RAKYAT itu seperti mie instan, maka wakil rakyat adalah air panasnya, datang lima menit, langsung mendidih, aspirasi berhamburan ke mana-mana. Begitulah suasana waktu Ketua DPRD OKI, Farid Hadi Sasongko dari Partai PKB, melakukan Reses III di Desa Margo Bhakti, Kecamatan Mesuji.
Warga berdatangan macam antre sembako, padahal yang dibagi bukan beras, tapi harapan, dan seperti biasa, harapan itu gratis. Tapi merealisasikannya? Nah, itu baru perjuangan.
Hari Minggu (29/6/25), bukan cuma hari buat santai di teras sambil nyemil kerupuk, tapi juga jadi momen di mana masyarakat Desa Margo Bhakti bisa menyuarakan isi hati dari jalanan yang bolong, jembatan yang mogok, hingga tiang listrik yang lebih langka dari sinyal di pedalaman.
Tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan tokoh yang belum sempat jadi tokoh ikut hadir, semua pengin ngomong. Reses ini ibarat open mic aspirasi, semua boleh naik panggung, asal nggak ngelawak soal bansos.
“Pak Farid, jalan Blok D itu cor-nya bukan lagi retak seribu, tapi kayak permukaan Mars!” ujar salah satu warga, sambil nunjuk ke sepatu yang penuh debu.
Yang lain nyaut, “Kalau malam, desa ini gelapnya bukan main, kalau ada maling lewat pun, warga bisa nyangka itu tuyul”, daftar usulan pun panjangnya ngalahin nota belanja menjelang Lebaran.
Dari pembangunan jalan 1 km, pavling masjid ukuran lapangan futsal, siring yang hilang entah ke mana, sampai usulan pengadaan dokter yang katanya “jarang nangkring di puskesmas”.
Farid Hadi mendengarkan semua dengan serius, wajahnya setegas nasi padang tanpa sambal. Ia mencatat, mengangguk, dan sekali-kali senyum, bukan senyum kampanye, tapi senyum “Oke, ini gue perjuangkan”.
Katanya, semua aspirasi bakal dibawa ke lembaga. Bukan dibawa jalan-jalan. “Kita upayakan lewat musrenbang, dari desa sampai kabupaten,” ujarnya, kayak jurkam yang udah lulus S2 empati.
Reses ini sejatinya adalah GPS moral wakil rakyat. Kalau nggak tahu posisi masyarakat di mana, ya bisa-bisa muter-muter di lingkaran setan janji politik.
Untungnya, Farid Hadi tampak bukan tipe yang kalau dengar aspirasi langsung ngantuk. Ia bukan politisi model “datang pas perlu, hilang pas dibutuhkan”. Katanya, perjuangan untuk rakyat itu ibarat ngangkat galon berat, tapi menyegarkan kalau berhasil.
Tentu saja, rakyat di Mesuji nggak cuma butuh angin surga, mereka pengin bukti, bukan janji yang dikemas kayak brosur kredit motor. Tapi setidaknya, dengan adanya reses ini, masyarakat bisa curhat legal tanpa perlu bikin demo dadakan.
Kita doakan, semoga jalan Blok D benar-benar dicor, bukan dicoret dari anggaran. Dan semoga lampu-lampu jalan segera menyala, supaya maling, tuyul, dan mantan tak bisa lagi menyelinap dalam gelap.
Farid Hadi pun pamit, disambut tepuk tangan warga dan bisik-bisik ibu-ibu, “Pak Farid tuh, cocok jadi menantu…”. Tapi yang paling penting, semoga aspirasi tadi nggak cuma masuk telinga kanan keluar lewat mikrofon sebab rakyat itu ibarat nasi uduk, kalau kelamaan nunggu realisasi bisa basi dan ditinggal pergi.
Kalau nanti pembangunan sudah jalan, dokter Puskesmas sudah ngantor, dan voli desa bisa jalan terus tanpa harus tabrak kambing, maka Farid Hadi patut dapat gelar Wakil Rakyat dengan Jiwa Reses Sejati, Bukan Cuma Selfie di Tengah Sawah.[***]/dra