Pojok Fisip UIN Raden Fatah

Frame Media dan Politik di Indonesia

Kekhawatiran banyak kalangan masyarakat terkait potensi tidak profesionalnya berita politik dalam media penyiaran negeri maupun swasta, tampaknya benar-benar terjadi. Dapat kita saksikan bersama seperti pada masa kampanye pemilihan presiden misalnya, secara kuantitas potensi dukungan media televisi kepada capres Prabowo-Hatta lebih besar dibandingkan dengan capres Jokowi-JK.  MNC TV, Global TV,  RCTI, TV ONE,  dan ANTV, dekat ke Prabowo-Hatta, sementara Metro TV ke Jokowi-JK. Yang menarik, ruang-ruang diskursif politik tidak sebatas bermodal dana kampanye yang menggunung, tetapi sekaligus oleh modal stabilitas media dalam menopang citra personal calon. Arus deras dukungan media televisi, menjadi satu magnet tersendiri, sebab siapa yang menguasai media, maka ia berpotensi menguasi suara.

Politik media adalah gerakan strategis untuk mendapatkan kemenangan yang telah digaris. Keberpihakan media dalam skala politik tentu bukan sesuatu yang instan dan tanpa sebab. Para pemangku kebijakan dalam industri media dalam hal ini pemilik media telah sejak awal menisbatkan kiprahnya dalam pusaran politik praktis. Sehingga, keberpihakan media terhadap salah satu calon, tidak ditentukan oleh nalar dan kadar profesionalitas jurnalisme, tetapi oleh kepentingan partikular pemilik media.

Di sini, media televisi terancam menjadi mobilitas politik yang mengabaikan netralitas media sebagai penghubung kepentingan publik. Memang, secara formalitas tidak ada satu pun televisi yang secara struktur mendeklarasikan dukungan kepada pihak manapun. Tetapi, porsi pemberitaan yang berlebihan adalah kunci untuk melihat bagaimana sesungguhnya dinamika televisi hari ini. Agensi (pelaku dalam industri) akan me-realy berita-berita yang sesuai dengan pilihan politik para pemilik media. Potret semacam ini tidak saja bermasalah karena terkait netralitas, tetapi oleh pemfungsian pada ‘jalan lain’ frekuensi publik yang menjadi hak publik. Berupa berita perporsional sebagai mandat konstitusional. Realitas semacam ini telah menimbulkan kontradiksi, pertama, kontradiksi yang bersumber dari media sebagai instrumen hegemoni isu dan semangat netralitas. Kedua, benturan kontradiksi berkaitan dengan aturan kepentingan publik dengan napas media yang menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan pemilik. Kedua benturan tersebut sesungguhnya merupakan problem pelik demokratisasi media. Ketika demokrasi diberikan seluas-luasnya, justru potensi keberpihakan pada politik menjadi sangat sulit ditepis. Isu-isu politik akan digiring pada kamuflase tentang sepak terjang calon tertentu secara terus-menerus  dan pada saat yang bersamaan sangat minimalis pada kandidat yang lain.

“Dalam tulisan, Waren Breed (1955) Social control in The Newsroom , menegaskan bahwa gelombang media penyiaran pada akhirnya akan surut ketika politik telah masuk menjadi kanker kehidupan media massa, terutama televisi. Televisi menjadi sebuah black box karena sarat kepentingan politik yang turut menentukan arah  pemberitaan. Kerja televisi tidak sebatas berkutat pada proses linear, sekadar langkah-langkah kegiatan memproduksi berita. Tetapi, oleh ambisi politik salah satu kandidat yang dipaksakan.

Televisi telah menjelma menjadi dua arus besar. Pertama, televisi memainkan peran sebagai alat politik (political tool) terhadap kandidat, kemudian pada saat yang sama pendukung kritis (critical supporter) bahkan pembengkang (spoiler) terhadap  kandidat lain yang dianggap sebagai lawan. Ekspektasi ini akan mencederai gugus politik yang berkembang. Setidaknya bagi mereka yang tidak memiliki banyak dukungan dari media televisi akan berpotensi menjadi sasaran empuk instabilitas sebuah citra. Jika pada rezim Orde Baru televisi seperti RCTI, SCTV, dan Indosiar, harus mendukung penuh program pemerintah dan partai politik tertentu karena terancam oleh gerakan Represif State Aparatus, tetapi justru kini setelah semuanya bebas dan aman media menjelma menjadi penopang strategis gerakan politik.

95 kepemilikan stasiun televisi di negara berkembang selalu memiliki afiliasi dengan politik tertentu. Ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, berpotensi menjadi suplai tambah dalam menopang pembangunan infrastruktur media. Kedua, televisi berpengaruh dalam membangun citra positif, khususnya citra kelompok dan figur yang didukung. Ketiga, jaringan televisi sangat cepat dan efektif bagi penyabaran informasi dan inovasi pemerintah untuk program pembangunan para kandidat. Untuk kategori yang kedua dan terakhir, sangat relevan untuk menujukkan proses politik yang terjadi hari ini. Keterlibatan para pemilik media dalam pusaran politik telah menciptakan irasionalitas substantif yang dapat memengaruhi diaspora berita televisi.

Pertarungan capres pada titik klimaksnya melahirkan pertarungan citra melalui televisi yang sangat ketat. Sehingga, format berita yang ditampilkan menjadi kabur. Sukar untuk membedakan di mana berita yang benar-benar mencerminkan realitas yang netral dan realitas yang penuh keberpihakan. Televisi di satu sisi menjadi instrumen demokrasi, pada sisi yang lain ia menjadi instrumen politik pragmatis. Tidak lagi berpihak pada masyarakat sebagai mandat, tetapi berpihak pada salah satu kandidat. Demokrasi politik pada akhirnya riuh oleh sentimen politik dan kebencian yang dilahirkan oleh media penyiaran.

Hal ini sekaligus menunjukkan televisi yang memiliki keberpihakan pada proses politik kandidat capres telah menjelma menjadi ruang yang berpotensi melahirkan propaganda bukan informasi yang mencerahkan. Semangat untuk menayangkan berita yang penuh dengan nilai-nilai pendidikan dan high culture berorientasi  pada kepentingan, manfaat,  idealisme berwawasan publik, pada akhirnya jauh panggang dari api. Dinamika televisi yang berada di bawah bayang-bayang kepentingan politik  telah melahirkan berbagai kontradiksi yang membentur struktur dan idealisme televisi itu sendiri sebagai  instrumen demokrasi yang paling populis.

Penulis :  Andrian Sani

Mahasiswa Prodi Ilmu Politik

FISIP UIN Raden Fatah Palembang

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com