Tekno

“AI vs Kreativitas Manusia di Pasar Ekraf”

ekraf

ROBOT bisa bikin logo, bikin musik, bahkan bisa gambar manusia lebih cepat seperti bikin mie instan, di titik inilah keresahan muncul. Founder BeRest, Edbert Adinata Zulkarnain, menegaskan pasar kreatif Indonesia jangan sampai dikuasai mesin. Kreativitas, katanya, bukan sekadar hitung-hitungan algoritma, tapi lahir dari rasa dan pengalaman hidup manusia.

Nah, persoalan ini bukan sekadar dagelan, di satu sisi, AI memang pintar, bisa bikin desain logo dalam 10 detik, bikin musik latar lebih cepat dari bikin mie instan, bahkan bisa bikin foto mirip manusia. Tapi di sisi lain, apa iya semua bisa diganti?, kalau pepatah Jawa bilang, “wong urip kudu ninggal jejak, ojo ninggal tapak sepele” – manusia hidup harus meninggalkan karya, bukan cuma jejak digital yang serba instan.

Sekarang kita lihat faktanya, AI sudah merambah ke berbagai subsektor kreatif, misalnya desain grafis, dulu bikin logo butuh 3 hari dan kopi segentong, sekarang tinggal klik di Canva atau MidJourney, keluar ribuan opsi, murah meriah, tapi kadang klien bingung sendiri mau pilih yang mana.

Selanjutnya di musik,  platform seperti Suno AI dan AIVA sudah bisa bikin musik orkestra lengkap, band indie sampai tukang karaoke bisa kalah saing kalau nggak punya ciri khas.

Penulisan, dari artikel, puisi, sampai skrip iklan sudah banyak ditulis AI. Bedanya? kalau manusia salah ketik bisa dimaafkan, kalau AI salah ketik biasanya malah dianggap keren, “wah artsy nih!”.

Fotografi, dengan AI image generator, orang bisa bikin “foto liburan ke Bali” tanpa keluar rumah. Tukang foto paspor di pojokan bisa was-was, jangan-jangan klien lebih suka wajah AI daripada wajah aslinya.

Lalu di mana ruang manusia?, inilah yang jadi panggung debat antara efisiensi vs orisinalitas.

Masuklah BeRest, aplikasi lokal yang mencoba jadi jembatan, konsepnya sederhana, marketplace untuk 17 subsektor ekonomi kreatif, dari tukang AC sampai pengajar musik. Tapi dalam konteks AI, BeRest bisa jadi arena pembuktian, bahwa jasa manusia masih punya nilai unik yang tak tergantikan.

Kalau AI bisa bikin logo instan, manusia bisa bikin logo plus curhat filosofinya, kalau AI bikin musik, manusia bisa bawain lagu sambil nyanyi fals penuh perasaan. Dan kalau AI bikin artikel, manusia bisa nulis sambil bercanda kayak tulisan ini. Singkatnya, AI bisa cepat, tapi manusia bisa dekat.

Biar lebih serius, mari kita intip contoh dari beberapa negara, antara lain, Korea Selatan, Negeri K-Pop ini justru memanfaatkan AI untuk industri hiburan. Ada idol virtual seperti “Eternity” yang punya jutaan fans. Tapi, di sisi lain, idol manusia tetap laris. Artinya, AI jadi booster, bukan pengganti total.

Jepang sudah lama akrab dengan karakter virtual seperti Hatsune Miku, tapi, festival musik tetap diramaikan musisi asli. Fans mencari emosi real yang tidak bisa diberikan hologram.

Amerika Serikat, di Hollywood, ada protes besar penulis naskah (WGA Strike 2023) gara-gara AI dianggap ancaman. Hasilnya? industri menetapkan batas, AI boleh dipakai sebagai alat bantu, tapi hak cipta tetap milik manusia.

Jerman, negeri ini mengatur penggunaan AI di seni dengan pendekatan etis. Ada diskusi panjang soal authenticity, karya yang sepenuhnya dibuat AI harus jelas dilabeli, agar pasar tidak tertipu.

Empat contoh ini menunjukkan pola yang sama, AI bukan musuh, tapi kalau dibiarkan liar, bisa makan tuan.

Kalau pakai kacamata bisnis, AI memang efisien, biaya murah, hasil cepat, klien senang, tapi dari sisi pasar kreatif, ada satu hal yang tak tergantikan human touch.

Contohnya, wedding photographer, AI bisa bikin foto resepsi ala-ala royal wedding. Tapi momen ibu menangis saat melepas anaknya menikah, itu butuh rasa, timing, dan insting fotografer, itu yang bikin jasa manusia tetap relevan.

BeRest bisa memainkan peran sebagai kurator pasar kreatif ini, dengan sistem verifikasi, rating, dan showcase portofolio, aplikasi ini memberi ruang bagi penyedia jasa manusia untuk tetap bersaing sehat.

Ada pepatah Minang “alam takambang jadi guru”, dari alam kita belajar, pisau bisa dipakai masak, bisa juga dipakai berantem. Sama halnya dengan AI, tergantung siapa yang memegangnya.

Kalau pegiat ekraf Indonesia bisa memanfaatkan AI sebagai alat bantu, bukan pesaing, pasar ini bisa makin besar. Tapi kalau kita menyerah total, bisa jadi justru kehilangan identitas kreatif.

Pertanyaan “AI vs manusia, siapa yang menang?, sebenarnya salah kaprah, yang benar siapa yang bisa berkolaborasi. AI memang cerdas, tapi masih butuh jiwa manusia, karena kreativitas sejati lahir dari rasa, bukan sekadar algoritma.

BeRest dan aplikasi sejenis bisa jadi benteng terakhir, atau malah jadi panggung baru, untuk membuktikan  manusia masih punya tempat di tengah badai digital.

Jadi, daripada takut, mungkin lebih baik kita ingat pepatah Sunda “Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”. AI boleh berisik, tapi manusia tetap jalan dengan caranya. AI bisa menulis puisi, tapi hanya manusia yang bisa jatuh cinta, dan selama cinta masih ada, kreativitas manusia tidak akan pernah punah.[***]

Terpopuler

To Top