WAKIL Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi menggarisbawahi pentingnya peran Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) dalam merespon persoalan sosial keagamaan.
Untuk itu, Wamenag minta PTKI tidak hanya reaktif, tapi lebih responsif dan berkontribusi dalam merumuskan beragam solusi atas persoalan bangsa.
“Persoalan bangsa, khususnya di bidang sosial keagamaan, membutuhkan respon dari kita yang tidak bersifat reaktif belaka, melainkan harus berdasar pada pertimbangan empirik hasil riset,” terang Wamenag saat membuka International Conference on Islamic Studies (ICIS) secara virtual, kemaren.
Dilansir dari Kemenag.go.id, acara ini digelar oleh Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh dengan Tema Besar: “Islam and Sustainable Development”. Selaku Keynote Speaker adalah Presiden Republik Indonesia ke-6 yaitu Jenderal TNI (Purn) Prof. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, M.A dan Wapres KH Ma’ruf Amin yang diwakili oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas.
“Civitas akademika PTKI tidak boleh menjadi menara gading yang terlalu asyik ma’syuk dengan penelitian atau diskusi yang hanya bermanfaat buat pribadi atau kampus sendiri saja, tanpa memberi kontribusi bagi penyelesaian masalah-masalah sosial, politik, keagamaan, dan kebangsaan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia dan bangsa-bangsa lain di dunia secara keseluruhan,” sambungnya.
Wamenag juga berharap peserta konferensi dapat memikirkan kontribusi yang bisa diberikan untuk perdamaian dunia. Menurutnya, era keterbukaan global telah melahirkan sejumlah tantangan di kalangan masyarakat muslim, baik Indonesia maupun Asia Tenggara.
Tantangan itu antara lain: menguatnya politik identitas, menularnya gagasan populisme dari belahan bumi lain, bergesernya kecenderungan keagamaan menjadi lebih konservatif, ditambah dengan kepentingan politik yang menunggangi. “Ini adalah beberapa contoh dinamika masyarakat yang dalam level tertentu telah mengakibatkan terciptanya segregasi sosial,” pesan Wamenag.
“Kita wajib merespon tantangan semacam itu. Dunia kini semakin menyadari bahwa Muslim Nusantara memiliki kekhasan tersendiri dalam merespon konservatisme dan ekstremisme berbasis keagamaan. Perjalanan sejarah dan peradaban Islam di kawasan ini telah mengajarkan kepada kita betapa para ulama Nusantara sesungguhnya telah mewariskan nilai-nilai wasathiyah yang telah lama mengakar dalam berbagai tradisi, budaya, dan agama yang ada,” jelasnya.
Untuk itu, Wamenag mengajak para sarjana dan peneliti Indonesia untuk memupuk kepercayaan diri dalam mempromosikan dan menjadikan Islam Wasathiyah sebagai harapan masa depan peradaban dunia. “Mari kita buktikan bahwa praktik keagamaan yang kita miliki ini telah mampu menciptakan masyarakat yang toleran, rukun, serta sekaligus solutif menghadapi berbagai tantangan global, khususnya tantangan ekstrimisme dan terorisme,” tegasnya.(***)