MASA lalu, Masjid Istiqlal itu kayak terminal pensiun penuh wajah-wajah sepuh yang sudah khatam semua jenis doa, dari doa masuk WC sampai doa naik haji. Yang muda? Entah di mana, mungkin sedang bertapa di kafe kopi sambil meratapi follower yang stagnan.
Tapi suasana itu berubah drastis saat “Peaceful Muharam” digelar. Edisi tahun ini, masjid terbesar di Asia Tenggara itu bukan cuma penuh, tapi full of vibes. Gen-Z menyerbu Istiqlal bukan buat konten TikTok semata, tapi beneran hadir ikut bersalawat, ikut tabarruk, dan plot twist serta ikut mikirin masa depan bangsa.
Menteri Agama, Prof. Nasaruddin Umar, pun tak bisa menyembunyikan senyum syahdunya. “Beberapa waktu lalu, Istiqlal hanya dipenuhi pensiunan menanti kematian. Namun kini, diisi oleh calon-calon penghuni surga lebih awal (pemuda),” ujar beliau, yang kalau ngomong bisa bikin kita merasa berdosa sekaligus bangga dalam waktu bersamaan.
Gen-Z ini memang unik, di satu sisi bisa hapal lirik lagu Korea sampai 3 bait, tapi di sisi lain juga mulai rajin baca tafsir Al-Quran via tablet.
Dalam tausiyahnya, Menag mengingatkan syarat utama menjadi pemimpin bukan soal pinter kayak Einstein, tapi harus kuat (al-qawwiyu) dan terpercaya (al-amin).
“Orang yang amanah itu pasti aman, karena mereka adalah orang yang beriman,” jelasnya, jadi bukan cuma punya IQ tinggi, tapi juga hati yang nggak gampang tergoda endorse bodong.
Menariknya, dalam sesi tanya jawab, ada siswa dari MAN 19 Jakarta Selatan, Surya Airlangga, yang bertanya, “Pak, gimana cara menjaga keseimbangan antara intelektual dan spiritual Gen-Z?”
Menag langsung mengeluarkan jurus pamungkas “Innaa ‘amalun binniyyah”, kalau mau hidup terang benderang, ciptakan algoritma hidup dan sosial media yang juga terang. Kalau terbiasa gelap, ya algoritmanya ikut gelap”.
Nah loh. Ini bukan cuma tausiyah, ini life coaching.
Analoginya begini, kalau tiap malam yang kita klik cuma konten prank settingan atau gosip seleb yang lebih banyak drama daripada sinetron kolosal, jangan salahkan algoritma kalau hidup ikut-ikutan drama. Tapi kalau feed kita dipenuhi ceramah, ilmu, dan kebaikan, lama-lama hati kita juga auto berfilter toxic ditolak, positif diserap.
Acara Peaceful Muharam ini juga makin meriah dengan kehadiran para tokoh nyentrik tapi adem Gus Romzy yang khas dengan logika jenakanya, Koh Dennis Lim yang jernih dan menyejukkan, serta Mbak Angelina Sondakh yang kisah hijrahnya bisa jadi sinetron 700 episode tapi tetap inspiratif.
Para Gen-Z ini bukan sekadar datang buat selfie, mereka belajar, mendengar, dan yang lebih penting mereka tersentuh. Ada yang diam-diam nangis pas dengar kisah hijrah, ada yang langsung download aplikasi Al-Qur’an digital setelah acara, bahkan ada yang pulang-pulang langsung hapus akun toxic dan ganti nama IG jadi @calon_pemimpin_surga.
Inilah masa depan yang kita harapkan, generasi yang nggak cuma paham algoritma, tapi juga ngerti arah kiblat. Yang followers-nya banyak, tapi tetap nurut sama imam salat. Yang bisa ngetik cepat 10 jari, tapi tak lupa berdoa dengan dua tangan.
Hidup itu ibarat naik motor malam hari. Lampunya boleh terang, tapi kalau nggak tahu arah, ya muter-muter doang sampai pagi. Oleh karena itu, pencerahan seperti Peaceful Muharam bukan sekadar acara seremonial, tapi semacam GPS spiritual buat anak muda kita.
Biar generasi ini bukan cuma jadi content creator, tapi juga character builder, karena di dunia ini banyak orang pintar, tapi belum tentu kuat dan amanah. Dan seperti kata pepatah kocak ala masjid, “Lebih baik followers dikit tapi jujur, daripada viral tapi bikin malu ibu guru”.
Selamat tahun baru Islam. Mari hijrah, bukan cuma gaya, tapi juga makna.[***]