Seni & Budaya

“Lawang Borotan Meledak Kreativitas”

ist

Antara keanggunan tari sakral dan kekocakan di balik panggung Benteng Tua

TEPIAN Sungai Musi, di Lawang Borotan, Palembang malam itu tampak seperti kucing gendut yang ikut pesta disco sambil nyengir konyol. Lampu sorot berkedip, seperti lampu hias salah sambung, sementara angin sungai berusaha menari seperti balerina kebingungan.

Ribuan penonton hadir, sebagian serius menikmati seni, sebagian lagi sibuk selfie sambil muter-muter kayak ayam bingung nyari tempat berteduh.

Tampak Ketua DKP M. Nasir mondar-mandir sejak sore seperti tukang sate keliling yang kehabisan tusuk. “Katanya tahun ini kita tunjukkan seni Palembang itu hidup, berwarna, dan kadang absurd keren“.

Dia bilang lagi sembari mengelus dekorasi Ratu Sinuhun, yang tampak lebih memesona dari filter Instagram terbaru. Dan memang, begitu malam turun, Lawang Borotan bernafas seperti kucing baru bangun tidur perlahan, dramatis, tapi sedikit ngantuk.

Bahkan malam itu, lantunan sakral yang bikin penonton tersentak, lantaran acara dibuka dengan lantunan Syarofal Anam Al Mutmainah. Suaranya lembut, menembus hati, tapi bikin beberapa penonton tersentak sambil mikir, “Ini seni atau terapi gratis?”.

Lalu Tari Tanggai muncul, gerakannya elegan, tapi ada momen kipas penari nyaris menampar kepala Pak Wali Kota yang bengong langsung disambut tawa penonton. Adegan itu spontan tapi epik, bikin beberapa orang menahan perut karena ngakak.

Setelah Indonesia Raya dan Mars DKP dikumandangkan, panggung berpindah ke Sanggar Mei-Mei yang menampilkan Tari Ratu Sinuhun karya Sonia Anisah Utami.

Gerakannya lembut tapi bertenaga, bercerita tentang sosok perempuan yang jadi inspirasi Pekan Seni tahun ini, perempuan, warna, dan karya. Tepuk tangan spontan muncul beberapa kali, karena budaya masih punya rumah di hati masyarakat, walau rumahnya kadang berantakan dan kucingnya tidur di sofa.

Ibaratnya superhero seni dan pahlawan yang bikin kagum dan ngakak, kok bisa? Nah, itulah momen yang paling menyentuh sekaligus kocak adalah penghargaan untuk dua penjaga ingatan budaya diberikan kepada :

Dr (K) Silo Siswanto, pencipta Mars DKP, katanya Mars itu lahir dari hati, tapi kalau menurut penonton, lahir dari piano yang kadang bunyinya kayak burung gagak tersedak.

Kemudian Martha Astra Winata, pelukis Ratu Sinuhun, karyanya membuat dekorasi festival tampak seperti feed Instagram selebgram yang sedang naik daun.

Penghargaan diberikan di tengah sorakan hangat, dan pepatah lama muncul di kepala “Seni itu seperti tahu isi, kadang keras di luar tapi lembut di dalam, dan kadang bikin perut kram karena lucu”.

Ada yang unik di malam itu, pemerintah kota juga ikut terpikat, serius tapi santai,  bahkan Walikota diwakili Asisten I H. Isnaqini Madani menabuh Syarofal Anam.

Katanya, ekosistem seni penting untuk pembangunan budaya dan pariwisata, kalau versi aku ya…”Kalau seni nggak dirawat, Palembang bakal kehilangan jati dirinya. Tapi kalau dirawat sambil ketawa, masyarakat ikut senang, kota makin hidup, dan tukang cilok tetap laku”

Beliau juga berharap Ratu Sinuhun bisa jadi Pahlawan Nasional, agar sejarah Palembang nggak cuma numpang lewat di feed Instagram orang.

Coba bayangkan acara malam yang penuh pesta itu banyak tokoh ikut hadir, bahkan lebih ramai dari Mall saat diskon, artinya sangat diterima masyarakat Palembang, bahkan daftar tamu hadir bikin kepala pusing tapi mata tetap melotot, seperti Ketua DKP M. Nasir (si tukang mondar-mandir), Ketua AMPCB Vebri Alintani, Ketua Kobar 9 Fir Azwar, Singgih Winarto, owner BNB, dan Abah Fajri, owner LED Project.

Belum lagi aparat yang terlihat serius, tapi diam-diam senyum karena anak-anak di pundak mereka joget seperti bonsai mini yang ingin mengintip dunia dari atas rak buku. Seni ternyata milik semua orang yang masih bisa ketawa saat menonton pertunjukan.

Seni bikin ngakak

Usai seremoni, panggung berubah menjadi arena pesta. Komunitas Tanjack Kultur, Kawan Lamo, Rejung Pesirah, Bucu Band, hingga Gong Sriwijaya tampil silih berganti. Suasananya, seperti pasar malam versi seni, ada musik, tari, tawa, aroma pempek yang mengudara seperti aroma kemenangan.

Anak-anak duduk di pundak ayahnya, seniman saling tos di belakang panggung, dan kamera ponsel tak berhenti merekam. Malam itu bukan hanya seni yang tampil, tapi energi, kebanggaan, dan sedikit drama ala sinetron Palembang.

Bahkan di belakang panggung pun, seniman saling dorong ringan karena sound system tiba-tiba bunyi kayak truk mogok. Ada yang menginjak kabel, ada yang nyangkut kostum tari. Adegan mini ini bikin kru panitia ngakak sampai perut kram.

Satu kejadian paling kocak,  penari tari tradisional terkejut karena kipas angin otomatis menampar wajahnya. Reaksi spontan bikin penonton ketawa lepas, walau penari sendiri bilang, “Ini bagian dari koreografi!”.

Dalam Pekan Seni 2025 itu memang menunjukkan satu hal, yaitu seni nggak harus serius kayak sidang DPR, seni bisa bikin orang ketawa ngakak tersentuh, sekaligus mikir.

Pepatah lama yang saya modifikasi mengatakan “Kalau hidup terlalu serius, bahkan lukisan paling indah pun bakal terlihat kayak kwaci gosong”.

Yang jelas menurut saya ada pesan moralnya, misalnya rawat seni, hargai seniman, tapi jangan lupa ketawa, sebab jika kota yang nggak bisa ketawa itu berarti kota itu  cuma hidup di angka, spreadsheet, dan laporan keuangan kering kayak roti tawar basi.

Jadi, dengan pembukaan hangat dan meriah di Pekan Seni 2025 itu, menandai lima hari penuh kreativitas. Lawang Borotan bukan hanya tempat duduk, tapi panggung cerita, tawa, dan sejarah.

Apalagi  ritual sakral sampai tos di belakang panggung tersebut, semua menunjukkan satu hal Palembang masih punya ruang luas untuk seni, budaya, dan dagelan yang bikin ngakak serta hiburan bagi penikmat seni, seperti kata nenek ku sambil gigit  pempek. “Kalau seni itu bikin ketawa, kota akan selalu terus muda”.[***]

Terpopuler

To Top