Pantun adalah bentuk lisan yang paling tersebar luas di Asia Tenggara dan telah digunakan di kawasan ini setidaknya selama 500 tahun.
Kunjung kunjung di bukit tinggi
Kolam sebuah di bawahnya
Wajib insan mengenali diri
Sifat Allah pada tubuhnya
Nurani hakikat khatam
Supaya terang taut maha dalam
Berhenti angin ombak pun padam
Menjadi sultan kedua alam
Begitulah selarik dua rangkap puisi yang bernada mirip Pantun, dipetik dari risalah tasawuf Hamzah Fansuri Asrar al-Arifin (Rahasia Ahli Makrifat). Risalah itu ditulis oleh sang Sufi pada abad ke-16 M, namun naskah yang ada merupakan yang ditulis pada akhir abad ke-17 M.
Lantunan Pantun tersebut merupakan salah satu bukti tertulis menyangkut sejarah kesusastraan Melayu di bumi Nusantara. Kata Pantun sendiri memiliki sejarah cukup panjang. Kata ini mempunyai persamaan dari bahasa Jawa yaitu kata parik yang berarti pari, artinya paribasa atau peribahasa dalam bahasa Melayu. Arti ini juga berdekatan dengan umpama dan seloka yang berasal kosa kata India.
Pantun merupakan sastra lisan yang pertama kali dibukukan oleh Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau, seorang sastrawan yang hidup sezaman dengan legenda sastra Melayu, Raja Ali Haji.
Antologi pantun yang pertama itu berjudul “Perhimpunan Pantun-Pantun Melayu”. Genre Pantun merupakan genre yang paling bertahan lama. Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patun dalam bahasa Minang Kabau yang berarti “petuntun”.
Pantun merujuk kata dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan. Sedangkan dalam bahasa Sunda dikenal sebagai Paparikan dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa).
Pada umumnya, pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), setiap baris terdiri dari 8–12 suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b a-b dan a-a-a-a (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis. Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: Sampiran dan Isi. Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak.
Seturut kemudian, dalam perkembangannya muncul berbagai jenis pantun. Yakni, dari segi isi pantun dapat dibagi menjadi: (1) Pantun anak-anak; (2) Pantun cinta dan kasih sayang; (3) Pantun tentang adat istiadat dan cara hidup masyarakat Melayu; (4) Pantun teka teki; (5) Pantun pujian atau sambutan, misalnya dalam menyambut tamu di sebuah majelis; (6) Pantun nasehat, misalnya pentingnya budi pekerti; (7) Pantun agama dan adab; (8) Pantun cerita
Setelah menunggu proses hingga dua tahun, akhirnya Tradisi Pantun telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda pada 17 Desember 2020. Penetapan itu berlangsung pada sidang Organisasi Pendidikan, Sains dan Kebudayaan PBB (UNESCO) sesi ke-15 Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage di Kantor Pusat UNESCO di Paris, Prancis.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid mengatakan di Jakarta, Jumat (18/12/2020), momentum ini adalah langkah awal untuk melestarikan tradisi Pantun. Penghargaan ini diharapkan dapat makin menumbuhkan komunitas-komunitas Pantun, menyiapkan bahan ajar agar peserta didik terdorong untuk menggunakan pantun, dan meningkatkan apresiasi untuk pegiat pantun di tanah air.
Nominasi Pantun yang diajukan secara bersama oleh Indonesia dan Malaysia ini menjadi tradisi budaya Indonesia ke-11 yang diakui oleh UNESCO. Sebelumnya, Pencak Silat diinskripsi sebagai Warisan Budaya Takbenda pada tanggal 12 Desember 2019 lalu.
UNESCO menilai Pantun memiliki arti penting bagi masyarakat Melayu bukan hanya sebagai alat komunikasi sosial namun juga kaya akan nilai-nilai yang menjadi panduan moral. Pesan yang disampaikan melalui Pantun umumnya menekankan keseimbangan dan harmoni hubungan antarmanusia.
Bagi Indonesia, keberhasilan penetapan Pantun sebagai Warisan Budaya Takbenda tidak lepas dari keterlibatan aktif berbagai pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maupun berbagai komunitas terkait. Seperti halnya, Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), Lembaga Adat Melayu, Komunitas Joget Dangdung Morro, Komunitas Joget Dangdung Sungai Enam, Komunitas Gazal Pulau Penyengat, Sanggar Teater Warisan Mak Yong Kampung Kijang Keke, serta sejumlah individu dan pemantun Indonesia.
Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO, Surya Rosa Putra dalam pernyataannya menyampaikan bahwa sebagai nominasi Indonesia pertama yang diajukan bersama dengan negara lain, inskripsi Pantun memiliki arti penting bagi Indonesia dan Malaysia. “(Pantun) merefleksikan kedekatan dua negara serumpun yang berbagi identitas, budaya, dan tradisi Melayu,” ujarnya.
Pantun adalah bentuk lisan yang paling tersebar luas di Asia Tenggara dan telah digunakan di kawasan ini setidaknya selama 500 tahun. Pantun merupakan sarana untuk mengungkapkan rasa cinta, dengan lebih dari 70 persen syairnya ditujukan untuk mengungkapkan cinta terhadap pasangan, keluarga, komunitas, dan alam.
Oleh karena itu, di masa depan, Indonesia dan Malaysia berkomitmen untuk terus melakukan berbagai upaya untuk memastikan pelindungan Pantun sebagai Warisan Budaya Takbenda melalui pelibatan aktif komunitas lokal di kedua negara. Pantun juga dilestarikan dengan diajarkan secara formal di sekolah dan melalui kegiatan kesenian.[***]
Indonesia.go.id