JAKARTA belum sempat merapikan rambut awannya, eh, tiba-tiba ribuan orang sudah berdatangan ke Jakarta International Convention Center (JICC), mereka bukan hendak rebutan diskon baju olahraga atau antri bubur ayam gratis, tapi ada misi lebih dahsyat menyelamatkan bumi. Iya, katanya planet kita yang saban hari digencet plastik sekali pakai, disedot napasnya oleh knalpot, dan dicuekin oleh mereka yang lebih percaya pada AC daripada angin semilir.
Kementerian Lingkungan Hidup bersama BPLH menggelar Fun Walk sebagai pembuka Pameran Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025, tapi jangan terkecoh sama kata “fun”, karena sesungguhnya ini bukan jalan-jalan biasa, ini kayak long march ala pejuang, tapi versi milenial yang bawa poster, botol minum isi ulang, dan niat tulus untuk bikin langit kembali biru, bukan abu-abu campur sesak dada.
Dengan tema #HentikanPolusiPlastik dan slogan fight against polluters, acara ini bukan cuma ajang olahraga, tapi deklarasi gaya hidup. Kalau dulu kita bangga pakai sedotan warna-warni, sekarang tren-nya berubah bawa sedotan stainless, refill botol minum, dan marah-marah kalau lihat orang buang plastik sembarangan.
Nah, di tengah gegap gempita acara, muncullah tiga sosok perempuan tangguh dari komunitas Women Endurance Extra (WEE). Mereka ini bukan datang dari Bekasi naik Commuter Line, tapi gowes dari Bali ke Jakarta! Serius. Dari Bali, bukan pakai motor, bukan pula numpang truk ekspedisi, tapi naik sepeda, saudara-saudara!.
Selama perjalanan, mereka tidak hanya mengayuh pedal dan menghindari lubang jalanan, tapi juga singgah di kota-kota untuk mengedukasi masyarakat soal bahaya polusi plastik dan pentingnya hidup sehat. Mereka seperti kurir pesan lingkungan bedanya, paket yang mereka bawa adalah harapan, bukan CODan dari e-commerce.
“Kami bukan sekadar bersepeda,” kata Mbak Trilara, pendiri WEE, dengan suara yang bikin poster kampanye ikut berdiri tegak. “Kami membawa pesan penting hentikan polusi plastik, lawan pencemar, dan rebut kembali langit biru Indonesia”. Kalimat yang bikin mewek sambil senyum, seperti nonton drama Korea tapi versinya penuh keringat dan debu jalanan.
Menteri KLH, Pak Hanif Faisol Nurofiq, hadir langsung menyambut dan mengapresiasi perjuangan ini. Tapi jujur saja, kita perlu lebih dari sekadar sambutan dan pidato berbunga-bunga, karena polusi nggak bisa diatasi pakai tepuk tangan. Dia perlu dilawan dari semua sisi dari kebijakan, dari industri, dari rumah tangga, sampai dari tukang cilok yang sebaiknya berhenti pakai plastik kresek dua lapis.
Kita terlalu lama menunggu perubahan datang dari kantor ber-AC, padahal bisa jadi revolusi dimulai dari garasi tempat kita simpan sepeda dan niat baru untuk lebih ramah lingkungan. Coba bayangkan bumi ini seperti rumah kontrakan. Kalau plastik berserakan, udara sesak, dan air menghitam, maka kita bukan lagi penyewa yang baik. Kita jadi penghuni kos yang malas nyapu, nyiram, dan buang sampah sembarangan. Dan nanti, saat kontraknya habis, bumi nggak akan kasih rekomendasi buat pindah ke planet lain.
Atau bayangkan bumi ini seperti nenek tua yang saban hari dijewer, dicubit, ditarik rambutnya pakai asap pabrik dan plastik sachet. Lama-lama dia bukan hanya marah, tapi bisa pensiun total. Mati lampu massal, gagal panen, banjir dadakan, dan cuaca yang makin moody dari mantan pacar.
Mulailah dari hal remeh temeh yang sering kita anggap sepele ganti kantong plastik jadi tas belanja lipat, jangan tunggu ada hadiah dari minimarket baru mau dipakai, kurangi pesanan makanan online yang dibungkus, seperti kado ulang tahun dari toko plastik, berjalan kaki kalau cuma ke warung, bukan naik motor 10 meter sambil pakai helm Batman, serab yang paling penting tegur dengan sopan, tapi galak orang yang buang sampah sembarangan, kalau perlu kasih flyer bertuliskan “Bumi bukan tempat latihan lempar”.
Aksi penyelamatan lingkungan itu kayak diet awalnya niat, tengahnya godaan, akhirnya keberhasilan, kalau konsisten. Fun Walk serta kayuhan emak-emak pejuang tadi menunjukkan satu hal penting bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil, dari kaki, dari pedal, dari botol minum, dari sepucuk niat baik yang tidak dibungkus plastik.
Jadi kalau Anda membaca ini sambil nyeduh kopi dengan sedotan plastik, tolong… istighfar dulu, karena bumi ini udah terlalu lelah jadi tempat pembuangan kebiasaan jelek manusia. Yuk, rebut kembali langit biru, bukan dengan teriak-teriak di media sosial, tapi dengan aksi nyata. Satu langkah dan satu kayuhan bisa lebih lantang daripada seribu status tentang “save the planet”, tapi bungkus snack-nya dilempar ke got. Langit biru menunggu kita..[***]