Tekno

Mahasiswa MMTC, Kreativitas Dorong Industri Gim Lokal

Komdigi

DI SELA riuh rendah GameTech Exhibition yang digelar di MMTC Yogyakarta baru-bari ini,  kreativitas mahasiswa seakan meledak di setiap sudut. Dari animasi yang mengundang tawa, sampai gim yang sarat pesan budaya, pameran ini memperlihatkan wajah baru industri gim Indonesia: polos, lincah, dan penuh kejutan dari generasi muda.

Cerita tentang animasi “Ikan Mas” yang mengangkat nilai kearifan Bali membuat saya tersenyum geli. Karya semacam ini bukan hanya hiburan, ia bekerja sebagai penjaga budaya dalam bentuk yang mudah dicerna anak muda, seperti kata pepatah, “Tak ada rotan, akar pun jadi”,  bila alat tradisional pupus, inovasi digital bisa menjadi pengganti yang memelihara nilai. Mahasiswa tak lagi sekadar apatis, mereka jadi perajin cerita, pengemas budaya, dan pembuat lapangan kerja kreatif.

Kehadiran Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid,  sempat memuji dan mencoba beberapa gim, memberi sinyal politik yang penting, yakni kreativitas mahasiswa diakui sebagai modal transformasi digital. Ini bukan klaim kosong, jika industri gim kita dikelola baik, potensi ekonomi dan diplomasi budaya terbuka lebar.

Bahkan Gim bisa diekspor sebagai hiburan, tetapi juga sebagai duta budaya yang mengemas narasi lokal dalam bahasa interaktif. “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”, maksudnya kerja keras sekarang akan menuai daya saing di pasar global nanti.

Namun, potensi tanpa pondasi ibarat kapal layar tanpa kompas, ada tiga tantangan utama yang harus disadari, Pertama, ekosistem pendanaan masih rapuh, banyak proyek kreatif mandek di tahap prototipe karena akses modal terbatas.

Kedua, kemasan kualitas dan kepastian hak kekayaan intelektual perlu ditingkatkan agar karya mahasiswa tidak mudah direplikasi atau dieksploitasi. Ketiga, jalur komersialisasi dan pemasaran global masih memerlukan pendampingan profesional agar produk lokal tak tersesat di lautan platform asing.

Program seperti, Indonesian Game Developer Exchange (IGDX) yang disebutkan Kementerian Komdigi adalah batu loncatan yang tepat. IGDX bisa menjadi jembatan antara kampus, industri, dan pasar Internasional yang memberi akses mentor, investor, dan pasar. Namun program sebesar ini harus dilengkapi dengan kebijakan keberlanjutan, subsidi R&D, insentif pajak untuk studio indie, dana inkubasi kampus-industri, serta pelatihan bisnis untuk pengembang muda.

Dari sudut pendidikan, kurikulum harus berani keluar dari zona nyaman, pendekatan interdisipliner,  penggabungan pemrograman, desain, dan manajemen bisnis  harus jadi standar.

Kampus seperti MMTC telah menunjukkan bagaimana sinergi itu bisa bekerja, dan tugas pemerintah dan industri adalah mengamplifikasi hasilnya. Perusahaan game dan investor juga perlu turun tangan bukan hanya sebagai pemberi dana, tapi mentor jangka panjang.

Oleh sebab itu, intinya, kreativitas tanpa etika akan rapuh, apalagi industri gim bukan hanya soal keuntungan,  ia soal tanggung jawab budaya dan sosial. Ketika mahasiswa memasukkan elemen tradisi ke dalam gim, mereka sedang memikul tugas sebagai kurator budaya. Ini memerlukan pemahaman mendalam dan penghormatan terhadap komunitas asal cerita, jangan sampai pengemasan komersial mengaburkan atau mengeksploitasi nilai-nilai tersebut.

Akhirnya, optimisme harus disandingkan dengan strategi, pemerintah memberi sinyal positif, mahasiswa menaruh talentanya, dan publik mulai memberi perhatian. Kini saatnya menyusun peta jalan yang jelas, lindungi IP, buka akses pendanaan, kembangkan jalur ekspor digital, dan sediakan platform promosi bergengsi untuk karya lokal.

Jika semua bagian ini bergerak serempak, bukan tidak mungkin nama-nama kecil di pameran kampus akan menjadi studio kelas dunia esok hari.

Kekuatan ekonomi

Jadi, GameTech Exhibition MMTC bukan hanya sekadar ajang pamer, ia adalah harapan,  karena dari tawa penonton sampai pujian Menteri, ada titik terang generasi muda siap mengangkat game lokal menjadi kekuatan ekonomi dan budaya.

Yuk, dukung mereka bukan hanya dengan tepuk tangan, tapi dengan kebijakan, pendanaan, dan kemitraan nyata, sebab pada akhirnya, jika kreativitas dijaga dan dipetakan, industri gim Indonesia tidak hanya akan bertahan, ia akan menari di panggung dunia dengan gaya kita sendiri.

Oleh karena itu, untuk membuat roda ini benar-benar berputar, butuh tindakan nyata, bukan sekadar kata manis di panggung. Pertama, setiap kampus yang punya program kreatif harus punya unit inkubasi yang matang, legal clinic untuk urusan hak cipta, lab produksi dengan akses alat dan server, serta mekanisme penghubung ke pasar.

Kedua, sektor swasta perlu masuk lebih awal, studio besar membuka program magang jangka panjang dan model pembagian keuntungan yang adil untuk proyek kampus. Ketiga, model pendanaan hybrid, yang menggabungkan hibah, investasi, dan crowdfunding, bisa menjadi solusi agar talenta muda tidak kehabisan napas di fase prototipe.

Komunitas juga memegang peran penting, festival, jam game lokal, dan platform distribusi indie harus didorong sehingga game lokal mendapat ruang bernapas di pasar domestik sebelum mengepak sayap ke luar negeri, seperti perumpamaan, kreativitas mahasiswa ini ibarat benih padi, kalau disiram dengan kebijakan, modal, dan pembinaan, ia akan tumbuh menjadi sawah yang memberi panen berkelanjutan.

Akhirnya, jangan remehkan efek domino, satu gim sukses akan menginspirasi yang lain, studio kecil tumbuh, lapangan kerja terbuka, dan ekosistem manufaktur konten digital pun ikut berkembang.[***]

Terpopuler

To Top