PEMERINTAH Provinsi Sumatera Selatan resmi meluncurkan SI-ALAM (Sistem Informasi Lahan untuk Masyarakat) dalam sebuah acara di Grand Atyasa Palembang, dipimpin langsung oleh Gubernur H. Herman Deru, selasa, 9 Desember 2025.
Acara itu sekaligus menjadi momen penyerahan penghargaan Kelompok Tani Hutan Terbaik Sumsel 2025, yang diumumkan Kepala Dinas Kehutanan Sumsel, Koimuddin.
Turut hadir Direktur Ikraf Indonesia Andre Ekadinata, perwakilan perusahaan kehutanan, kelompok tani hutan, dan berbagai pemangku kepentingan lingkungan.
Secara seremoni, semuanya tampak rapi, sambutan mengalir, optimisme disampaikan, dan aplikasi baru diperkenalkan sebagai terobosan transparansi. Tetapi setelah acara selesai, pertanyaan penting tetap menggantung di udara apakah teknologi ini akan benar-benar bekerja di lapangan, atau hanya menjadi simbol canggih yang cepat dilupakan?
Gubernur Herman Deru dalam pidatonya menyebut Sumsel berada dalam kondisi lingkungan yang relatif terkendali. Ia menekankan pentingnya komitmen bersama dalam menjaga hutan dan memperbaiki tata kelola lahan, semua pesan itu benar 100 persen dan perlu.
Namun masyarakat di lapangan hidup dalam realita yang jauh lebih rumit daripada kalimat-kalimat optimistis di panggung.
Karena itu, peluncuran SI-ALAM memancing satu reaksi yang sama dari banyak warga yaitu, skeptis yang sopan.
Mereka tidak menolak teknologi……., mereka tidak anti modernisasi.
Yang mereka ragukan adalah konsistensi pemerintah dalam menjalankan apa yang diumumkan.
Sebab mereka tahu betul bahwa informasi lahan bukan urusan klik-klik digital. Ia menyangkut kehidupan sehari-hari, seperti batas kebun, status kawasan, izin usaha, hingga potensi konflik antarwarga.
Di banyak desa sekitar hutan, persoalan paling mendasar bukanlah kurangnya aplikasi, melainkan ketidakselarasan data antar instansi.
Satu kantor bilang batasnya di sini sementara kantor yang lain bilang geser sedikit.
Sehingga petani harus menebak, perangkat desa harus mencoba menjembatani, lalu lapangan berubah jadi teka-teki legalitas.
Dalam konteks seperti itu, aplikasi secanggih apa pun berpotensi menjadi hiasan etalase, terlihat modern, tapi tidak menyentuh akar persoalan.
Karena itu, pertanyaan paling menggigit kini melebur dalam satu kalimat panjang apa gunanya aplikasi canggih kalau bumi tetap panas?
Apa gunanya peta digital kalau kebijakan di lapangan masih abu-abu?, apa gunanya komitmen kalau hanya kuat saat kamera menyala?
Dan apa gunanya sistem informasi kalau informasi penting tak pernah dibuka?
Pertanyaan -pertanyaan itu semestinya menjadi ajakan untuk kita merefleksi diri. Oleh sebab itu, peluncuran SI-ALAM seharusnya menjadi kesempatan untuk menjawab isu lama yang selama ini membelit Sumsel, seperti tumpang tindih lahan, konflik batas kawasan, akses informasi yang terbatas, dan lemahnya pengawasan hutan.
Sebab yang mati bukan hanya pohon, tetapi pada akhirnya soal kepercayaan publik, kalau tata kelola lahan tak kunjung membaik.
Untuk melihat gambaran lebih luas, mari bandingkan dengan beberapa wilayah lain di dunia yang menghadapi persoalan serupa.
Seperti di Seoul, Korea Selatan sudah menggunakan sensor udara dan aplikasi kualitas langit mereka termasuk yang tercanggih di Asia.
Tetapi setiap musim semi, debu kuning tetap datang, dan warga tetap membeli masker cadangan.
Teknologinya keren, polusinya tetap membandel.
Jakarta, Indonesia sendiri sudah ada sensor banjir dan notifikasi genangan tersebar di banyak titik. Tetapi tiap hujan deras, warga masih bergantung pada info paling valid yaitu grup WhatsApp RT bahkan teknologi ada, tetapi implementasi kalah oleh realita kampung.
Venice, Italia, yaitu sistem penahan banjir bernilai miliaran euro sudah berdiri. Namun kota itu tetap tenggelam hampir setiap tahun.
Canggih tidak otomatis efektif.
Di California, Amerika Serikat ada pula satelit dan drone pemantau hutan, namun kebakaran tetap terjadi masif disetiap musim panas.
Teknologi menang di konferensi, kalah di lapangan.
Oleh sebab itu, empat contoh tersebut menunjukkan bahwa teknologi tanpa tata kelola yang kuat hanyalah aksesoris.
Lalu bagaimana dengan Sumatera Selatan?
Nah, SI-ALAM sendiri jelas punya potensi besar, tetapi ia akan gagal bila hanya diperlakukan sebagai proyek digital yang menghiasi slide presentasi.
Ada tiga prasyarat agar aplikasi ini benar-benar menjadi alat perubahan misalnya transparansi tanpa syarat, jika data dibuka, publik bisa mengawal. Jika publik mengawal, masalah lebih cepat selesai, menahan data hanya akan memelihara konflik dan ketidakpercayaan.
Kebijakan yang konsisten, bukan abu-abu, misalnya jangan sampai peta digital rapi, tapi praktik lapangan penuh revisi mendadak.
Jangan sampai aplikasi memberi kepastian, tapi birokrasi memberikan jawaban berbeda.
Dan penguatan masyarakat sekitar hutan, maksudnya merekalah pengawas paling dekat, namun jika mereka tak dilibatkan, aplikasi hanya akan menjadi arsip digital, bukan alat perubahan.
Pada akhirnya, teknologi tidak menjaga hutan, manusia yang melakukannya.
Aplikasi hanya alat, kebijakan adalah arahnya, dan komitmen adalah bahan bakarnya.
,Peluncuran SI-ALAM adalah langkah maju, tapi langkah maju tidak berarti apa-apa, jika setelah lampu panggung dimatikan, kita tetap berjalan di tempat.
Seperti pepatah lama bilang “Jangan sibuk memoles kaca jendela kalau atap rumah masih bocor”
Jadi apakah SI-ALAM akan menjadi terobosan nyata, atau sekadar aplikasi yang lebih pintar dari buminya sendiri?.[***]