DI SEBUAH ruang kelas SLB Negeri Cileunyi, tawa para siswa netra terdengar riuh saat seorang guru bertanya, “Kalau buku nggak bisa dibaca dengan mata, dibaca pakai apa?”. Seorang anak spontan menjawab, “Ya dibaca pakai hati, Bu!” Jawaban polos itu sontak bikin semua tertawa, seolah kita sedang nonton dagelan ala Srimulat. Tapi dari canda itu, terselip kebenaran, yakni literasi bukan melulu soal huruf yang terlihat, tapi bagaimana ilmu bisa masuk ke hati dan pikiran.
Untuk itu, Sentra Wyata Guna Bandung hadir dengan Perpustakaan Braille Keliling, membawa senjata baru berupa Braille, digital talking book (DTB), dan audio book. Bukan cuma tumpukan buku, ibaratnya kunci ajaib yang bisa membuka pintu masa depan anak-anak penyandang disabilitas netra.
Orang bijak bilang, “di mana ada jalan, di situ ada ojek online”. Eh…, maksudnya, kalau ada kemauan, pasti ada jalan. Bagi siswa netra, Braille sudah lama jadi jalannya. Tapi sekarang, dengan adanya DTB dan audio book, jalannya bukan sekadar setapak, melainkan jalan tol literasi yang langsung tersambung ke dunia digital.
Misalnya saja, kalau dulu membaca buku Braille bisa bikin jari keriting kayak habis main Mobile Legends semalaman, kini cukup dengan mendengarkan audio book. Anak-anak bisa belajar sambil rebahan, mirip gaya mahasiswa saat Zoom class, kelihatan on-cam, tapi sebenarnya lagi selonjoran.
Namun jangan salah, teknologi literasi inklusif ini bukan buat memanjakan siswa, namun mengajarkan mereka keterampilan digital sejak dini. Oleh karena itu, cara menyalakan DTB, mengoperasikan audio player, hingga mengakses file digital, semuanya jadi bekal penting untuk masa depan, sebab dunia kerja hari ini sudah bergeser, bukan cuma butuh otot, tapi butuh otak yang melek teknologi.
Pepatah mengatakan, “Tak kenal maka tak sayang”, begitu pula di dunia pendidikan inklusif, pepatahnya bisa diubah jadi, “Tak akses maka tak berkembang”.
Anak-anak netra punya potensi luar biasa, tapi kalau literasi masih dianggap “hanya untuk yang bisa melihat”, maka pintu masa depan mereka seperti rumah kontrakan yang selalu dikunci gembok.
Di sinilah kehadiran Perpustakaan Braille Keliling, ibarat tukang kunci dadakan, mereka membuka akses, memberi jalan, dan mengajarkan anak-anak belajar bukan beban, melainkan hiburan. Guru di SLB Negeri Cileunyi bahkan bilang, anak-anak yang biasanya cepat bosan jadi betah duduk mendengarkan cerita lewat audio book. Katanya, rasanya kayak lagi disuguhi dongeng sebelum tidur, tapi bedanya kali ini dongengnya bikin pintar.
Kalau dipikir-pikir, pendidikan inklusif memang butuh gaya belajar yang fleksibel. Anak-anak netra itu seperti padi makin berisi, makin merunduk, tapi supaya bisa berisi, mereka harus diberi pupuk yang tepat, yakni akses terhadap pengetahuan.
Menurut data UNESCO, akses literasi bagi penyandang disabilitas masih sangat rendah di banyak negara berkembang. Padahal, literasi adalah fondasi untuk kemandirian, keterampilan kerja, bahkan partisipasi sosial.
Jadi di titik ini sering muncul salah kaprah, karrna banyak yang melihat program literasi inklusif hanya sekadar kegiatan sosial, ibarat bakti sosial bagi-bagi sembako, padahal kalau dipahami lebih dalam, literasi inklusif itu bukan charity, tapi investasi strategis.
Kenapa?, karena anak-anak netra terbiasa mengakses teknologi sejak dini akan tumbuh jadi generasi melek digital, mereka bisa mengisi ruang-ruang kerja baru di bidang teknologi, komunikasi, bahkan industri kreatif.
Dan, siapa bilang editor audio book atau content creator harus orang yang bisa melihat?, justru sebaliknya kepekaan mereka pada suara bisa jadi modal emas.
Sehingga, kalau pemerintah dan masyarakat masih melihat layanan seperti Perpustakaan Braille Keliling hanya sebagai bonus atau tambahan, maka itu keliru. Di era AI dan digitalisasi ini, inklusi bukan lagi pilihan moral, tapi keharusan pragmatis. Negara yang mengabaikan inklusi akan kehilangan talenta besar hanya karena gagal memberi akses.
Dengan kata lain, investasi literasi inklusif hari ini adalah strategi cerdas, agar Indonesia tidak hanya membanggakan bonus demografi, tapi juga memetik bonus keberagaman.
Oleh karena itu, dari seluruh cerita ini, ada yang bisa kita petik, yakni membaca bukan hanya kerjaan mata, tapi juga kerjaan hati, telinga, dan pikiran. Anak-anak netra di Cileunyi sudah membuktikan keterbatasan bukan alasan untuk berhenti belajar, justru dengan literasi inklusif, mereka punya peluang lebih besar untuk melampaui batas.
Pepatah Sunda bilang “Hirup mah kudu ngigelan jaman” (hidup itu harus mengikuti zaman), artinya, siapa pun, termasuk mereka yang punya keterbatasan, berhak untuk ikut menari dalam irama teknologi.
Tapi dampaknya luar biasa, anak-anak yang tadinya merasa dunia belajar terlalu sempit, kini punya jendela baru untuk melihat (dengan hati) dunia yang lebih luas.
Jadi, kalau ada yang bilang masa depan itu buta, anak-anak di SLB Negeri Cileunyi bisa menjawab dengan senyum “biar mata kami tak melihat, tapi masa depan kami jelas, karena literasi sudah ada di genggaman”. Bukankah itu bukti nyata bahwa teknologi literasi inklusif bukan sekadar alat, melainkan jembatan menuju masa depan yang setara?.[***]