Pojok Fisip UIN Raden Fatah

Pro Kontra Sistem Proporsional di Pemilu 2024

ist

JALAN menuju pemilu tahun 2024 yang akan dilaksanakan diseluruh wilayah Indonesia sedang menghadapi tantangan, dari isu yang bermunculan seperti akan adanya penundaan pemilu, sampai yang santer terdengar saat ini adalah isu perubahan sistem pemilihan yang sejak tahun 2004 menggunakan format sistem pemilihan proporsional terbuka akan diganti menjadi format sistem pemilihan proporsional tertutup.

Gugatan terkait pemilihan legislatif sistem pemilihan proporsional terbuka masih terus diuji materi Undang – undang pemilih ke Mahkamah Konstitusi (MK), Yusril Mahendra (Ketua Umum Partai Bulan Bintang) menyampaikan bahwa sistem pemilihan proporsional terbuka telah melemahkan partai politik.

Ia menyampaikan bahwa partai politik tak lagi menjadi sarana penyalur, Pendidikan, dan partisipasi yang benar, ia menuturkan bahwa partai politik hanya mencari jalan pintas dalam menentukan kader yang akan mewakali sebuah daerah dengan dasar popularitas dari kader tersebut untuk meraup suara terbanyak, bukan dari kualitas yang ada pada diri kader partai politik tersebut.

“Partai politik tidak lagi mengejar fungsi asasinya sebagai sarana penyalur, pendidikan, dan partaisipasi politik yang benar,”ujar Yusril Mahendra pada saat menyampaikan perihal uji materi dalam sidang lanjutan uji materi perihal sistem prporsional terbuka di Mahkamah Konstitusi.

“Partai politik tidak lagi berupaya meningkatkan kualitas programnya yang mencerminkan ideologi partai, melainkan hanya fokus mencari kandidat yang dapat menjadi magnet untuk meraih suara terbanyak. Di sinilah letak pelemahan partai politik itu terjadi secara struktural,” ujar Ketua partai Bulan Bintang tersebut.

Gugatan Nomor 114/PUU-XX/2022 atas pasal sistem pileg proporsional terbuka dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ini diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Sejauh ini, 8 dari 9 partai politik parlemen menyatakan secara terbuka penolakannya terhadap kembalinya sistem pemilihan legislatif proporsional tertutup, hanya Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan (PDI-P) Yang secara terbuka memilih sistem pemilihan legislative tertutup.

Pro kontra terus bermunculan mengenai sistem pemilihan mana yang harus diterapkan pada pemilihan yang akan mendatang, heru Widodo memaparkan bahwa “sebagai sebuah sistem, baik itu proporsional terbuka maupun tertutup, keduanya mempunyai plus dan minus yang saling menegasikan,” kata Heru.

Ia menyatakan bahwa sistem proporsional tertutup mengingatkan akan trauma pada sistem pemilihan umum orde baru dahulu, dan sistem proporsional terbuka adalah buah hasil dari reformasi 1998. Ia juga memarkan bahwa sistem proporsional tertutup memiliki kelemahan seperti; mengunci rapat kanal partisipasi publik yang lebih besar, serta menjauhkan akses hubungan antara pemilih dan wakil rakyat, membuat komunikasi politik tidak berjalan dan kesempatan calon terpilih menjadi lebih tidak adil, dan juga terjadi krisis calon anggota legislatif yang tidak bisa dielakkan, serta partai berkuasa penuh menjadi penentu siapa-siapa yang duduk di kursi parlemen setelah perolehan suara partai dikonversikan ke jumlah kursi.

Ada pun pandangan yang berbeda dari pakar psikologi Universitas Indonesia, Hamdi Muluk tentang sistem pemilihan proporsional terbuka, ia menyuarakan bahwa sistem ini terlalu rumit bagi masyarakat Indonesia. Menurut pakar psikologi Hamdi Muluk teknis penyelenggaraan, jumlah peserta, model surat suara, hingga mekanisme penghitungan suara.

“Saya sebagai psikolog politik melihat orang enggal mungkin memilih opsi yang ajeg kalau pilihannya banyak. Kan sekarang setiap Pemilu partainya banyak, calegnya banyak. Manusia itu hanya bisa membedakan maksimal 3 atau 4 pilihan. Itu sudah paling baik. Makanya menurut saya, pemilu kita tidak ramah dari sisi psikologi voter (pemilih),” kata Hamdi Muluk, Kamis (9/3/2023).

Hamdi pun menilai bahwa sistem pemilihan proporsional terbuka ini hanya akan mendorong partai politik yang memiliki popularitas dikalangan masyarakat, dan hamdi dengan tegas mengatakan bahwa tak ada lagi partai politik yang teguh dengan menampilkan ideologinya. Sehingga partai politik tak lagi meebina kadernya dengan pemahaman ideologi.

“Kalau dibuka terus seperti ini, partai semakin banyak semakin enggak jelas ideologinya. Kalau bisa dikerucutkan saja jadi 4 atau 5 partai. Caranya apa? Naikkan saja parliamentary threshold. Pasti nanti banyak yang akan menggabungkan diri. Dengan begitu nanti akan muncul ciri ideologi partainya,” ucap Hamdi.

Dalam riset big data yang bersumber dari kazee media melalui media sosial mencatat perbedaan yang signifikan tentang persoalan sistem pemilihan proporsional terbuka dan tertutup yang dilangsungkan sejak januari 2023 sampai februari 2023 melalui sudut pandang Netizen.

“Total percakapan selama periode analisis tersebut sebanyak 227.772 data. Dimana netizen memperbincangkan sistem proporsional terbuka sebanyak 155.197 data dengan persentasenya sebesar 68.1%, dan proporsional tertutup 72.575 data dan persentasenya 31.9%,” kata Anthony dalam keterangan tertulisnya, Jumat (10/3/2023).

Anthony yang juga CEO Menara Digital menjelaskan dampaknya secara spesifik dalam laporan sistem proporsional terbuka dan Sistem Proporsional tertutup. Sedangkan sikap positif terbuka lebih besar dari efek negatif yaitu efek positif sebanyak 95.861 interaksi, 46.812 interaksi negatif dan 12.524 interaksi netral. Sedangkan pada sisi tertutup, sisi positif dan negatifnya kurang positif. Opini positif menyumbang 31.563 diskusi, 27.889 diskusi negatif, dan 13.123 diskusi netral.

Sistem pemilihan proporsional terbuka ataupun tertutup memiliki sisi kekurangan dan kelebihan masing masing, namun sistem yang akan disahkan kelak dapat menjadi tolak ukur mana yang baik untuk kelanjutan sistem perpolitikan di Indonesia.[***]

 

Penulis : Rapliansyah

Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN RF

 

 

 

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com