Palembang Terkini

Langkah yang Tertinggal di Jalan Kopral Harun Said

ist

Sumselterkini.co.id, – Kalau hidup ini ibarat mengemudi alat berat, maka Ramlan Isman dulunya adalah sang pengendali utama. Tangannya lincah menggenggam tuas, matanya tajam membaca kemiringan tanah, dan suara klakson ekskavator jadi semacam nyanyian sehari-hari. Tapi itu dulu sebelum musibah datang tak pakai salam, seperti hujan deras di tengah panen raya.

Beberapa bulan yang lalu, kaki kanannya tertimpa alat berat. Bukan cuma tulangnya yang remuk, tapi juga penghidupan dan rasa percaya dirinya ikut patah. Sejak itu, langkah Ramlan bukan lagi langkah lelaki pencari nafkah, tapi langkah tertatih seorang ayah yang menahan beban hidup dari atas kursi plastik yang makin reot tiap harinya.

Di rumah sempit mereka di Jalan Kopral KKO Harun Said, RT 13 RW 07, Kelurahan Sungai Buah, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang, Ramlan tinggal bersama istri dan tiga anaknya. Rumah itu seperti pos ronda yang terlalu lama ditempati kecil, tapi penuh cerita dan sisa harapan.

“Istriku kuat. Anak-anakku tabah. Tapi saya sendiri kadang merasa seperti truk mogok di tengah tanjakan,” ucap Ramlan lirih, sambil memandangi lututnya yang sudah tak bisa diajak negosiasi.

Hidup memang tidak memberi tahu lebih dulu kapan kita akan jatuh. Tapi di tengah keterpurukan, Ramlan tak pernah berhenti percaya bahwa nasib buruk pun punya masa kedaluwarsa.

Dan Rabu itu, tanggal 14 Mei 2025, datang seperti kejutan ulang tahun yang lama dinanti. Ramlan, yang biasanya hanya disapa tukang sayur dan suara motor lewat, tiba-tiba dikunjungi rombongan ibu-ibu berseragam rapi, dengan wajah sumringah dan langkah penuh niat baik.

Salah satunya adalah Dewi Sastrani Ratu Dewa, Ketua TP PKK Kota Palembang. Istri orang nomor satu di kota tertua di Indonesia itu datang tidak hanya dengan senyum, tapi dengan sepasang tangan yang membawa harapan baru alat bantu pergelangan kaki dan lutut untuk Ramlan.

“Pak Ramlan, ini bukan hadiah. Ini bagian dari tugas kami memastikan tidak ada warga yang jatuh dan dibiarkan tergeletak sendiri,” ujar Ibu Dewi sambil menyerahkan bantuan tersebut.

Wajah Ramlan mendadak berubah seperti langit sore yang cerah setelah hujan panjang. Ia mencoba alat bantu itu dengan hati-hati, dibantu istrinya yang dari tadi tak berhenti menahan tangis.

Satu langkah

Tertatih, memang. Tapi langkah itu seperti drum band kecil yang menggema di hati semua yang melihat.

“Alhamdulillah… Saya bisa jalan lagi. Meski belum jauh, tapi setidaknya, saya sudah tidak diam di tempat,” ucap Ramlan sambil tersenyum. Muka lelahnya seperti rumah tua yang dicat ulang tidak sepenuhnya baru, tapi jadi sedap dipandang dan menyimpan semangat baru.

Anaknya yang paling kecil, Yayan, berteriak kegirangan, “Bapak bisa jalan, Bu! Bapak bisa jalan!” lalu memeluk kaki Ramlan yang kini berdiri dengan alat bantu, seolah sedang memeluk kembali semangat keluarganya yang sempat goyah.

Di sela kunjungan itu, Ibu Dewi memberi pesan yang lebih luas. “Bukan hanya Pak Ramlan. Siapa pun warga Palembang yang mengalami kecelakaan kerja dan kesulitan hidup, silakan laporkan ke RT, lurah, Dinsos, atau Baznas. Jangan malu. Jangan diam. Kadang bantuan tak datang bukan karena negara tak peduli, tapi karena ceritamu tak pernah sampai ke meja yang tepat.”

Pesan itu seperti peluit panjang di stadion memanggil semua untuk waspada, untuk bergerak, dan untuk peduli. Karena, seperti pepatah Palembang kuno, “Jangan tunggu perahu karam baru cari dayung.”

Cerita Ramlan bukan sekadar tentang alat bantu kaki, tapi tentang keberanian untuk bangkit. Bahwa dalam hidup, bukan siapa yang paling kuat yang menang, tapi siapa yang paling tidak menyerah.

Kadang kita seperti pohon jengkol: diremehkan, dicemooh, tapi diam-diam punya akar kuat yang sanggup bertahan dari musim apa pun. Dan selama masih ada yang peduli baik itu keluarga, tetangga, atau pemerintah, maka langkah kita tak akan pernah benar-benar hilang.

Karena langkah bukan hanya soal kaki. Tapi soal tekad untuk terus bergerak, walau tertatih.

Buat siapa pun yang membaca ini, jika kau tahu ada tetanggamu, sopir angkot, tukang bangunan, atau siapa pun yang terluka tapi tak bersuara pinjamkan telingamu. Kadang yang mereka butuhkan hanya jalan untuk bersuara, bukan uang sejuta. Karena, “Kepedulian itu tidak pernah mahal, yang mahal itu biasanya cuek.”.[***]

Terpopuler

To Top