KALAU bicara soal domino [gaple], orang Palembang pasti lebih hafal dari pada rumus pitagoras, karena permainan ini sangat membumi dimainkan “wong kito”. Permainan domino ini sudah jadi semacam “bahasa cinta” di antara bapak-bapak pos ronda, pemuda-pemuda kompleks yang galau, sampai pensiunan yang baru beli kacamata baca dan sandal swallow baru. Bayangkan kalau gaple ini naik pangkat, dari lapak warkop jadi eksibisi resmi bertitel Kapolda Sumsel Cup 2025. Gile bener, Pak!. Ini baru namanya silaturahmi pakai gaya rakyat jelata, pakai kartu, bukan pakai dasi.
Wakil Gubernur Sumatera Selatan, H. CIK Ujang, dalam gaya khasnya yang adem dan bersahaja, ikut hadir dan kasih sambutan yang bukan cuma formalitas, tapi juga mengandung aroma legit persaudaraan. Kalau kata orang tua dulu kalau mau dekat dengan rakyat, jangan cuma bagi sembako, sesekali ikut main gaple, biar tahu rasa jadi pemain cadangan yang cuma ngintip kartu orang.
Wagub pun menilai kegiatan ini sebagai bentuk silaturahmi yang membumi, menyatu dengan denyut nadi masyarakat. Lha iya, siapa sangka ternyata Bhayangkara bisa juga merayakan ultah bukan hanya dengan apel bendera atau upacara tabur bunga, tapi juga dengan ketawa bareng, ngelawak bareng, dan… ngetok kartu gaple sambil ngopi. Ini namanya revolusi silaturahmi tanpa kehilangan identitas.
Gaple ini ibarat cinta tak bersyarat mainnya bisa di pos ronda, di bawah pohon mangga, bahkan di kantor RW. Tidak mengenal kasta atau pangkat. Semua setara saat kartu sudah dibagi. Polisi, tukang bakso, mantan lurah, bahkan Ketua RT/RW yang baru kalah Pilihan RT/RW, semua bisa duduk bareng satu meja. Nah, kalau forum seperti ini dijadikan kebiasaan, bisa-bisa konflik horizontal kalah sama tawa horizontal!.
Kalau kita renungkan (seraya nyeruput kopi pahit dan ngelus kumis), turnamen gaple ini sebenarnya adalah simbol bahwa keamanan dan ketertiban bukan cuma urusan patroli malam atau operasi zebra, tapi juga soal bagaimana membuat masyarakat merasa nyaman, dekat, dan percaya kepada aparatnya. Dalam gaple, tidak boleh curang, sama kayak dalam hidup, kalau main ngintip kartu lawan, siap-siap ditimpuk dengan gorengan sisa semalam.
Dan lebih dalam lagi, ini adalah bentuk soft diplomacy, bukan antar negara, tapi antar elemen masyarakat. POLRI, Forkopimda, dan warga biasa bisa satu meja. Kalau bisa satuin polisi dan masyarakat di meja gaple, kenapa enggak bisa satuin visi pembangunan yang kadang mandek di rapat anggaran?.
Oh iya, Wagub juga kasih ucapan selamat buat yang lolos final. Tapi yang kalah juga jangan berkecil hati. Ingat pepatah”Gaple itu seperti hidup, kadang kita menang karena kartu bagus, kadang kita kalah karena teman sebelah tukang ngelawak”. Yang penting, jangan baper dan jangan bawa-bawa ke grup WA RT.
Turnamen gaple ini bukan sekadar gebrakan hiburan Bhayangkara, tapi juga simbol pendekatan humanis yang jempolan. POLRI nggak melulu soal sirene dan borgol, tapi juga soal gelak tawa di meja gaple. Dan Wakil Gubernur Sumsel paham betul, bahwa menjaga harmoni itu kadang cukup dimulai dari permainan kecil yang punya nilai besar. Kalau kata mbah saya “Jangan remehkan permainan kampung, kadang di situlah lahir gagasan negara”.
Mungkin ke depan, selain gaple, bisa juga dicoba turnamen tarik tambang antara OPD dan warga, lomba yel-yel pembangunan antar kecamatan, atau karaoke duet antara Kapolsek dan Ketua Karang Taruna, biar pembangunan enggak melulu dibahas di musrenbang, tapi juga diiringi canda tawa yang membumi, karena kadang, negeri ini lebih butuh tawa dari pada rapat.
Intinya, turnamen gaple ini bukan cuma soal menang-kalah. Ini tentang kebersamaan, tentang tawa, dan tentang bagaimana satu kartu kosong bisa jadi penghangat suasana. Jadi, besok-besok kalau ada yang ribut soal proyek, suruh aja main gaple dulu… biar adem, biar waras, biar nggak saling nuding sambil bawa amplop. Semoga makin guyub, dan makin rajin main gaple, asal jangan pas jam kerja ya, Pak RT!.[***]