MISALNYA di newsroom penuh AC dan aroma kopi baru, keyboard berdetak serempak, di pojok ruangan, ada server Artificial Intelligence alias AI/ AI yang sedang memproses data berita, mesin itu bisa ngetik cepat, bikin ringkasan, bahkan nyari info ribuan artikel dalam hitungan detik. Keren, kan?, tapi satu hal yang pasti, AI tidak bisa merasakan gosip wartawan atau meneguk kopi pahit sambil mikirin berita penting, itu cuma domain manusia.
Menurut Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria dalam rilis resmi dilaman komdigi baru-baru ini dalam sebuah acara Local Media Summit 2025 di Hotel JW Marriott, Jakarta Selatan jurnalisme berkualitas dibangun dari critical thinking, skill, dan etika, kalau critical thinking tergantikan AI yang cuma logika dan angka, bahayanya besar, bisa-bisa kita punya berita “tanpa rasa”, seolah-olah, seperti sayur tanpa garam, hambar…
Data nyata juga miris sekaligus bikin senyum miris, survei Thomson Reuters Foundation menunjukkan 80 persen media di negara berkembang sudah pakai AI, tapi hanya 13 persen yang punya panduan resmi.
Artinya, mesin boleh ngetik, tapi aturan mainnya acak-acakan, publik bisa bingung “Ini berita siapa?, jurnalisnya manusia atau robot?”, oleh karena itu transparansi jadi kunci supaya kepercayaan publik tetap kokoh.
Namun jangan salah, karena AI itu bukan musuh, sebaliknya, ia bisa jadi asisten super canggih pasalnya bantu riset cepat, merangkum berita, bahkan bisa menganalisis data statistik, tapi ingat tetap saja, AI tidak punya nurani, empati, atau pengalaman hidup, Meskipun mesin juga bisa mengetik berita tsunami, tapi mesin tidak bisa merasakan kepanikan warga atau kesedihan keluarga korban, mesin hanya bisa nulis soal konflik sosial, tapi tidak akan pernah paham “aroma kopi pahit di pagi hari” sambari menimbang layak-tidaknya berita itu tayang.
Kita ambil contoh misalnya, seorang AI menulis berita festival kuliner lokal, hasilnya rapi, grammar oke, tapi satu hal yang hilang, yakni sate favorit Palembang itu harus pakai lontong dan bumbu kacang manis, pembaca langsung garuk kepala. Ternyata, pengalaman lokal dan rasa manusia tidak bisa ditiru mesin, inilah sebenarnya yang membedakan manusia dengan robot, yakni konteks, nuansa, dan selera lokal.
Nezar juga menekankan, AI harus diperlakukan sebagai mitra, bukan pengganti, artinya kita boleh sadar sama AI, tapi tetap bisa mengambil jarak, jangan sampai AI itu yang mengatur kita, misalnya, jika AI nentuin berita trending, wah.. bisa-bisa semua headline cuma “Viral TikTok Hari Ini” tanpa konten mendalam.
Di sinilah critical thinking, skill, dan ethics manusia yang jadi benteng terakhir untuk menjaga kualitas informasi publik, karena kita sendiri yang bisa menilai mana berita yang layak atau tidak, bahkan kita juga yang merasakan dampaknya, dan kita juga yang bisa tertawa ngakak sambil garuk kepala kalau AI bikin berita absurd.
Pesannya jelas sebenarnya teknologi boleh canggih, tapi nilai manusia tetap tak tergantikan, maksudnya AI boleh bantu, tapi jangan lupakan nurani, empati, dan pengalaman hidup, sebab kalau tidak, media bisa kehilangan arah, seperti makan bubur tanpa garam, kenyang, tapi hambar.
Oleh karena itu, jurnalisme bukan hanya soal siapa paling cepat mengetik, tapi siapa paling peka dan bertanggung jawab, AI boleh bantu, tapi manusialah yang menjaga cerita tetap hidup, bermakna, dan menyentuh hati publik. Mesin bisa mengetik, tapi tidak bisa merasakan gosip wartawan atau kopi pahit larut malam.
Jadi semestinya di era AI ini kita harus sadar, dan jadikan teknologi itu sebagai partner, bukan bos, gunakan juga AI untuk mempercepat kerja, tapi biarkan manusia tetap memimpin dalam membuat keputusan jurnalistik, menjaga etika, dan meramu berita dengan rasa, teknologi itu hanya sebagai alat, namun yang terpenting manusia tetap jagoannya dalam empati, nurani, dan konteks, pepatah bilang “Mesin boleh bekerja, tapi hati manusia tetap jadi kompas”.[***]