“Teknologi baru itu kayak cangkul modern, kalau cuma dipajang di gudang, ya tetap saja rumput tumbuh di sawah”
DI sebuah sore yang malas, Mang Zenal duduk santai di pos ronda kampung. Kopinya sudah tinggal setitik, dan asapnya kalah sama bau gorengan Wak Darmi di seberang jalan.
Wak Beg datang sambil nyeret sandal jepit, bawa koran yang dilipat-lipat seperti amplop utang.
Wak Beg:
“Mang, ini baca deh. Katanya KSTI 2025 dibuka besar-besaran di Jakarta. Menteri, rektor, peneliti, sampai BUMN semua kumpul. Bahasannya soal hilirisasi, energi terbarukan, sampai kecerdasan buatan alias AI. Wah, canggih beut!”
Mang Zenal ngelirik koran itu, lalu balik ngaduk kopinya.
Mang Zenal:
“Beg, kalau canggihnya cuma di acara resmi, ya percuma. Sama aja kayak punya sepeda listrik tapi nggak punya charger. Niatnya jalan, tapi tetap harus dorong.”
Wak Beg garuk kepala bingung. “Lah, maksudnya gimana, Mang?”
Mang Zenal mulai berceramah dengan analogi khasnya.
Mang Zenal:
“Teknologi itu kayak sumur. Sedalam apa pun, kalau nggak ada timba, ya orang tetap kehausan. KSTI 2025 itu katanya mau nyambungin riset kampus, industri, dan BUMN supaya hasilnya sampai ke masyarakat. Nah, kuncinya di situ: nyampe atau cuma nyampai-nyampai di slide presentasi.”
Biar nggak dibilang cuma gosip pos ronda, Wak Beg bacain ringkasan dari rilis resmi.
Hilirisasi Industri
Biar bahan mentah nggak langsung diekspor mentah-mentah. Misalnya nikel, jangan cuma jadi bahan baku, tapi diolah jadi baterai, komponen mobil listrik, dan perangkat teknologi. Sama kayak singkong, jangan cuma direbus, tapi bisa diolah jadi tepung modifikasi, bioetanol, atau camilan premium.
Selama ini riset sering mandek di jurnal internasional, susah nyebrang ke kehidupan nyata. KSTI mau bikin jembatan supaya inovasi kampus bisa dipakai petani, nelayan, UMKM, dan usaha kecil kayak warung kelontong.
AI dan Otomasi
Dari pertanian sampai pelayanan publik, AI (Artificial Intelligence) diharapkan bisa mempercepat kerja, mengurangi kesalahan, dan mengefisienkan proses. Contohnya drone untuk memantau lahan pertanian, sensor kelembaban tanah yang terhubung ke internet (Internet of Things atau IoT), dan chatbot pelayanan warga.
Energi Terbarukan
Fokusnya mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Panel surya di desa, turbin angin di pantai, sampai pemanfaatan limbah organik jadi biogas.
Wak Beg:
“Mang, kalau semua itu nyampe ke kampung kita, bisa-bisa sawah kita ada drone ngusir burung pipit.”
Mang Zenal:
“Drone ngusir pipit itu keren, tapi jangan lupa, petani juga harus tahu cara pakainya. Jangan sampai dronenya rusak, jadi cuma tempat jemuran baju.”
Keduanya tertawa. Bukan karena nggak percaya teknologi, tapi karena tahu: inovasi hebat tanpa pelatihan itu sama saja kayak ngasih smartphone ke kambing, cuma dianggap mainan kunyah.
Mang Zenal pernah dengar cerita, di desa sebelah ada bantuan mesin pengering padi modern. Alatnya canggih, tapi nggak ada yang bisa ngoperasiin. Akhirnya mesin itu jadi tempat nongkrong ayam dan kandang dadakan.
Di Kabupaten Banyuwangi, ada program “Smart Farming” pakai IoT sensor kelembaban dan suhu tanah yang langsung kasih notifikasi ke smartphone petani. Ini bikin petani tahu kapan waktu terbaik nyiram atau panen. Hasil panennya naik, dan biaya irigasi turun.
Sementara di Yogyakarta, ada UMKM yang pakai teknologi blockchain sederhana untuk memastikan keaslian produk batik mereka. Jadi pembeli yakin barangnya asli dan proses produksinya transparan.
KSTI 2025 memang punya niat besar, tapi Mang Zenal dan Wak Beg sepakat ada beberapa hal yang harus diberesin dulu.
Bukan cuma bawa teknologi, tapi juga bawa ilmu cara makainya. Kalau cuma kirim barang, ya sama saja kayak kasih hadiah ulang tahun yang nggak pernah dibuka.
AI dan otomasi jangan cuma mampir di industri besar. UMKM juga harus bisa nyentuhnya, entah lewat subsidi, program pinjaman ringan, atau pelatihan gratis.
Riset kampus sering nggak ketemu jalan dengan kebutuhan lapangan. Di sinilah KSTI harus jadi “mak comblang” antara akademisi dan pelaku usaha.
Wak Beg:
“Mang, kalau hilirisasi itu kalau di kampung apa contohnya?”
Mang Zenal:
“Gini, Beg. Misalnya kita punya kebun kopi. Selama ini kita jual biji mentah ke tengkulak. Kalau hilirisasi, kita roasting sendiri, kemas, kasih merek keren, jual online, dan masuk kafe. Nilai jualnya naik berkali lipat. Jadi nggak cuma minum kopi, tapi minum gengsi.”
Analogi itu bikin Wak Beg manggut-manggut. Ia sadar kalau kampung mereka mau maju, harus mulai dari berani mengolah, bukan cuma jual bahan mentah.
Mang Zenal:
“AI itu kayak anak pintar di kelas, Beg. Tapi kalau nggak dikasih tugas yang bener, ya cuma jadi tukang coret-coret papan tulis.”
Di KSTI 2025, energi terbarukan jadi bintang utama. Panel surya di atap rumah, turbin angin di pantai, sampai biogas dari kotoran ternak—semuanya dibahas.
Wak Beg:
“Kalau biogas dari kotoran ternak bisa nyalain lampu, itu artinya listrik kampung kita nyalanya dari kentut sapi?”
Mang Zenal:
“Ya nggak salah juga. Yang penting nyala!”
Bagi Mang Zenal dan Wak Beg, semua jargon KSTI 2025 bisa diterjemahkan ke bahasa sederhana: teknologi harus turun sawah. Kalau tidak menyentuh kehidupan sehari-hari, sehebat apa pun inovasinya cuma jadi berita basi.
Mang Zenal:
“Beg, air sumur sedalam apa pun takkan hilangkan haus kalau tak ditimba. Nah, teknologi itu harus ada timbanya, akses, edukasi, dan keberlanjutan.” [***]
Catatan Redaksi:
KSTI 2025 membawa agenda besar hilirisasi industri, penguatan riset kampus, penerapan AI dan IoT, serta energi terbarukan. Lewat obrolan kocak Mang Zenal dan Wak Beg, pesan ini jadi sederhana: teknologi hanya berarti jika benar-benar masuk ke dapur, ladang, dan pasar rakyat. Tantangannya adalah menjembatani inovasi dengan kebutuhan nyata di lapangan.