Sumselterkini.co.id, – Hujan deras di Palembang bukan lagi sekadar fenomena alam, tapi sudah kayak episode tahunan yang selalu bikin deg-degan. Setiap musim penghujan datang, warga otomatis masuk mode survival, mulai dari siap-siap nyelametin motor dari air bah, ngecek tinggi air di depan rumah, sampai ngelihat apakah jalanan udah berubah jadi kolam dadakan.
Yang lebih sedih? Kita kayak udah pasrah. Seakan-akan banjir itu bagian dari budaya, bukan masalah yang harusnya bisa dicegah.
BMKG udah kasih warning keras, tanggal 11-18 Maret cuaca bakal ngamuk. Pemerintah nggak mau kecolongan, makanya Pak Wali, Ratu Dewa, langsung ngerahin pasukan—camat, lurah, sampai dinas-dinas terkait. Gaspol? Iya! Tapi pertanyaannya, ini solusi buat selamanya atau cuma solusi panik jangka pendek?
Apalagi hujan deras di Palembang bukan cerita baru. Tiap musim penghujan, warga udah hafal betul pola-pola genangan yang muncul, terutama di daerah-daerah langganan banjir kayak Simpang Polda, Kertapati, Seberang Ulu I & II, Kalidoni, Gandus, dan Sematang Borang. Yang jadi pertanyaan: apakah tahun ini akan berbeda?
Kita semua tahu Simpang Polda itu udah kayak ikon banjir di Palembang. Setiap hujan deras, tempat ini selalu berubah jadi “waterpark alami” yang nggak perlu bayar tiket masuk. Bahkan, kadang-kadang kita bercanda, “Kalau hujan deras, jangan bawa motor, bawa perahu aja!” Nah, sekarang pemerintah janji bakal bikin codetan baru biar air ngalir lebih lancar. Pompanisasi di Sungai Bendung juga bakal dimaksimalkan, karena dari 6 pompa yang ada, cuma 3 yang benar-benar kerja. Sisanya? Kayaknya udah pensiun dini.
Tapi ini yang jadi PR besar, apakah pengerukan sungai dan optimalisasi pompa ini cukup? Atau cuma bakal bertahan satu-dua tahun sebelum kembali macet karena sedimentasi lagi? Kalau nggak ada sistem perawatan yang serius, ini semua cuma bakal jadi solusi sementara.
Dulu di tahun 90-an, Palembang punya sirine yang berbunyi di jam-jam tertentu. Sekarang, sirine ini bakal dihidupin lagi sebagai penanda kalau ada potensi banjir. Gimana rasanya? Nostalgic, iya. Berguna? Mungkin. Tapi apakah cukup buat menghadapi realitas banjir?
Sirine itu bagus buat warning, tapi kalau ujung-ujungnya tetap nggak ada solusi konkret, ya cuma jadi alarm panik aja. Masyarakat butuh lebih dari sekadar peringatan. Mereka butuh infrastruktur yang beneran bisa mengurangi risiko banjir, bukan cuma sirine dan lampu sorot dari kantor walikota.
Salah satu solusi yang ditawarkan adalah rumah panggung, terutama buat warga yang tinggal di pinggir sungai. Idenya bagus: rumah panggung bisa bikin air lewat tanpa harus masuk ke rumah. Tapi mari realistis. Membangun rumah panggung itu butuh biaya lebih, dan nggak semua warga mampu. Kalau solusinya cuma nyuruh warga beradaptasi tanpa ada insentif atau bantuan, ya sulit.
Kalau beneran mau serius, pemerintah bisa kasih program subsidi buat warga yang mau merenovasi rumahnya jadi lebih tahan banjir. Atau minimal, ada kebijakan perumahan yang mendukung pembangunan di daerah rawan banjir tanpa bikin warga harus nombok banyak. Kalau nggak ada insentif, ya jangan heran kalau ide ini cuma berakhir jadi teori doang.
Setiap tahun kita selalu ngomongin hal yang sama, hujan, banjir, solusi tambal sulam, dan akhirnya pasrah. Kalau kita nggak mulai mikirin solusi jangka panjang, 10 tahun lagi anak-anak kita bakal tetap ngalamin hal yang sama. Apa itu yang kita mau?
Beberapa langkah mungkin jadi solusi yang bisa dilakukan buat beneran ngurangin risiko banjir di Palembang Revitalisasi Drainase – Jangan cuma bersihin parit pas udah kebanjiran. Harus ada sistem perawatan rutin buat drainase biar nggak mampet lagi. Zona Resapan Air – Kota yang penuh beton tanpa area resapan air bakal gampang banjir. Pemerintah harus lebih tegas soal tata ruang, jangan semua lahan hijau dijadiin bangunan.
Sistem Polder dan Waduk – Kota-kota lain udah mulai pakai sistem polder buat nampung air hujan supaya nggak langsung menggenangi jalanan. Palembang juga harus mulai mikir ke arah sana.Edukasi dan Insentif untuk Warga – Kalau mau warga bangun rumah tahan banjir, kasih insentif. Jangan cuma nyuruh doang tanpa solusi konkret.
Kalau kita nggak mulai dari sekarang, ya siap-siap aja tahun depan ngobrolin hal yang sama lagi. Jadi, Palembang mau maju atau tetap stuck di masalah yang itu-itu aja?.[***]
