LEBARAN Idul Fitri 1141 Hijriah jatuh pada Ahad, 24 April 2020, jarum jam menunjuk angka 13.00 WIB, saya pulang ke rumah usai mengunjungi dan sungkem kepada orang tua dan mertua.
Mondar-mandir dan Ilir mudik kendaraan [roda dua dan empat] saat melintas di Jalan Mayor Zen, Sei-Selayur, Palembang terlihat begitu ramai, mungkin mereka pun sama dengan saya mengkuti tradisi mengunjungi sanak -saudara dan orang tua saat berlebaran dihari pertama.
Tapi, sayangnya saat Pemerintah Kota Palembang menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), masih banyak juga masyarakat tak menggunakan masker.
Apakah mereka sudah menganggap sepele dengan penyebaran virus yang berasal dari Wuhan, China itu, atau mereka memang tidak tahu sama sekali..?
Padahal seluruh media [cetak, elektroni dan online], baik Intenasional, Lokal [Nasional] maupun lokal [daerah] dengan masifnya setiap hari menginformasikan terkait perkembangan Virus Corona, dari orang yang dipantau, bergejala, positif hingga meninggal.
Dalam perjalanan pulang kemarin- pun, saya sempat menemukan iringan kendaraan ambulance yang dikawal kendaraan roda empat aparat Polisi, tepatnya di depan Komplek Pusri Palembang, Jalan M.Zen Palembang.
Saat berlintasan, dengan ambulance tersebut, sepintas saya melihat, dua orang [sopir- medis] menggunakan baju hazmat lengkap, bak seperti Astronot.
Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa mayat di mobil ambulance itu merupakan korban dari positif Covid-19. Ntah mau dikebumikan di TPU atau ditempat khusus korban covid-19 di Gandus Palembang, saya sendiri tidak tahu pasti.Yang jelas saya sempat merunung, kapan cobaan Allah SWT ini akan berakhir ..?
Karena saat lebaran Idul Fitri tahun ini suasananya sangat berbeda, lantaran banyak masjid yang biasa ramai dikunjungi umat muslim untuk melaksanakan sholat ied, kini sepi…,termasuk saya yang hanya melaksanakan sholat Ied di rumah mengikuti anjuran pemerintah.
‘Bersanjo ‘ yang merupakan tradisi, silahturahmi dengan tetangga, tak terlihat begitu ramai lagi. Meski demikian, kita semua harus mengambil hikmahnya, agar selalu mendekatkan diri kepada -NYA, dengan berdoa dan berdzikir, sebab semakin besar cobaan yang diturunkan Allah SWT, semakin dekat pula kita kepada-NYA.
[Maaf], saya menulis bukan karena saya berprofesi sebagai jurnalis, saya menulis ini sebagai Warga Palembang, yang ingin agar kita sama-sama mengingatkan, untuk tidak saling ego, dan selalu intropeksi diri. Sebagai masyarakat, kita seharusnya juga sadar dan patuh terhadap himbauan –himbuan sesuai protokol kesehatan, dan para pemimpin juga sudah sepatutnya bekerja dengan niat yang tulus tanpa dibarengi dengan pencitraan.
Tengok saja, perkembangan terkait covid -19 ini, yang positif kian hari semakin meningkat signifikan dibanding dengan yang sembuh.
Kita harus menghargai juga mereka yang berada garda terdepan, seperti juru rawat, dokter, Polisi, Babinsa. Mereka bekerja siang dan malam terkadang tak mengenal waktu. Bahkan ada juga yang terpaksa meninggalkan sementara keluarganya guna menanggulangi penyebaran covid-19.
Mereka [para medis] pun terkadang was-was untuk pulang ke rumah setelah jam kerjanya usai, karena takut menularkan virus asal Wuhan China kepada seluruh keluarganya.
Beberapa hari lalu, mereka sempat lega saat membaca di media, saat Gubernur Sumsel mengeluarkan statement, yang menyebutkan bahwa akan memberi tempat istirahat bagi para mereka, di salah satu Hotel BUMD milik Prov. Sumsel. Tujuannya untuk menghindari terjangkitnya keluarga para medis dari covid-19.
Sayangnya, kebijakan itu belum jelas, karena masih digodok dan menunggu Peraturan Gubernur [pergub], seharusnya saat kondisi darurat seperti ini, kebijakan tersebut harus diberlakukan, karena gebernur sebagai kepada daerah memiliki hak untuk itu, sehingga tidak membuat para medis kebingungan.
Tengok saja, sudah berapa banyak petugas medis di rumah sakit yang tadinya merawat pasien, sebaliknya, kini menjadi pasien covid, bahkan nyawa mereka juga menjadi taruhannya.
Ntah berapa banyak lagi yang akan terjangkit, jika semua yang terjangkit itu semuanya para medis, siapa lagi yang bakal merawat pasien yang terjangkit ? Mungkin tak ada lagi masyarakat yang bisa dirawat para medis disaat penularan covid-19 meningkat secara signifikan.
Hargai Pejuang COVID-19
Sudah sepatutnya kita menghargai para pejuang covid-19 yang selama ini berjibaku merawat pasien covid-19 di sejumlah rumah sakit, apalagi saat ini Sumsel dan Kota Palembang tercatatat terbanyak terpapar positif covid-19, [sebelumnya predikat pertama ditempatkan Sumatera Barat [Sumbar] dari 10 Provinsi yang ada di Pulau Andalas.
Bahkan Palembang sebagai ibukotanya Provinsi Sumsel, juga telah ditetapkan sebagai zona merah setelah Kota Prabumulih, memutuskan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar [PSBB].
Sayangnya, PSBB masih jauh dari harapan, karena dinilai belum menunjukkan perubahan yang signifikan, mall dan pusat belanja serta pasat tetap ramai dikunjungi, mundar-mandir masyarakat tanpa mengenakan masker masih banyak terlihat.
Artinya dengan kondisi ini kesadaran masyarakat dan keseriusan pemerintah masih belum maksimal. Aktivitas masyarakat di daerah marjinal [pinggiran] masih tetap seperti biasa, meski memang sudah banyak spanduk disebar terkait bahaya covid-19. Apakah memang mereka tahu tahu memang masa bodoh ? mereka sendiri yang bisa menjawabnya.
Sia-sia Para medis, Banbinsa dan Polisi saling bahu membahu bekerja siang dan malam, jika tidak didukung kesadaran masyarakatnya. Sebenarnya pencegahan itu ada pada dalam diri dan niat kita sendiri.
Kita yang menggunakan masker berlama-lama saja terkadang sesak dan tidak tahan, apalagi petugas medis yang bekerja berhari-hari menutup tubuhnya dengan APD lengkap [Baju Hazmat].
“Stop dan sadar lah semua..!! tak ada gunanya juga kita mengekpos anggaran penanggulangan covid-19 ratusan miliar, jika tidak semua rakyat yang terdampak itu mendapat bantuan,…. “stop juga mengekspos dan menggembor-gemborkan menyalurkan sembako, jika tidak semua masyarakat yang terdampak itu, mendapatkan bantuan.
Stop… dan stop lah…juga !! pencitraan seolah-olah kita peduli dengan rakyat….jangan akhirnya membuat Allah SWT semakin murkah, dan rakyat pun semakin muak.. Karena hingga kini, saya juga masih banyak mendengar kuluhan –keluhan masyarakat yang tak memperoleh bantuan.
Biarlah BUMN/BUMD, swasta bekerja sendiri menyalurkan bantuan melalui divisi CSR-nya, tanpa turut campur pemerintah, agar mereka dapat bekerja kreatif, apalagi mereka [perusahaan ] memiliki wadah dan kebijakan untuk kegiatan sosial.
Hanya saja, pemerintah perlu mengawasi dan memberi himbauan kepada perusahaan tersebut, dengan sendiri, pasti mereka akan patuh, dan menyalurkan bantuan tepat sasaran.
Saya juga sempat menerima curhat dari para Ketua Rukun Tetangga [RT], dimana saya tinggal, karena yang diajukan dan direalisasikan tidak sesuai harapan. Pasalnya dari 10 orang, misalnya hanya satu yang memperolah bantuan.
Miris, mendengarnya, padahal bantuan-bantuan tersebut selalu setiap harinya mewarnai pemberitaan di media, tetapi masih ada saja warga yang mengeluh, saya juga bingung, siapa yang salah ?
Saya juga sempat iseng –iseng bertanya [maaf bukan membandingkan] dengan keponakan yang tengah menuntut ilmu di Semarang, Jateng. Kebetulan memang ia tak pulang kampung, karena kondisi Palembang-Semarang menjadi zona merah.
Ia pun menceritakan bahwa kasus covid- 19 dak jauh beda, [masih belum stabil] [kadang bertambah dan berkurang], tetapi penanganan dan pencegahan terus diupayakan.
Contoh yang paling kecil saja, katanya di Tembalang, dimana ia tinggal, warga dan Ketua RT berjibaku mengamankan daerahnya masing-masing, saling mengingatkan, dan mengedukasi warganya terkait bahaya COVID-19.
Mahasiswa perantau pun dilibatkan untuk menjadi relawan, guna menjaga setiap lorong, terutama di jalan masuk, tengah dan belakang. Mereka juga, kata keponakan saya hampir setiap hari mengontrol kampung, dengan meronda. Ronda tersebut dilakukan dengan cara bergantian, ada tugas pagi sampai siang, ada siang sampai sore, ada sore sampai malam dan ada tengah malam sampai pagi.
Hasilnya cukup lumayan, dengan mengedukasi, kesadaran masyarakat meningkat, masyarakat selalu patuh dengan protokol kesehatan. Mereka keluar selalu menggunakan masker, jaga jarak, selalu mencuci tangan, serta tak berkerumun di tempat yang ramai, seperti mall dan pasar. Lalu sebaliknya, pengurus masjid pun demikian selalu mengingatkan jamaahnya.
Apa yang dilakukan masyarakat Semarang ternyata lebih baik, dan efektif, karena kita tidak bisa memprediksi kapan Covid-19 berakhir, karena virus tersebut bisa ada dimana-mana, dan tidak terlihat kasat mata. Semoga menjadi bahan renungan kita semua, sehingga kita selalu patuh dan serius untuk mencegah covid-19, bukan sekedar pencitraan belaka. [***]
Penulis : Irwan Wahyudi
Warga Perum Pesona Harapan, Kalidoni Palembang