Hari ini bukan sekadar acara seremonial, bukan hanya tentang pergantian kepemimpinan. Malam ini adalah tentang kebersamaan, tentang perpisahan yang penuh haru, dan tentang sebuah janji bahwa Palembang akan terus melangkah maju.
Di tengah riuh rendah obrolan para tamu, Cheka Virgowansyah berdiri tegap. Pandangannya menyapu ruangan, melihat wajah-wajah yang selama ini telah menjadi bagian dari perjalanannya sebagai Penjabat (Pj) Wali Kota Palembang. Tak terasa, waktu begitu cepat berlalu. Ada tawa, ada kerja keras, ada pengorbanan, dan kini ada saatnya untuk mengucapkan perpisahan.
Saat ia melangkah ke depan, suasana mulai hening. Semua mata tertuju padanya, menanti kata-kata yang akan ia ucapkan. Suaranya tenang, namun ada getar halus di ujung nada.
“Palembang adalah rumah bagi kita semua. Bukan sekadar kota, bukan sekadar tempat mencari nafkah. Tapi tempat di mana kita berbagi harapan dan bekerja bersama untuk sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.”
Hadirin terdiam. Beberapa kepala mengangguk pelan. Ada yang tersenyum haru, ada pula yang memejamkan mata, mengenang momen-momen kerja keras yang telah dilalui bersama.
Cheka lalu mengenang kembali program-program yang telah ia jalankan. Program Ado Gawe yang telah menyerap 300 tenaga kerja per hari, memberi harapan bagi mereka yang berjuang mencari nafkah. Distribusi 7.000 boks makanan gratis yang dilakukan tanpa menggunakan dana APBD, membuktikan bahwa kebaikan bisa hadir dari kerja sama dan ketulusan. Program inovatif seperti Mustika Musi, Satuko, dan Gercep Galo yang telah memberikan dampak nyata bagi masyarakat.
Di sudut ruangan, Wali Kota Palembang yang baru, H Ratu Dewa, menyimak dengan penuh hormat. Ia tahu, tanggung jawab besar kini ada di pundaknya. Dengan suara mantap, ia pun menyampaikan komitmennya.
“Kami tidak akan berhenti. Semua yang sudah baik akan terus dilanjutkan. Kami juga akan mengembangkan sektor wisata, termasuk memperbaiki Kapal Cruise agar semakin menarik bagi wisatawan. Pariwisata bukan hanya tentang bisnis, tapi tentang kebanggaan bagi kota kita.”
Kata-katanya disambut dengan tepuk tangan. Malam ini bukan hanya tentang perpisahan, tetapi juga tentang harapan.
Saat azan magrib berkumandang, obrolan dan tawa perlahan mereda. Para tamu mengambil tempat, duduk bersama dalam kehangatan berbuka puasa. Tak ada sekat, tak ada batas, hanya kebersamaan yang tulus.
Seorang staf OPD tersenyum kecil ketika melihat Cheka menyendokkan sup ke piringnya sendiri. “Biasa dipimpin, sekarang giliran kita yang melepasnya dengan doa,” gumamnya pelan.
Suasana semakin larut. Setelah salat tarawih berjamaah, satu per satu hadirin maju untuk bersalaman. Beberapa orang menggenggam tangan Cheka erat-erat, enggan melepaskan. Beberapa lainnya hanya tersenyum, karena terkadang perpisahan terlalu berat untuk diucapkan dengan kata-kata.
Saat langkahnya perlahan menjauh dari rumah dinas, Cheka menoleh sekali lagi. Palembang tetap sama—kota yang ramai, kota yang tak pernah tidur. Tapi ia tahu, di balik semua itu, ada orang-orang yang terus bekerja, berjuang, dan mencintai kota ini dengan sepenuh hati.
Di bawah langit yang bertabur bintang, Palembang tidak hanya bersinar karena lampu-lampunya. Ia bersinar karena cinta, kerja keras, dan dedikasi orang-orang yang mengabdi tanpa lelah.[***]