Pendidikan

Festival Marunda 2025 : Literasi Anak, Kolam Gratis & Ruang Aman di Tengah Beton Jakarta

ekraf

ANTARA rusun yang menjulang dan tiang listrik yang saling lirik di langit Marunda, terdengar tawa bocah yang lebih murni dari hasil polling quick count. Mereka tak butuh gadget mahal, cukup halaman, kolam, dan buku-buku yang bisa membuka semesta. “Kami cuma mau main… tapi jangan bayar, dong!”

Dari sinilah Festival Marunda 2025 menggebrak, bukan dengan kembang api atau konser K-Pop, tapi dengan buku, ruang aman, dan curhatan jujur anak-anak rusun. Bukan sekadar acara memperingati Hari Anak Nasional atau Hari Mangrove Sedunia, festival ini jadi semacam open mic untuk para bocah urban yang sehari-harinya main petak umpet di tengah deru knalpot.

Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, Irene, datang membawa senjata damai 1.465 buku bacaan anak dari Gramedia, Mizan, hingga Balai Pustaka. Bukan main. Kalau ini bukan bentuk cinta, entah apa lagi.

“Buku bukan cuma sumber pengetahuan, tapi juga pemantik imajinasi,” ujar Bu Irene sambil tersenyum seperti pustakawan yang baru nemu buku langka.

Di era TikTok lebih sering dibuka daripada dongeng sebelum tidur, perpustakaan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) menjadi semacam oasis spiritual. Hening, damai, dan penuh kemungkinan. Kalau ada es krim gratis di pojokan, pasti jadi tempat nongkrong paling hits se-Marunda.

Masuk ke sesi berikutnya peresmian Ruang Bersama Indonesia (RBI), pilot project dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).

Nama proyeknya memang terdengar seperti seminar nasional, tapi isinya lebih hangat dari kopi warung ruang edukatif, positif, dan ramah untuk anak dan perempuan.

Dengan semangat “Tracing the Past, Building the Future”, RBI berusaha bikin kota ini terasa lebih manusiawi. Di tengah pembangunan yang sibuk mengejar sertifikat dan trotoar Instagramable, RBI ngingetin kita kota itu bukan cuma fisik, tapi juga psikologis.

Wamen PPPA Veronica Tan bilang, minat baca di Marunda masih ngos-ngosan, koleksi buku minim, alat permainan edukatif seret, pustaka di RPTRA lebih sunyi dari kantor pas weekend. Maka solusinya pelatihan pustakawan, alat baca digital, dan bacaan anak-anak yang bikin mereka betah di rak, bukan cuma di reels.

Momen paling menyentuh bukan saat pejabat pidato, tapi saat seorang bocah nyeletuk dengan polos “Kami pengen kolam renang gratis…”

Bukan Disneyland, bukan mobil listrik, tapi kolam air buat main basah-basahan. Simpel banget, tapi di situ letak keruwetan kota kita kadang butuh anak kecil buat ngomongin kebutuhan dasar yang dilupain dewasa.

Kepala Dinas DPRKP DKI Jakarta, Kelik Indriyanto, langsung gercep.”Kehadiran negara harus terasa sampai ke hal paling dasar”. Bahasa manusianya Kalau bocah aja gak bisa main air gratis, ya masa kita bangun tugu doang?

Apa yang bikin kota layak ditinggali? Gedung tinggi? Jalan lebar? Bukan. Tapi tawa bocah yang bisa berlari tanpa takut dimarahin. Buku yang bisa dipinjam tanpa jadi urusan ribet. Kolam yang bisa dipakai tanpa nunggu tanda tangan RT tiga lapis.

Festival Marunda ngajarin kita membangun kota bukan cuma soal infrastruktur, tapi intrastruktur, yakni hal-hal yang nempel di hati warganya.

Literasi, ruang bermain, dan ruang aman adalah fondasi Jakarta yang ingin jadi kota global tapi nggak melupakan suara bocah lokal.

Festival Marunda 2025 bukan sekadar acara tahunan, tapi simbol pembangunan yang berakar, membumi, dan bikin anak-anak betah hidup di Jakarta. Kolaborasi Kementerian Ekonomi Kreatif dan KemenPPPA menghadirkan harapan kecil yang berdampak besar ruang aman, buku bacaan, dan kolam gratis.

Seperti kata pepatah warung kopi yang mungkin belum sempat masuk kurikulum “Negara yang ramah pada anak adalah negara yang tidak grusa-grusu saat merancang masa depan”.

Dan dari Marunda, masa depan itu sedang ditulis, bukan di papan proyek, tapi di halaman buku, tawa bocah, dan kolam gratis yang belum dibangun, tapi sudah dimimpikan.[***]

Terpopuler

To Top