Pendidikan

“Sekolah Kita, Sekolah Rasa Soto Campur”

ist,

DESA bernama Kampung Lupa Absen, berdirilah sebuah sekolah dasar bernama SDN 01 Bismillah Lulus, yang punya semboyan sakral. “Pendidikan adalah jalan menuju masa depan, meski jalannya kadang berlumpur dan dilewati bebek”

Di sanalah Pak Sabar, seorang guru senior, mengajar sejak zaman fotokopi masih pakai putaran tangan. Rambutnya sudah rontok separuh, bukan karena usia, tapi karena tiap hari mengajar murid yang kepalanya penuh tanya, tapi lupa diisi otaknya.

“Anak-anak, siapa tahu ibu kota Indonesia?” tanya Pak Sabar dengan suara penuh harapan.

Langsung si Ucup, murid kelas 6 yang sejak kelas 3 mukanya nggak berubah, angkat tangan tinggi-tinggi.

“Jakarta, Pak! Tapi sekarang katanya pindah ke Nusabatik!”

“Nusantara, Cup. Nusabatik itu merek sarung bapakmu!”

Sekolah itu memang unik. Kurikulumnya berubah tiap tahun, kayak status hubungan mantan yang nggak jelas. Tahun ini pakai Merdeka Belajar, tahun depan mungkin Belajar Merdeka Tapi Masih Bingung. Guru-gurunya rajin pelatihan, tapi muridnya pelatihan terus di kantin.

Ada satu guru olahraga, Bu Senam, yang kalau ngajar selalu bawa peluit dan semangat 45. Sayangnya, beliau kadang lupa ini SD, bukan barak militer.

“Ayo! Pemanasan dulu! Lari keliling lapangan lima kali!”

Murid-murid lemas. “Bu, kami bukan timnas, bu…”

Ada juga Pak Garing, guru matematika, yang pantunnya selalu bikin otak mumet.

“Lima ditambah lima jadi sepuluh,
kalau salah ngitung, hati-hati ketuluh!”

“Ketuluh apa, Pak?”

“Nggak tahu, pokoknya pantun!”

Sementara itu, ruang guru seperti warung kopi rasa intelektual. Ibu-ibu guru bergosip sambil menyusun RPP, yang isinya kadang cuma dua paragraf “Hari ini belajar. Semoga paham. Kalau tidak, belajar lagi.”

Satu hari datang pengawas dari dinas pendidikan. Ia duduk di kantor, membuka map tebal berisi daftar pertanyaan.

“Pak Sabar, bagaimana penerapan digitalisasi pendidikan di sini?”

Pak Sabar mengelus kepala. “Kami digital, Pak. Kalau murid nggak masuk, kami screenshot absen. Kalau tugas nggak dikerjain, kami forward ke grup WA ortu. Semuanya digital!”

“Laptop ada?”

“Ada, Pak. Tapi dipakai buat nonton YouTube… eh maksudnya, belajar online, Pak!”

Tapi walau penuh banyolan, sekolah ini tetap meluluskan generasi terbaik. Ada yang jadi petani sukses, ada yang jadi tukang tambal ban, bahkan ada yang jadi influencer TikTok yang edukatif, ya meskipun kadang isinya cuman ngaji sambil goyang tipis.

Karena pendidikan di desa bukan soal mewahnya gedung atau cepatnya Wi-Fi, tapi soal semangat belajar, tawa di kelas, dan guru-guru yang tetap sabar walau gajinya datang telat tiga bulan.

Pendidikan itu kayak mie rebus. Kalau dikasih bumbu cinta dan telur perjuangan, hasilnya bisa gurih dan bikin kenyang masa depan. Tapi kalau airnya cuma setengah dan kompornya nggak nyala, ya siap-siap mie-nya mentah dan gurunya stres.

Hidup pendidikan! Meski kadang jalannya lempung, kita tetap belajar. Karena sekolah kita, walau sederhana, tetap rasa soto campur banyak isinya, kadang pedas, tapi selalu bikin ketagihan!.

Sekolah di desa mungkin tak punya proyektor canggih, tak ada laboratorium kinclong, dan sering kali listrik mati pas jam pelajaran IPS. Tapi sekolah seperti SDN 01 Bismillah Lulus justru jadi contoh bahwa pendidikan sejati lahir dari ketulusan para guru, semangat para murid, dan tawa-tawa kecil yang tak tercatat dalam laporan dinas.

Kurikulum boleh berubah macam iklim, tapi satu yang tak pernah goyah: cinta untuk belajar, dan keberanian untuk tertawa dalam kekurangan.

Karena sejatinya, pendidikan yang lucu bukan berarti remeh. Justru di situlah kita belajar bertahan dalam kenyataan.

Jadi, kalau sekolah kita ibarat soto campur, maka mari kita racik bersama: kasih kuah keikhlasan, taburi bawang goreng motivasi, dan jangan lupa sambal humor secukupnya.
Supaya meskipun panas dan keringat bercucuran, anak-anak tetap belajar dengan senyum  dan mungkin sedikit ngantuk. [***]

Catatan Redaksi:
Cerita ini fiksi jenaka, terinspirasi dari realita pendidikan. Tokoh dan kejadian hanya rekaan. Tawa di sini untuk refleksi, bukan merendahkan.

Terpopuler

To Top