Sosial

Donor Darah, Kursi Roda & Peduli yang Tumpah di Masjid: Hari Lansia ala Palembang yang Bikin Ngakak & Haru”

ist

TAK semua pahlawan datang pakai jubah ada yang datang bawa KTP, senyum, dan tekanan darah stabi, di pelataran Masjid Al Amani, warga berkumpul bukan untuk rebutan sembako, tapi untuk rebutan kesempatan berbuat baik. Sumbangan kali ini bukan berupa uang, tapi darah segar yang siap menyelamatkan nyawa. Lengkap pula dengan bantuan sosial buat lansia yang lebih berharga dari diskon minyak goreng.

Kalau biasanya lansia hanya disuguhi obrolan “tua-tua keladi makin tua makin jadi”, kali ini mereka disuguhi sembako, kursi roda, dan perhatian yang tulus.

Warga antre dengan sabar untuk donor darah, sambil sesekali nyengir karena tekanan darahnya disuruh ulang, “Kurang tidur nih, Bu, semalam nonton sinetron epilog percintaan janda kaya dan pemuda galon,” celetuk Pak Slamet sambil menepuk lengan.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Dinas Sosial Kota Palembang dan PMI Kota Palembang. Kata Ketua PMI-nya, Dewi Sastrani Ratu Dewa, targetnya 100 kantong darah.

Tapi seperti kata pepatah Bugis, “Bessi tania golla-golla” – besi takkan jadi manis meski digodok, artinya kerja sosial itu tak cukup dengan niat, perlu aksi konkret. Maka donor darah jadi bentuk cinta yang literal kasih dari dalam tubuh sendiri.

Kita memang butuh lebih banyak acara begini, jangan cuma sibuk bikin lomba TikTok dan seminar motivasi berbayar, sementara orang tua kita di rumah tinggal menghitung detik menuju waktu salat.

Seperti kata bijak yang beredar dalam banyak forum kemanusiaan “A society that does not value its elders does not deserve a future”, karena masa depan bukan cuma soal teknologi dan anak muda, tapi juga tentang seberapa dalam kita menghargai jejak-jejak para orang tua yang dulu pernah jadi pelari estafet kehidupan.

Di Jepang, para lansia disebut “harta nasional hidup” . Ada program bernama Silver Human Resources Center, di mana lansia bisa tetap bekerja paruh waktu, sosial, atau sekadar menemani anak-anak membaca buku. Sementara di Palembang? Kalau tak ada acara donor darah ini, mungkin mereka hanya duduk di depan rumah sambil mengusir ayam tetangga.

Perbandingan ini penting. Bukan untuk menyalahkan, tapi untuk menyadarkan. Kita belum benar-benar jadi bangsa yang ramah lansia. Tapi kita bisa memulai dari hal kecil periksa tekanan darah gratis, kasih kursi roda, dengar cerita mereka, atau sekadar tanya, “Mbah, sudah makan?”

Lansia adalah kitab yang tidak dicetak ulang, mereka tidak bisa di-refresh seperti browser, maka kalau kita mengabaikan mereka, kita sebenarnya sedang melupakan bagian sejarah kita sendiri. Jangan sampai kita jadi bangsa yang, seperti kata pepatah Palembang, “lupa kulit saat sudah jadi minyak goreng”.

Mari terus jadikan Hari Lansia bukan cuma seremoni sekali setahun, tapi jadi semangat hidup harian, karena tak semua pahlawan pakai jubah. Ada yang pakai sarung, gigi palsu, dan masih semangat donor darah sambil nyengir malu-malu.[***]

Tulisan ini memadukan fakta kegiatan Hari Lansia dengan elemen fiksi dan gaya jenaka untuk menyampaikan pesan sosial secara lebih hidup.

Terpopuler

To Top