Uncategorized

Transformasi Pendidikan

foto : ilustrasi

“Lain Lubuk Lain Ikannya”

MASIH ingatkah kalian dengan pepatah di atas? Jika kita analogikan pada bidang kependudukan, pepatah itu bisa di satir mungkin seperti “Lain generasi lain inovasinya”. Tahun berapakah kalian tamat SMA? Pasti jawabannya berbeda-beda. Tapi jika ditanya seperti apakah sistem pendidikan di sekolah?

Kemungkinan sebagian besar akan menjawab sama, dan bahkan ada sebagian generasi lama yang menuntut sistem pendidikan sama seperti pada masa mereka, karena dianggap baik dan berhasil. Ya, Lembaga pendidikan ibarat “katak dalam tempurung”.

Monoton, kaku dan sulit menerima perubahan. Coba kita ingat-ingat bagaimana sistem pendidikan di sekolah. Peserta didik masuk kelas, duduk rapi, mendengarkan guru menjelaskan atau kadang diskusi, peserta didik tidak boleh lihat HP atau bahkan membawa HP ke sekolah. Yang parahnya, masih ada guru yang meminta siswanya untukmencatat materi namun tidak disertai penjelasan. Hanya sebagai alat menghabiskan waktu jam pelajaran atau karena gurunya tidak menguasai materi pelajaran.

Lihatlah betapa membosankannya iklim belajar di sekolah. Wajar saja, jika ada guru yang tidak masuk ke kelas karena sakit atau apalah. Peserta didik akan merasa riang dan gembira bahkan berteriak keras, seolah terbebas dari segala macam praktek penjajahan belajar. Dalam bukunya yang berjudul “Disruption”, Rhenald Kasali (2017) mengungkapkan bahwa saat ini telah terjadi kekacauan besar dalam kehidupan manusia yang disebabkan oleh penggunaan teknologi. Sebuah inovasi yang berbasis teknologi telah mampu mengubah sistem lama ke cara-cara baru. Inilah bentuk kekacauannya. Dulu orang berpikir bahwa untuk membeli suatu barang, harus berjalan ke luar rumah, naek angkot, masuk toko, lalu pilih barang dan bayar. Mau pergi ke sekolah cari ojek harus jalan dulu dekat pangkalan, tapi sekarang dunia sudah berubah. Orang dapat memesan makanan, membeli pakaian, dan pesan ojek hanya bermodalkan smartphone dan gerakan jari. Pemesanan dapat dilakukan dimana saja, di kamar, ruang tamu, kantor, bahkan di toilet. Toko-toko yang menganut paham lama, yang belum mengerti apa yang terjadi masih setia menunggu para pembeli untuk datang, namun yang terjadi pengunjung malah semakin sepi. Itulah disruption.

Parahnya disruption tidak hanya terjadi pada aktivitas ekonomi, namun sudah mewabah menjadi gaya hidup, khususnya pada para generasi milinial. Oleh karena itu lembaga-lembaga penyedia barang dan jasa juga harus beradaptasi dengan perubahan ini. Inilah yang Rhenald Kasali (2018) tulis dalam buku selanjutnya yang berjudul “The Great Shifting” atau perubahan besar-besaran. Perubahanan harus dilakukan pada setiap lini kehidupan, berubah tidak mesti harus menghilangkan cara-cara lama, namun dapat juga dilakukan dengan cara mengkombinasikan cara-cara baru dengan cara-cara lama. Contoh untuk menjual pakaian atau makanan selain kita lakukan dengan cara membuka toko/warung konvensional (offline), kita juga dapat memulai memasarkan produk tersebut melalui media online seperti facebook, Instagram, dan lain-lain.

Kembali ke sekolah, artinya saat ini peserta didik telah berada pada zaman yang berbeda. Era disruption, oleh karena itu, lembaga pendidikan harus melakukan the great shifting. Komponen sekolah tidak harus melarang peserta didik membawa HP, tapi mengelola bagaimana supaya HP dapat digunakan untuk media belajar yang menyenangkan. Bukankah sudah banyak sekolah yang memiliki jaringan wifi sendiri, maka dari itu manfaatkan teknologi baru tersebut untuk mendukung pembelajaran. Untuk melakukan the great shifting, ada beberapa hal yang harus di transformasi dalam diri pendidik.

Integration dan Reflection

Seorang pendidik saat ini bukan lagi bertugas untuk mentransfer informasi. Karena informasi dapat didapatkan dari mana pun. Teknologi telah membuat akses terhadap informasi begitu cepat dan luas. Tugas pendidik telah bergeser menjadi integration dan reflection. Bagaimana seorang pendidik dapat membuat peserta didik untuk mengeksplor semua informasi yang relevan dengan materi yang diajarkan lalu menyatukannya dalam sebuah konsep yang benar, lalu kemudian melakukan refleksi terhadap apa makna dan maksud dari informasi itu serta manfaat apa yang dapat dipetik dan diambil pelajarannya. Bayangkan ketika peserta didik menemukan begitu banyak informasi yang berbeda-beda, yang dekat dengan kehidupan nyata, lalu seorang pendidik dapat memberikan pemahaman bahwa yang tersimpan dalam informasi tersebut adalah A.

Dinamis

Menjadi seorang pendidik harus bersifat dinamis, ilmu pengetahuan berkembang begitu cepat. Oleh karena itu, pendidik diharuskan tidak berhenti belajar dan melakukan inovasi baru baik dalam hal metode, penyajian materi, penugasan dan lain sebagainya. Lembaga sekolah harus memfasilitasi guru dan peserta didik untuk dapat mengakses penggunaan teknologi dalam mendukung proses pembelajaran. Sebagai contoh, dalam hal pengelolaan kegiatan pembelajaran berbasis teknologi. Guru dapat mengakses berbagai sistem pembelajaran e-learning, sehingga proses pembelajaran dapat dilakukan melalui suatu sistem, baik penyampaian materi tambahan, penugasan, penilaian dan lain-lain.

Dua poin di atas merupakan hal penting yang harus dilakukan untuk mulai melakukan the great shifting dalam bidang pendidikan. Langkah selanjutnya tentunya dapat dilakukan secara perlahan namun berkelanjutan. Saya membayangkan pendidikan di masa yang akan datang dapat dinikmati oleh semua orang baik orang miskin, para pekerja, dan orang-orang yang di tempat terpencil. Kuncinya ada pada teknologi. Lembaga pendidikan dapat membuat suatu platform yang membuat semua orang dapat mengakses fasilitas belajar dengan baik. Pertemuan tatap muka dapat diganti dengan system record atau video call. Peserta didik pun dapat memilih mata pelajaran mana yang mereka senangi dan siapa yang akan menjadi tutornya. Di sinilah titik puncaknya, hukum seleksi alam akan berlaku, dulu orang yang kuat akan menang. Namun dengan teknologi orang yang berkompeten akan menang. Pendidik yang memiliki ilmu yang baik dan mumpuni pasti akan banyak dipilih. Inilah tuntutan positifnya pendidik memang memiliki tugas yang berat karena harus memanusiakan manusia. Mau tidak mau, kita semakin mendekati era ini. Jika kita tidak mulai dari sekarang, maka pendidik bisa saja berasal dari negeri seberang.[**]

 

Penulis  : Armansyah

Dosen dan Peneliti Bidang Pendidikan dan Kependudukan 

Universitas PGRI Palembang

 

 

 

 

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com