OKI Terkini

Purun, Tari & Pedamaran yang Tak Pernah Luntur

ist

SEANDAINYA ada lomba ngejual budaya pake gaya santai, boleh –lah Kabupaten OKI masuk final, bayangin, mereka tampil di Festival Seni Tradisi Sumsel 2025 di Taman Mini, bukan cuma pakai kemeja batik dan bros pin emas di dada, tapi bawa satu cerita budaya yang dironce apik lewat tarian Tari Berambak Purun.

Iya, berambak purun, bukan berambisi purun, apalagi berantem purun.

Tarian ini bukan cuma soal gerak pinggul dan langkah kaki, tapi semacam video dokumenter dalam bentuk tari dari mendayung di rawa, metik purun, dijemur, ditumbuk, dipilah-pilah sampai dianyam.

Ini baru namanya seni sekaligus tutorial kerajinan tangan ala Pedamaran, kalau YouTuber zaman sekarang butuh tripod dan lighting, masyarakat OKI cukup tarian buat ngejelasin proses produksi tikar!

Tari ini juga menyelipkan momen muda-mudi Pedamaran yang bahagia saat menganyam purun. Bahagia yang bukan karena dapat kuota gratis atau diskon Shopee, tapi karena cinta budaya itu masih ada. Ini bukti bahwa “di mana tanah dipijak, di situ purun diayak.”

Lantas apa istimewanya?. Tarian ini menyiratkan akulturasi budaya Melayu dan Komering, yang dalam gerak gemulainya, kayak ngomong “Ngga perlu rebutan warisan budaya, yang penting kita bisa nari bareng”. Kalau semua suku bisa semesra ini, barangkali DPR pun bakal ikut menari ketimbang saling banting mikrofon.

Acara ini digelar di TMII Jakarta. Iya, Jakarta, bukan di simpang empat Kayuagung. Ini penting, karena budaya yang biasanya hanya “nangkring” di acara tujuhbelasan RT, sekarang tampil di panggung nasional. Mungkin besok-besok, bisa sampai Paris atau Tokyo. Atau minimal live TikTok sama followers luar negeri.

Wakil Gubernur Sumsel, Cik Ujang, juga ikut semangat, katanya, “Anjungan Sumsel ini bukan sekadar bangunan, tapi simbol kerinduan dan identitas”. Nah loh, kalimat ini cocok dijadikan caption foto waktu kita berdiri di depan rumah adat sambil megang pempek.

Katanya lagi, budaya tak perlu acara mewah asal kamu rela pakai songket ke kondangan atau bikin sambal tempoyak di arisan, itu sudah bentuk cinta.

Benar juga sih, karena cinta sejati bukan soal besar kecilnya acara, tapi seberapa tulus kita menjaga warisan yang ada.

Ketua Dekranasda OKI, Ike Muchendi, juga angkat suara, ia bilang, kegiatan ini bukan sekadar hiburan, tapi edukasi hidup. Iya, edukasi hidup.

Karena kalau budaya cuma disimpan dalam etalase museum, lama-lama bisa berdebu kayak rapor zaman SMP. Harusnya budaya itu dipake, dipentaskan, dipromosikan, bahkan kalau perlu, dijadikan konten TikTok—asal jangan pakai backsound dangdut remix.

Dari semua ini kita bisa belajar bahwa Kabupaten OKI nggak cuma bisa bikin purun jadi tikar, tapi juga bisa bikin budaya jadi magnet ekonomi, setiap kabupaten/kota di Sumsel ikut serius memoles budayanya, seperti Lahat bisa tampilkan “Tari Ngibing Kopi” sambil ngebubuk arabika, Musi Rawas bikin “Drama Musi Air Keluak”. Empat Lawang bisa bikin “Festival Tapai Gunung” dan sebagainya.

Intinya, budaya itu kayak sumur tua di pekarangan rumah kelihatan sepele, tapi bisa jadi sumber kehidupan kalau terus dirawat. Jangan sampai anak-anak kita nanti tahunya cuma tentang K-pop dan Naruto, tapi gak bisa bedain antara purun dan pandan.

Melestarikan budaya itu bukan soal seremoni, tapi soal keberanian untuk tetap berbeda di tengah gempuran modernisasi. Kabupaten OKI sudah melangkah. sekarang giliran daerah lain karena seperti pepatah lama bilang, “kalau tidak tahu asal-usul, maka hidup pun mudah disulap jadi absurd”, kalau bisa menari sambil menganyam purun, kenapa harus menari di atas meja karaoke?.[***]/dra

Terpopuler

To Top