masyarakat, pemerintah desa, kecamatan, hingga BPBD harus satu akar. Kalau enggak, bisa-bisa bukan cuma jalan yang amblas, tapi juga rasa gotong royongnya.
Di desa, ketika hujan turun, banyak ibu-ibu mengangkat jemuran. Sekarang, mereka juga harus mengangkat kewaspadaan. Karena tanah yang lapar itu bisa makan habis teras rumah kalau dibiarkan.
Bayangkan longsor ini seperti mantan yang belum move on, terus bergeser pelan tapi pasti. Dan jika tidak diantisipasi, bisa jadi ikut menyeret hubungan harmonis antara rumah dan pondasi.
Tapi syukurlah, warga Rantau Panjang ini tidak mudah panik. Mereka tahu kapan harus tertawa dan kapan harus waspada. Tali rapiah boleh seadanya, tapi semangat mereka tetap luar biasa.
Cerita longsor di Rantau Panjang ini bukan sekadar kabar jalan putus. Ini adalah pengingat bahwa alam punya cara protesnya sendiri, dan kita harus peka.
Tidak cukup dengan proyek pembangunan yang megah, tapi juga butuh perawatan yang berkala. Tidak cukup dengan spanduk peringatan, tapi juga butuh telinga yang mendengar keluhan tanah.
Mari kita jaga tanah sebelum ia kecewa dan memilih menghilang, dan untuk tali rapiah, selamat! Hari ini engkau naik pangkat jadi penjaga keselamatan warga. Siapa tahu nanti masuk anggaran resmi sebagai Alat Perlindungan Darurat Nasional. Karena seperti kata pepatah versi dusun “Daripada jalan hilang, lebih baik kita tarik garis dulu”.[***]