‘INDONESIA darurat korupsi’, bagaimana tidak? Hampir setiap hari kita disuguhkan berita tentang pelaku korupsi. Parahnya, virus korupsi banyak menjangkiti wakil rakyat, virus ini menyebar dari pusat sampai ke daerah perdesaan. Entah sudah berapa banyak pejabat pusat sampai kepala desa yang ditangkap gara-gara korupsi. Para wakil rakyat seolah kesurupan ‘hantu serakah’, alih-alih memikirkan nasib rakyat, mereka malah sibuk memperkaya diri sendiri dengan jalan korupsi.
Dalam ‘Filosofi Teras’, terdapat konsep Trikotomi Kendali 1 yang meliputi 1) Hal-hal yang bisa dikendalikan; 2) Hal-hal yang tidak bisa dikendalikan; dan 3) Hal-hal yang bisa dikendalikan sebagian. Walau terlihat sederhana, menerapkan konsep Trikotomi Kendali dalam kehidupan sehari-hari bukanlah perkara yang mudah. Sebagian besar orang tidak mampu mengendalikan nafsu sehingga akalnya menjadi lumpuh.
Akibatnya hal-hal yang seharusnya tidak dapat dikendalikan namun berusaha untuk dikendalikan, meskipun dengan paksaan. Contohnya kasus korupsi, banyak orang yang ingin cepat kaya dengan mengambil hak orang lain, meskipun itu salah.
Menghilangkan perilaku korupsi bukanlah perkara yang mudah, polanya sama seperti, membangun kualitas sumber daya manusia menurut Human Development Theory, butuh waktu yang panjang dan dimulai sejak dini, bahkan sejak usia emas (golden age).
Oleh karena itu, perlu keterlibatan keluarga (orangtua) dan lembaga pendidikan. Keluarga Pondasi utama pendidikan adalah keluarga (orangtua), sebab keluarga merupakan madrasah pertama bagi anak. Oleh karena itu, perlu adanya program pendidikan khusus untuk keluarga yang bertujuan untuk membantu menanamkan nilai-nilai karakter pada orangtua yang nantinya dapat dilestarikan sebagai budaya positif di keluarga. Keluarga perlu paham pendekatan daur hidup (life course) dalam upaya pembangunan modal manusia.
Dalam pendekatan life course, para ahli percaya bahwa intervensi dapat dilakukan untuk membentuk modal manusia yang cakap. Intervensi dapat diberikan sejak anak belajar melalui pendidikan dalam rumah, membangun kesehatan, menuju dunia kerja, berkeluarga, dan kewarganegaraan 2 .
Dalam kandungan sampai pada tahap Keluarga harus paham bahwa dalam pendekatan life course terdapat usia emas (golden age), yaitu usia 0-6 tahun, yang pada usia inilah karakter dibentuk. Sebagian besar orangtua kadang keliru dalam mendidik anak, karena ketidakpahamannya terhadap pentingnya pendidikan karakter. Sebagai contoh, ketika anak menangis, orangtua akan mengalihkan perhatiannya dengan menjanjikan pemberian hadiah.
Tapi, nyatanya setelah si anak berhenti menangis hadiah tak ia dapatkan. Disadari atau tidak, ini bukanlah cara yang tepat dalam mendidik anak. Akan lebih baik, jika memberikan sesuatu yang lebih menarik, seperti mainan atau mengajaknya keluar dan lain sebagainya.
Tentunya ini jauh lebih baik dibandingkan cara yang pertama, sebab dampak yang ditimbulkan cara pertama akan menyebabkan anak tidak percaya dengan ucapan orangtua, selain itu, ia juga anak akan meniru perilaku suka berbohong tersebut. Sebab pada masa golden age, menurut Ki Hadjar Dewantara adalah masa dimana anak akan melakukan proses nonton, niteni, dan nirokke. Anak-anak akan melihat dengan segenap panca indera setiap hal yang dilakukan oleh orangtuanya, lalu setelah itu ia akan menandai dan menirukan perbuatan itu.
Lembaga Pendidikan
Orientasi lembaga pendidikan harus direvisi, selama ini porsi antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotor tidaklah seimbang. Lembaga pendidikan lebih cenderung mengutamakan aspek kognitif, apalagi pada era revolusi 4.0, lembaga pendidikan lebih terkesan sebagai lembaga komersil dan komoditas yang hanya menciptakan orang-orang yang berpikiran pragmatis dan materialistis. Sedangkan aspek afektif sangat kurang, akibatnya lahirlah generasi intelektual namun memiliki karakter yang lemah.
Tulisan ini tidak bermaksud menentang kemajuan Revolusi 4.0, karena kemajuan IPTEK sangat kita harapkan untuk membantu pekerjaan manusia, namun hanya mengingatkan esensi penting dari pendidikan yang pada akhirnya adalah untuk kebaikan manusia (well being). Pendidikan yang mampu membuat orang mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good) dan melakukan kebaikan (doing the good) 3 .
Jadi selain melakukan the great shifting, lembaga pendidikan juga haru aware dengan esensi penting pendidikan ini. Actionnya dimulai dari pendekatan guru saat mengajar yang kemudian didukung oleh segenap masyarakat sekolah. Sebagai contoh, ketika melakukan ulangan harian, guru yang baik harus menekankan bahwa kejujuran adalah hal terpenting yang harus dipegang. Nilai 9 baik, namun cara mendapatkan nilai 9 dan makna di balik nilai 9 itu jauh lebih penting.
Saya pernah menerapkan ini ketika mengajar di salah satu sekolah SMA. Awalnya memang masih banyak yang curang, hal itu saya temukan dari hasil tes ujian
lisan. Saya sengaja melakukan tes lisan terhadap jawaban siswa untuk menilai kejujuran mereka. Jika memang jawaban yang tertulis merupakan hasil pemikiran mereka, dapat dipastikan mereka mampu menjawab benar dan tepat.
Faktanya ketika di tes lisan, sebagian besar siswa tidak mampu menjawab, padahal lembar jawabannya terisi penuh. Pendekatan yang saya lakukan dengan bertanya kepada mereka, berusaha membuat mereka terbuka dan nyaman dalam mengungkapkan kejujurannya. Akhirnya saya mendapat jawaban lebih dari 70 persen siswa melakukan Kecurangan, seperti mencontek teman, melihat buku, buka HP, dan lain sebagainya.
Langkah selanjutnya saya melakukan tes remedial dengan metode yang sama dan soal yang berbeda. Alhasil, pada percobaan kedua terjadi penurunan jumlah siswa yang melakukan kecurangan. Metode ini saya lakukan secara konsisten yang pada akhirnya mampu membuat siswa untuk selalu jujur dalam menjawab soal yang saya berikan.
Hemat saya, jika metode ini diterapkan oleh setiap guru, setiap sekolah, dan setiap lembaga pendidikan. Maka dapat diasumsikan bahwa kebiasaan ini akan mampu mencegah perilaku tidak jujur sejak dini yang merupakan ‘cikal bakal’ bibit korupsi.
Inilah contoh kekuatan keluarga dan lembaga pendidikan dalam pembentukkan karakter anak manusia. Keluarga akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anak bangsa,sedangkan lembaga pendidikan berfungsi sebagai tempat menempanya, supaya akhirnya akan menghasilkan generasi yang mengamalkan Tri pantangan yang meliputi 1) Tidak menyalahgunakan kewenangan atau kekuasaan; 2) Tidak melakukan manipulasi keuangan; dan 3) Tidak melanggar kesusilaan 4 dan berprinsip Trikotomi Kendali. Tujuannya adalah menghilangkan bibit-bibit korupsi sejak dini dengan membiasakan dan menanamkan karakter yang kuat pada anak, seperti karakter religius, jujur, tanggung jawab, komitmen, dan lain sebagainya.
“Membasmi pelaku korupsi itu baik, tapi mencegah lahirnya koruptor-koruptor baru itu jauh lebih baik, kuncinya tanamkan karakter sejak dini”.[**]
Penulis : Armansyah, S.Pd., M.Si
(Dosen dan Peneliti Bidang Ilmu Kependidikan dan Kependudukan UPGRI Palembang)