PEMILIHAN umum merupakan salah satu bentuk implementasi dari nilai-nilai demokrasi. Pada proses penyelenggaraannya, terdapat banyak sekali fenomena-fenomena politik yang ditemukan di indonesia. Salah satu fenomena yang sering kali muncul pada masa pemilu adalah praktik money politics atau politik uang.
Mulai dari pemilihan presiden dan wakil presiden, kepala daerah, bahkan sampai pada tingkat desa sekalipun tidak pernah lepas dengan fenomena yang satu ini. Dalam bahasa Indonesia money politics memiliki arti suap atau uang sogok (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Selain itu, politik uang juga bisa diartikan sebagai pertukaran uang dengan posisi/kebijakan/keputusan politik yang mengatasnamakan kepentingan rakyat tetapi sesungguhnya demi kepentingan pribadi/kelompok/partai.
Selanjutnya, menurut Tjahyo Kumolo, politik uang adalah suatu upaya memengaruhi orang lain (masyarakat) dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual-beli suara pada proses politik dan kekuasaan serta tindakan membagi-bagikan uang, baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih.
Money politics atau Politik Uang seakan menjadi hal yang harus dilakukan oleh seorang kontestan politik. Bahkan hal tersebut dianggap sebagai salah satu jurus jitu bagi mereka yang ingin berkuasa. Sebagian besar dari kita, jelas menganggap praktik money politics merupakan sebuah pelanggaran dalam proses pemilu. Maraknya pelanggaran money politics ini dapat tercermin dari data pelanggaran yang terjadi dari tahun-tahun penyelenggaraan pemilu terutama pemilihan kepala daerah. Data Bawaslu menunjukkan bahwa pelanggaran ini bisa terjadi sejak sebelum pencalonan, pencalonan, masa kampanye, masa tenang, pemungutan suara, hingga rekapitulasi.
Pada saat kampanye, terjadi politik uang di 21 kabupaten pada 10 provinsi. Saat masa tenang, sebanyak 311 kasus money politics di 25 Kab/kota pada 16 provinsi. Saat pemilihan, terjadi 90 kasus money politics di 22 kabupaten pada 12 provinsi (cendekiaminang.com/23/01/2018). Sedangkan data Bawaslu saat Pemilihan serentak 2017, sebanyak 600 temuan politik uang. Temuan tersebut terjadi di 101 daerah yang menggelar pemilihan (Kompas.com/14/02/2017 ). Bahkan dari data pada Pemilu 2019 yang baru saja dilaksanakan, Bawaslu menyebutkan per 28 Mei 2019 telah terjadi 15.052 data pelanggaran dalam Pemilu 2019, dimana 533 di antaranya adalah pelanggaran jenis pidana pemilu (cnnindonesia.com/28/05/2019). Selanjutnya sesuai data per 20 Mei 2019, dari total 7.598 kasus yang diproses terdapat 24 kasus pidana politik uang yang telah diputuskan inkrah oleh pengadilan (Bawaslu.go.id/2019).
Namun di sisi lain, sebagian pihak beranggapan bahwa money politics merupakan hal yang biasa. Sebagian pihak menganggap hal tersebut merupakan salah satu strategi bagi seorang kontestan politik dalam upayanya untuk memenangkan sebuah kontestasi politik. Bahkan terdapat sebuah pandangan bahwa salah satu faktor meningkatnya partisipasi politik masyarakat dalam pemilu adalah karena adanya mobilisasi yang dilakukan kekuatan-kekuatan politik atau peserta pemilu dengan menggunakan pendekatan pragmatis melalui praktik transaksional yang sering disebut dengan money politics.
Pelanggaran
Pada hakikatnya, bagaimanapun juga praktik money politics tetaplah merupakan sebuah pelanggaran di dalam proses pemilu. Praktik tersebut sejatinya sangat bertentangan dengan falsafah bangsa. Apabila mengacu pada nilai-nilai demokrasi pancasila sebagai falsafah bangsa, hal tersebut sangat bertolak-belakang dengan pancasila sebagai etika politik yang tercantum pada sila ke-4. Karena secara pemaknaan atas nilai-nilai pancasila tersebut, demokrasi merupakan motor penggerak kehidupan kebermasyarakatan rakyat Indonesia. Kata ‘Demokrasi sebagai motor penggerak’ dapat diartikan sebagai prilaku politik seorang warga negara yang harus didasari oleh kesadaran berdasarkan hati nurani dari masing-masing individu dari masyarakat.
Namun yang menjadi permasalahan adalah pemaknaan atas nilai-nilai pancasila terhadap praktik politik uang dirasa masih kurang disadari oleh masyarakat pada umumnya. Faktor pragmatis masih terlalu mendominasi untuk bisa membuat masyarakat sadar akan penting nya menjaga ketertiban demokrasi di dalam setiap proses tahapan pemilu. Akan tetapi, selain dari faktor pragmatis, ternyata terdapat 3 faktor lain yang melatarbelakangi terjadinya praktik politik uang. Departement Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM menjelaskan terdapat 3 faktor terjadinya politik uang. Pertama adalah faktor politik. Politik uang terjadi karena calon legislatif (caleg) tidak memiliki program tetapi ingin menang. Sementara, partai politik yang mengusung tidak berperan banyak selain membantu pencalonan. Selanjutnya adalah faktor hukum. Lemahnya regulasi tentang politik uang pada pemilu tahun ini menjadi sebuah kemunduran jika dibandingkan dengan pilkada. Terakhir adalah faktor budaya. Ada kebiasaan yang sudah membudaya di Indonesia, yakni tidak pantas jika menolak pemberian dan terbiasa membalas pemberian. Instrumen kultural ini dimanfaatkan oleh politisi untuk menjalankan politik uang.
Menanggapi hal tersebut, seharusnya masyarakat harus bisa memahami bahwa setiap individu dari mereka memiliki hak untuk memberikan suara pada pemilu secara demokratis. Dalam demokrasi, hati nurani rakyatlah yang lebih dititikberatkan dan tidak bisa digadaikan dengan uang begitu saja. Jangan sampai hak demokrasi masyarakat diciderai oleh praktik-praktik seperti itu. Selain itu, masyarakat juga harus sadar bahwa merekalah penentu kualitas proses dan hasil pemilu karena sesungguhnya masyarakat adalah subyek bukan obyek dalam sebuah hajatan pemilu.
Tahun ini merupakan tahun pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak untuk keempat kalinya yang akan diselenggarakan pada 23 September 2020 di beberapa provinsi dan kabupaten/kota. Setidaknya ada 270 daerah yang aakan melangsungkan hajatan demokrasi pilkada, dengan rincian 9 pilgub, 224 pilbup dan 37 pilwako.
Hal ini menandakan bahwa euforia pesta demokrasi tahun 2020 tidak kalah semarak dibandingkan pemilu 2019, karena hampir dilaksanakan di seluruh wilayah di Indonesia. Melalui tulisan ini, saya mengharapkan masyarakat bisa memahami bahwa pemilu/pilkada adalah ajang dalam memilih wakil untuk duduk di pemerintahan dan menjalankan pemerintahan dan tidak hanya sekedar proses perebutan kursi kekuasaan lima tahunan semata. Kesadaran dari hati dalam memberikan suara adalah masa depan bangsa dan sangat berharga sehingga tidak boleh hanya ditukar dengan bujukan uang yang justru berakibat penyesalan di kemudian hari karena kesalahan memilih wakil rakyat atau pemimpin. #saynotomoneypoliticss. [***]
Penulis : Afif Musthofa Kawwami, M.Sos
Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Raden Fatah Palembang